Heart is Boneless
_All About Your Heart_
A Novel By
Arif Akmal Palowa
Heart is Boneless
Oleh: Arif Akmal Palowa
Hak
Cipta Di Lindungi Undang-Undang
Heart is Boneless/Arif Akmal Palowa
Penerbit : Nulisbuku.com
Penyunting : Ruth Watuseke
Tata Bahasa :
Arif Akmal Palowa, Silvana Kotambunan, Mario Thomas
Desain Cover:
Hinata Art
Dilarang
Keras untuk mengedarkan atau menciplak tanpa seizin penerbit atau penulis. Jika
kedapatan mengedarkan atau menciplak, pelaku akan dikenakan hukuman pidana
Undang-Undang RI Nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta pasal 1 dan 2.
Thanks To
Berjalan di atas bumi harus memiliki tujuan. Akan
lebih indah jika tujuan itu memiliki manfaat. Maka dari itu saya berterima
kasih karena saya memiliki tujuan yang bermanfaat.
Oleh karena itu, ucapan rasa syukur kepada Allah SWT
karena telah memberikan inspirasi serta telah mengizinkan untuk menyelesaikan
Novel ini.
Terima kasih juga
kepada geng S.U.R.AM dan band STIVANA yang memberikan semangat dan sokongan
inspirasi serta kritikan.
Salam Penulis
Arif Akmal Palowa
Prolog
Dunia dan waktu,
Aku menengadah dengan pecahan beling di mataku
Aku berdiri dengan selongsong peluru
Aku menunggunya larut dengan air mata
Dunia dan waktu,
Bisakah kau menjadi toples yang selalu terbuka?
Bisakah kau menunjukkan yang sebenarnya?
Bisakah kau buat ini menjadi mimpi?
Dunia dan waktu,
Aku menari bersama angin beku
Aku berlari bersama karat di kakiku
Aku hilang di tengah gurun laraku
Dunia dan waktu,
Kau berkata ini belum cukup
Tapakku penuh nanah di antara paku yang kau tabur
Kenapa tidak kau cukupkan saja?
First
A LITTLE GIRL IN A DREAM
“Jam enam lewat empat puluh lima menit. Hm. Hampir
terlambat!” Clarisa mengangkat bahunya dan berlalu dari hadapan cermin. Ia bisa
melihat bayangan dirinya. Ia berkaca dan melihat siapa dirinya yang sebenarnya.
Pagi ini Clarisa menuruni anak tangga dengan langkah
kecilnya. Bau parfum tercium begitu wangi dan meninggalkan jejak. Aroma itu
menerobos masuk ke paru-paru dan seperti melepaskan benih-benih mawar merah di
sana. Aroma parfumnya itu mengikutinya hingga ke ruang makan.
Ia menarik kursi dan duduk sembari menggantung tas
hitam di punggung kursinya. Lalu ia menatap isi meja makan sambil tersenyum. Ia
melirik lagi jam tangannya. Clarisa masih punya waktu untuk sarapan sebelum
benar-benar terlambat. Matahari sudah mulai meninggi. Ia ulurkan tangannya ke
tempat sendok yang tak jauh darinya. Namun belum sampai ia meraihnya, ayahnya
sudah lebih dulu memberikan sendok.
“Bagaimana tidurmu malam tadi?” Tanya Erwin sembari
menatap dalam-dalam mata anaknya. Keriput tipis di kedua ujung matanya seperti
ikut menyapa.
“Aku tertidur pulas.” Jawab Clarisa kepada Ayahnya dengan
senyum kecil di bibirnya.
Ayahnya menundukkan wajah dan kembali fokus ke meja
makan. Namun ayahnya tersenyum seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Ia
kini merasa anaknya benar-benar telah berbeda. Bukan seorang anak yang manja
lagi, melainkan seorang gadis remaja yang kini mulai mengenal hitam dan putih
dunia ini. Gadis yang telah paham tentang keras dan lembutnya dunia ini.
“Ayah senang karena melihat kau tumbuh dewasa. Ayah
masih ingat ketika kau selalu ingin digendong waktu kecil.” Erwin tertawa kecil.
“Meski ayah dalam keadaan sibuk, namun ayah pasti menurutinya.” Pria berusia 40
tahun itu tersenyum. Meski sudah tua, namun ia masih menjaga rambutnya agar
tetap hitam hingga tak ada satu ubanpun terlihat.
“Ayolah, jangan menceritakan itu lagi. Itu sangat
memalukan. Lagi pula aku sudah dewasa, kan? Jadi lupakan saja.” Clarisa tertawa
kecil seraya mengkedikkan bahu.
“Lalu apakah kau sudah memikirkan masa depanmu?” Tanya
ayahnya ringan sambil melepaskan sendok yang ia pegang.
Clarisa mengangkat kepalanya dan menoleh. Ia lalu
menggelengkan kepalanya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengunci
kedua tangannya di meja makan. Tak ada kata setelah ia menggelengkan kepalanya.
Ayahnya tersenyum. “Clarisa, waktu terus berjalan,
hingga tak ada yang tahu kapan ia akan berhenti. Tapi tahukah kau bahwa waktu
dapat membunuh mimpi? Mimpi yang ayah maksud bukan hanya mimpi yang tidak terwujud,
melainkan juga mimpi yang tak pernah terlahir. Jadi sebaiknya kau memikirkan
apa yang akan kau lakukan di masa depan.”
Clarisa mendesah sembari menatap wajah kedua orang
tuanya dan adik-adiknya. “Memang yang ayah katakan itu benar.” Jawabnya lemas.
“Mungkin aku hanya ingin menjadi orang yang baik, karena menurutku jika aku
menjadi orang baik, aku mudah mendapatkan mimpi. Tapi untuk sekarang aku tidak
tahu apa yang akan terjadi padaku di masa depan, mungkin aku akan menjadi
komikus, atau penulis.” Clarisa tersenyim simpul. “Menjadi orang yang berguna
sudah lebih dari cukup.” Ucapnya dengan nada bergurau.
Ayahnya tersenyum. “Syukurlah. Ayah pikir itu tidak
buruk. Yang penting kau punya tujuan dalam hidupmu.”
Second
THE BOY WITH COLD STARE
Aroma pagi seperti mengetuk indra penciuman dan ia
langsung menghirupnya. Pagi yang indah kembali hadir menyapa Clarisa Artayasa. Ia
sangat bersyukur karena telah diberikan pagi secerah ini. Langkah kakinya
semakin semangat ketika matahari pagi menyinarinya hingga mereka menghilang
karena terhalang gedung-gedung tinggi. Cahaya berwarna keemasan seperti krim
kacang yang ditaburkan di atas puding susu. Namun cahaya di pagi ini tidak
seperti biasanya. Itu karena beberapa tumpukan awan menghiasi langit. Tampaknya
siang ini akan hujan.
Ia mencoba meraih earphone
dari tasnya. Segera ia mainkan lagu kesukaannya yang selalu menjadi pendamping
awal harinya. Sesekali ia bernyanyi dengan suara kecil. Ia melangkah di sebuah
jalan besar lalu menuruni anak tangga di depan gedung bertingkat.
Tiba-tiba saja langkah kakinya terhenti melihat
seorang laki-laki yang telah lengkap dengan seragam sekolah. Ia jongkok di samping
tempat sampah seperti sedang melakukan sesuatu. Itu membuatnya penasaran hingga
Clarisa berjalan ke arahnya.
Lelaki itu sedang mengelus-elus seekor kucing putih
yang kotor. Meski hanya berjarak dua meter, ia itu tak menyadari keberadaan
Clarisa. Aroma mawar yang disemprot ke pakaian Clarisa belum cukup kuat
membuatnya menoleh.
Tak lama kemudian ia menyadari keberadaan seseorang
disekitarnya, dia menoleh dan segera berdiri.
“Ada apa? Apa kamu mengikutiku sedari tadi?” Tanya
lelaki itu dengan nada yang sama sekali tidak ramah. Ia memancarkan tatapan
yang dingin bak angin di musim salju.
Clarisa jadi salah tingkah ketika suara itu masuk ke telinga.
Seolah-olah ia seperti penguntit yang ketahuan. Padahal kenyataannya tidak
begitu.
“Eh, tidak, tidak! Aku tadi hanya lewat dan melihatmu sedang melakukan sesuatu.”
Ia membalikkan badan dan Clarisa harus menatap
punggungnya. “Lalu apa pedulimu?” Lelaki itu berbisik tajam.
“Apa kau ingin menyelamatkan kucing itu? Ia tampaknya
menyukaimu?” Ucapnya tersenyum kecil.
Ia lalu membalikkan badannya dan menatap Clarisa
dengan tatapan dingin itu lagi. “Kamu salah. Aku baru saja membuangnya.”
Jawabnya datar tanpa ekspresi. Rambutnya
dipotong rapi jatuh menutupi dahi. Lelaki bermata sayu itu menunjukan ekspresi
yang tak sukai Clarisa. Datar tanpa satupun warna.
“Kalau begitu kenapa kau membuangnya? Bukankah ia
tampak lucu?” Clarisa bertanya tanpa jeda.
Clarisa menunduk dan mengeluarkan potongan roti makan
siangnya dan ia berikan ke kucing yang lucu itu. Tapi ada yang aneh dengan
kucing putih yang ada di hadapannya. Bukan hanya kucingnya, Clarisa menatap
lelaki itu lagi. Ia mengatakan bahwa ia akan membuangnya, tapi bulu kucing itu
kotor seperti sudah berhari-hari terlantar di jalanan. Jika dilihat dari seragamnya,
lelaki itu satu sekolah dengan Clarisa, akan tetapi ia belum pernah melihatnya
berkeliaran di sekolah.
Tiba-tiba lelaki itu berlalu begitu saja tanpa
mengeluarkan sepatah-katapun. Ia sungguh tidak ramah. Lelaki yang sangat
dingin.
“Hey! Siapa namamu?” Teriak Clarisa. Lelaki itu kini
telah ada di ambang jalan.
Segera ia berbalik dengan tatapan khasnya. Namun
kembali berjalan tanpa memperdulikan gadis itu lagi.
●◙●
Bel istirahat telah berbunyi. Suasana kelas berubah
seketika. Para siswa berlarian keluar dengan penuh keceriaan. Namun ada
beberapa siswa yang masih di dalam kelas. Mereka membentuk kelompok-kelompok
kecil dan mulai mengeluarkan canda tawa. Namun Clarisa masih saja terdiam dan
memperhatikan seantero kelas barunya. Ia membatu dan bingung untuk melakukan
sesuatu. Orang-orang di sini cepat beradaptasi. Ditambah lagi Clarisa memang gadis
yang kurang ahli dalam bergaul.
“Hey.”
Seseorang menepuk pundak Clarisa. “Namamu siapa?”
Ia menoleh dan mendapati dua orang perempuan
berkacamata dan berambut sebahu. Mereka sangat mirip sampai sulit dibedakan.
Apakah mereka kembar? Gumam Clarisa.
“Cla–Clarisa Artayasa. Ya, panggil aku Clarisa.” Jawabnya terbata-bata.
Mereka berdua menarik kursi dan segera merapatkannya ke
samping meja Clarisa. “Namaku Yuka Tatsuya, dan ini adikku, Yuki Tatsuya. Kami
adalah saudara kembar. Salam kenal”.
Seketika Clarisa tersenyum melihat keramahan dua orang
yang ada di hadapannya. “Ya. Salam kenal. Apakah kalian keturunan jepang?”
“Ya. Ayah kami memang orang jepang.” Jawab Yuka.
Mata sipit
dengan kulit kuning menunjukan identitas mereka.
“Apakah kamu membawa bekal? Bukankah ini sudah
waktunya makan siang?” Tanya Yuki.
“Ya.” Jawab Clarisa singkat.
“Baiklah. Ayo kita makan sama-sama.” Mereka
mengeluarkan kotak makan masing-masing. Gadis bergigi gingsul itu pun tidak mau
ketinggalan. Kotak makan berwarna biru segera ia letakan di atas meja. Seketika
Clarisa dan dua saudara kembar itu berteman dan mengakrabkan diri dalam suasana
makan siang. Tadinya ia sempat berpikir bahwa hanya ia saja yang tidak akan
memiliki canda tawa ketika jam istirahat tiba. Tapi tampaknya itu tidak lagi.
Kini ia bisa menyatu dan menjadi gadis normal yang memiki teman bicara. Ia
yakin semua orang bisa melakukannya.
“Apakah kau tahu murid yang di sana itu?” Yuka
mengarahkan pandangan ke bagian belakang kelas.
Mendadak ekor mata Clarisa bergerak melirik murid yang
Yuka maksud, menandakan pandangan penuh rasa penasaran. Hingga akhirnya Clarisa
mendapati seorang lelaki yang baru saja ia temui pagi tadi. Lelaki yang sangat
misterius. Lelaki dengan tatapan yang tak ia sukai.
Saat itu ia sedang tertidur dengan kepala tersandar di
kursi.
Clarisa menghadap lagi ke depan dan menggelengkan
kepala. “Tidak. Tapi aku bertemu dengan dia pagi tadi.”
“Namanya Dion Mahesa. Dia adalah anak pindahan dari
sekolah swasta Bakti Mulia.” Ucap Yuki dengan mulut yang setengah penuh. Sebab
itulah Clarisa tidak pernah melihat lelaki itu di sekolah.
Yuka mengangguk. “Ya. Dia murid pindahan. Tapi
tampaknya dia lelaki yang introver. Lihat saja, semua orang mencoba mengakrabkan
diri, tapi apa-apaan dia! Tidur di dalam kelas seperti kamar miliknya saja.
Seperti tidak ada tata krama” Yuka menggerutu.
Clarisa sudah tidak kaget jika orang lain menilainya
seperti itu. Karena jika dilihat dengan kasat mata, dia adalah orang yang
penyendiri.
“Aku rasa begitu.” Clarisa mengangguk kecil.
●◙●
Sore hari pun tiba. Langit kian memerah seperti
lentera yang begitu terang. Begitu menyilaukan mata ketika Clarisa menatap
keluar jendela kelasnya. Beberapa saat yang lalu bel pulang telah berbunyi.
Semua orang berhamburan ke luar kelas dengan teman mereka masing-masing. Untung
saja ada Yuka dan Yuki yang menemaninya sampai keluar gerbang. Meski begitu,
mereka tidak akan searah dengan jalan pulang Clarisa. Dapat dipastikan sore ini
ia akan pulang sendiri sambil berjalan kaki karena sekolah Bunda Pertiwi tak
jauh dari rumahnya.
Angin sore menemani langkahnya. Hidungnya langsung
menyergap aroma udara sejuk awal musim penghujan. Matahari condong ke barat,
dan akan segera tenggelam seperti daun musim gugur yang berjatuhan. Cahayanya
seperti senter yang mulai redup. Namun cahayanya masih bisa mengenai jalan
yang Clarisa lewati. Ia tahu hari ini begitu indah.
Sore menjelang malam. Ia melirik jam tangan digitalnya.
Jam lima lewat empat puluh lima menit. Clarisa terus melangkah dan menatap
bintang yang mulai muncul satu per satu. Ia merapatkan jaket yang ia kenakan.
Entah kenapa sore ini angin sedikit menusuk kulitnya. Mungkin karena siang tadi
hujan deras, atau mungkin sebentar lagi akan hujan deras lagi.
Clarisa melewati tempat sampah di sebelah taman yang
ia lewati pagi tadi. Kucing itu masih betah berkeliaran di sekitar situ. Ketika
melihat Clarisa, ia langsung merapatkan tubuhnya ke kedua kaki wanita berkulit
putih itu. Kucing itu begitu lucu. Clarisa menggendongnya dan membawanya ke
kursi taman. Ia mengelus-elus bulu berwana putih yang tak halus lagi. Itu
karena ia tidak terawat dengan baik. Sungguh kejam pemilik yang menelantarkan
hewan seperti ini.
Clarisa mengeluarkan susu kotak dan ia tuangkan sedikit ke tangannya dan ia
membiarkan kucing itu menjilatinya hingga tak tersisa.
“Pus pus pus.”
Clarisa mendengar baik-baik suara itu. Asal suara itu
tak jauh dari tempatnya berada. Berulang kali suara itu terdengar. Suara itu
juga diingiri dengan langkah kaki yang kian terdengar menandakan asal suara itu
semakin dekat. Tak lama kemudian kucing itu lompat dari kursi dan berlari ke
semak-semak yang terhubung langsung ke jalan besar. Clarisa mengikutinya dengan
perlahan, dan ia mendapati manusia dengan tatapan dingin bak angin di musim
salju. Dion Mahesa. Ia sedang memberi makan kucing itu. Clarisa sudah menduga
lelaki itu sudah berbohong.
“Tak baik
berbohong kepada orang yang baru dikenal.” Ucap Clarisa dengan nada mengejek.
Ia terkejut ketika menyadari keberadaan Clarisa dan
segera menegakkan tubuhnya. Ia tampak salah tingkah, lantas membuang muka.
“Baiklah. Aku ketahuan.”
Clarisa melangkah kehadapannya. “Kenapa kau tidak
membawanya pulang?”
“Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak?” Tanyanya lagi.
Dion kembali menatapnya dengan tatapan dingin. “Kenapa
kau banyak bertanya?” Nadanya tajam menghantam telinganya.
Clarisa menunduk. “Maaf. Tapi kenapa… kenapa kau tidak
ramah kepada orang lain? Bukankah kita teman sekelas?” Ah, gadis itu mulai
frontal.
“Sudah kubilang kenapa kau banyak bertanya? Jika aku
tidak ramah lalu apa pedulimu? Apakah kau akan mati karena itu?” Tanyanya tanpa
jeda dan segera memborbardir isi dada gadis itu. Tiba-tiba saja hati Clarisa
sedikit terluka padahal ia kurang
mengenali lelaki itu. Yang ia tahu hanya sebatas nama dan sikap dinginnya.
“Aku melihat kucing ini beberapa hari lalu. Aku sedikit
kasihan, oleh karena itu aku selalu memberinya makan di sini. Tapi kurasa
tugasku sudah selesai. Karena ada seorang wanita aneh yang ingin merawatnya.” Ucapnya
lalu segera berbalik badan dan berjalan tanpa menoleh lagi.
“Hey!” Teriaknya. Namun Dion tidak menggubris.
“Kau lelaki yang bodoh!” Teriaknya lagi yang menghentikan
langkah lelaki itu. Ia pun menoleh dan menatap Clarisa dengan tajam. Lalu ia
kembali berjalan dengan angkuhnya. Clarisa benar-benar tidak menyukai sikapnya.
Third
DO YOU HAVE A DREAM?
“Jas Merah. Memiliki arti yaitu ‘Jangan sekali-kali
melupakan sejarah’. Singkatan itu disampaikan Bung Karno dalam pidatonya. Jadi
–.” Bu Susi terhenti dan segera menatap tajam salah seorang siswa. Tangan kanan
Bu Susi mulai meraba-raba, mencari sesuatu di atas meja tanpa melepas pandangan
dari murid itu.
Dan….
“Aduh.” Erang seseorang di belakang.
Spidol berwarna hitam mendarat tepat di dahi murid
itu. Tampaknya semua guru ahli melakukan hal itu.
“Di saat yang lain sedang sibuk memperhatikan, kau
malah tertidur!” Bentak Bu Susi, sesekali ia menaikkan kacamatanya yang sering
meluncur di hidungnya yang pesek. “Sekarang kau keluar!” Seketika ekspresi guru
berambut oval itu berubah.
Sang murid menatap gurunya dengan mata sayu. Lalu ia
mengeluarkan earphone, berdiri, dan
membuka langkah lebar tanpa mengeluarkan kata apapun. Ia hanya memandang jalan
tanpa memperhatikan mulut Bu Susi yang sedang komat-kamit. Bu Susi jengkel
melihat tingkah masa bodoh dari sang murid. Ia pun meraih penghapus dan mencoba
melemparkannya lagi ke murid itu, tapi gagal karena terhalang pintu yang
ditutup oleh sang murid dengan tegas. Jika di Jepang, orang akan mengira ia
anak Yakuza[1]
jika selalu bertingkah seperti itu. Layaknya preman yang tak menghargai orang
lain.
●◙●
Clarisa melongok ke kiri dan ke kanan seperti sedang
mencari sesuatu. Ia berjalan cepat melewati lapangan sepak bola. Bola yang
dimainkan oleh para siswa itu bisa saja mengenainya. Tidak hanya itu, terik
matahari juga membuatnya mempercepat langkah.
Setelah sampai di seberang lapangan, ia mencari-cari
gazebo ataupun tempat duduk yang kosong. Kotak makan siangnya masih dipegang
erat.
Siang ini ia tidak akan makan siang dengan Yuka dan
Yuki karena mereka tidak masuk sekolah. Mereka memberi kabar tadi pagi kepada
Clarisa kalau mereka sedang sakit. Memang terdengar aneh jika dua orang sakit
secara bersamaan. Tapi mungkin itu karena mereka kembar yang konon katanya
punya ikatan yang kuat.
“Itu dia.” Gumamnya dengan senyum lebar.
Ia pun berlari kecil dan langsung duduk di salah-satu
gazebo yang bercat hitam. TIba-tiba perasaan dongkol melandanya ketika
menyadari bukan hanya ia yang duduk di gazebo itu. Terdapat pula seorang
laki-laki yang sedang asik mendengarkan earphone.
Lelaki itu menatap Clarisa dengan tatapan tajam. Ialah Dion Mahesa.
“Apa kau sengaja duduk di situ?” Tanya Dion dengan
nada yang datar.
Clarisa tersenyum kaku
dan menggeleng pelan. “Ya. Tapi aku tidak tahu kalau kau juga duduk di sini.”
Jawabnya.
Clarisa memang tak
melihat keberadaan lelaki itu. Mungkin karena hawa keberadaan Dion sangatlah
tipis. Itu disebabkan sikap pasifnya di dalam kelas sampai tak ada yang
memperhatikannya.
Dion mencondongkan
tubuh ke depan. “Baiklah, sekarang apa? Kau ingin mengacaukan siangku?” Tanya
Dion dengan nada yang tajam.
“Tidak, tidak. Kau
terlalu berprasangka buruk. Aku hanya ingin makan siang.” Jawab Clarisa.
Dion memberenggut, lalu
ia membuang pandangan ke arah tasnya. Ia mengeluarkan plastik yang berisikan
biskuit coklat dan ia meletakkannya di atas meja.
Clarisa menatap heran,
alisnya terangkat. “Apa kau hanya akan makan siang dengan itu?”
Mata lelaki itu
mengerling ke arah gadis disampingnya. “Ya. Setiap hari. Ini sudah lebih dari
cukup.”
“Kenapa harus makanan
ringan seperti ini?”
Dion mengambil sepotong
biskuit dan memasukannya ke dalam mulut. Tapi sebelum ia mengunyah, ada sepatah
kalimat yang ia ucapkan. “Tak ada yang menyiapkan makan siangku.”
Clarisa benar-benar
penasaran. Seperti ada sesuatu yang mengetuk kepalanya untuk mengenal lebih
jauh lelaki itu.
Clarisa mengernyitkan dahi. “Lalu pembantu, atau
ibumu?” Tanya Clarisa lagi. Ia sangat penasaran dengan lelaki penyendiri itu.
Dion tiba-tiba berhenti
mengunyah dan berkata, “Ibuku sudah meninggal.” Jawabnya. Ia menelan sisa
biskuit di mulutnya. “Aku juga tidak mau menyuruh pembantu untuk menyiapkan
makan siangku.”
Tiba-tiba Clarisa
tersenyum kaku. “Oh, maaf. Tampaknya aku salah bertanya. ” Lalu ia membuka kotak
makan siangnnya. “Aku membawa dua potong sandwich.
Untukku satu, satunya lagi untukmu.”
Dion menatap kotak akan
yang disodorkan Clarisa, lantas membuang pandangan ke depan. “Tidak.” Jawabnya
datar.
Kening Clarisa terangkat.
“Kenapa?” Clarisa mengubah posisi duduknya. “Ayo. Kau jangan malu-malu.”
“Tidak!” Tegasnya
sekali lagi.
Clarisa masih tetap memaksa. Rasanya ia akan
langsung menyuapi lelaki dingin itu. Oleh
karena tingkahnya yang keras kepala, tiba-tiba Clarisa menyenggol pembungkus
biskuit yang ada di atas meja. Seketika biskuit-biskuit itu berhamburan
dilantai. Lagi-lagi Clarisa menjadi bencana bagi Dion.
Mereka terdiam dan mata
kedua orang itu menatap makanan yang telah jatuh ke lantai. Parahnya, semut-semut
langsung mengerumuninya seperti tahu biskuit-biskuit itu akan jatuh. Lalu kedua
orang itu saling bertukar pandangan.
“Maaf.” Clarisa
tersenyum kecut. Ia semakin merapatkan kotak makan itu ke dada Dion.
Dengan perasaan dongkol
serta kesal, Dion menatap sandwich
itu , lalu ia menarik napas berat dan mengambil sepotong sandwich. Ia segera menggigitnya tanpa berpikir panjang lagi.
Melihat ekspresi Dion,
Clarisa berusaha menahan tawa.
“Kenapa kau tadi
tertidur di kelas?” Tanya Clarisa seraya mengeluarkan potongan tomat dari sandwich. Ia memakannya lebih dulu.
Dion masih kesal, ia
mendongakan kepalanya. “Aku begadang semalaman.” Jawabnya. Kali ini dengan nada
yang lebih ringan.
“Kenapa kau begadang?”
Clarisa melempar pertanyaan lagi yang membuat telinga Dion semakin panas. Dion
merasa gadis itu benar-benar mengacaukan waktu istirahatnya.
“Aku semalam menulis la
–.” Kata Dion terhenti. “Ah! Kenapa aku harus menceritakan kepadamu?” Dion
mendesah keras. Ia tidak habis pikir kenapa perempuan selalu banyak bicara.
Clarisa terkekeh. “Kau
tahu, Bu Susi adalah guru yang memang dari dulu bercita-cita menjadi guru. Dan
ketika bertemu kau, kurasa cita-citanya menjadi rusak.” Kata Clarisa dengan
nada mengejek.
Dion hanya terdiam
tanpa mengeluarkan sepatahkatapun. Ia melipat kedua tangan dan menaruhnya di belakang
kepala. Sandwich yang ia makan telah
habis dengan cepat.
“Apa kau punya mimpi?”
Tanya Clarisa tiba-tiba.
“Mimpi? Cita-cita
maksudmu?”
Clarisa mengangguk. Ia
berusaha meringankan suasana.
Baiklah, gadis ini
mulai menginterogasi Dion. Dan anehnya, Dion terus saja meladeni pertanyaan itu
meski dengan perasaan kesal. Entah mengapa Dion menikmati perbincangan dengan
gadis itu. Mungkin gadis itu selalu melempar senyum kepadanya.
Dion berdengung. “Aku
tak terlalu berharap banyak pada diriku. Mungkin aku hanya ingin sekedar hidup
saja.” Dion mengatakannya dengan ringan.
Apa? Jawaban macam apa itu?
“Dengan sikapmu di
kelas tadi, kau akan sulit mengejar mimpimu.” Kata Clarisa.
Dion menatap
dalam-dalam gadis itu, keningnya berkerut samar. “Jangan bicara seolah-olah kau
tahu tentang diriku. Kau terlalu cepat menilai seseorang.”
Clarisa mendesah pelan,
lalu menatap Dion. “Kalau begitu apa mimpimu?”
Dion tidak menjawab. Ia
hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong. Tatapan itu mengatakan bahwa
saat ini ia benar-benar ragu dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Ada
pepatah tua yang berbunyi ‘Bermimpilah setinggi langit’. Semua orang meyakini
itu, tapi percayalah, Dion tak pernah memikirkan soal itu.
Clarisa berdeham.
“Manusia itu ibarat pohon, dan mimpi ibarat akar. Dan kau tahu, pohon tanpa
akar tidak akan bertumbuh lagi. Manusia tanpa mimpi tak akan pernah terlihat
besar di dunia ini.” Ucap Clarisa tanpa memandang Dion.
Dion hanya terdiam dan
mengabaikan gadis itu. Ia hanya memasang kembali earphone ke telinganya. Namun dalam hatinya tergumam. Manusia harus
benar-benar punya mimpi agar terlihat hidup. Tapi apakah makna dari hidup? Dia
memulai pertanyaan baru.
Fourth
THE BLACK GUITAR
Dalam hatinya ia bertanya-tanya. Kenapa waktu ini
terus berputar? Setiap detik yang berjalan seperti mengambil kehidupanya yang
membosankan. Orang-orang selalu berpikir bahwa hidup ini sangat menyenangkan
dan diberikan kehidupan adalah karunia. Tapi semua itu berbanding terbalik
dengan jalan pikiran Dion. Bukannya ia tidak pandai mensyukuri kehidupannya
yang sekarang, tapi baginya segala kemewahan ini hanyalah hiasan belaka. Ia
tidak merasakan bahagia sedikit pun dari kemewahan ini. Mobil, rumah besar,
kamar yang luas, perabotan yang mahal, fasilitas yang lengkap, semuanya hanya
sekedar penghalang deritanya saja. Namun itu semua tidak pernah mampu mengatasi
segala derita yang ia dapati sejak dulu. Semuanya membuat Dion berubah total
dan menutup mata tentang arti kehidupan. Ia hanya berpikir bagaimana waktu bisa
ia putar kembali dan menikmati keindahan bersama orang-orang yang ia sayangi,
yaitu keluarga besarnya yang lengkap. Tapi sayangnya semua itu mustahil apabila
Dion mengharapkan kebersamaan itu kembali. Ego kedua orang tuanya untuk
memutuskan berpisah dan memikirkan diri masing-masing telah menghapus senyum
dan tawanya. Dion kini tidak bisa memaknai dunia di mana ia tinggal. Yang ia
tahu hanya makan, minum, tidur, dan melakukan aktivitas normal manusia introver
tanpa mau mengenal apa itu kebersamaan.
Ia hanya selalu diceramahi oleh musik. Mereka seperti
berbisik dan membuat Dion tenggelam di dalamnya. Ketika bersama musik, ia
merasa bahwa tak perlu bersusah-payah untuk memikirkan hidup yang sebenarnya.
Seluruh curhatan isi hatinya selalu di tuangkan pada selembar kertas dengan
barisan not yang tertulis rapi. Ia bersyukur bisa bernyanyi dan melepaskan rasa
sakit dalam hatinya. Orang mungkin akan melihat Dion dengan cara pandang yang
berbeda, yang diskrimatif, namun Dion tak mempedulikannya. Ia merasa bahwa dengan
menyanyi ia bisa menampar orang-orang yang menghujatnya.
Di kamar luas itulah ia bernyanyi dengan setulus hati
untuk mengusir iblis yang mengencingi otaknya.
Di tengah nyanyian Dion, seseorang membuka pintu tanpa
mengetuknya terlebih dahulu.
“Kau di sini rupanya.” Ucap seseorang yang telah berada
di ruangan yang sama dengannya. Dialah ayahnya Dion. Nicho Mahesa. Ia memegang
segelas minuman dan menyodorkan kepada Dion. “Bagaimana sekolahmu?”
“Baik.” Dion menundukkan kepala. Bukannya ia takut
menatap wajah ayahnya, tapi ia memang tidak ingin melihatnya. Menurutnya, jika
bukan karena keegoisan ayahnya yang mengusir ibunya dari rumah, mungkin keluarga
ini akan lengkap.
Ayahnya mengangguk. “Begitu ya. Lalu sampai kapan kau
akan menutup diri seperti ini?” Tanyanya dengan senyum masam.
Dion menatap matanya dalam-dalam. Ia dapat lihat bayangan
wajahnya di bola mata ayahnya. “Aku tidak menutup diri. Hanya saja inilah
diriku yang sekarang.” Tegas Dion.
Pria berambut putih itu tertawa kecil. Tawanya seperti
mengejek. “Dengan umurmu yang sekarang, sungguh tidak patut untuk berdiam diri
dan benci bersosialisasi. Sudah waktunya kau berkenalan dengan dunia di luar
sana, dunia yang baru.”
Dion mengernyitkan dahi lalu mendengus pelan. “Apa
bagusnya dunia ini? Hanya dipenuhi manusia-manusia yang egois dan memiliki
naluri serakah yang besar. Aku tak butuh dengan dunia seperti itu.”
Ayahnya kembali tertawa. Ia menganggap omongan anaknya
lucu. Terdengar sangat kekanak-kanakan“Maafkan ayah, nak. Ayah memang gagal
menjadi ayah yang baik untukmu. Maka dari itu, ayah ingin memperbaiki segalanya
ketika ayah menyadari sesuatu…”
“Sesuatu apa?”
Ia menaikkan
kacamatanya. “Waktu tak dapat diputar. Oleh karena itu ayah ingin menghabiskan
sisa hidup ayah untuk membahagiakanmu dan menjadikanmu orang yang sukses agar
bisa berguna di masa depan.”
Dion tertawa sakartis
dan mengutuk kalimat tersebut. “Bagaimana bisa ayah dengan ringannya mengatakan
hal tersebut setelah ayah merenggut segalanya dari kehidupanku? Ibu dan
senyumanku, semuanya pergi begitu saja. Semuanya tinggal kenangan manis yang
selalu menghukum hidupku. Seperti waktu ini sudah tidak berarti lagi, seperti
aku sudah tidak ada gunanya ada dunia ini.” Tandasnya. Tak sadar matanya mulai
berembun. Lagi-lagi kisah pilu itu teringat lagi dan menghujani kehidupannya
yang kacau.
“Dion! Sampai kapan kau
mau mengutuk kehidupanmu yang sekarang? Ayah rela melakukan apa saja agar
keluarga kecil ini dapat bahagia.”
Lagi-lagi tawa sakartis
singgah di bibir Dion. Lalu ia menatapnya dalam-dalam dan menyaksikan airmata
buaya yang berusaha ayahnya buat. Meski Nicho adalah ayahya, ia tak pernah
memperdulikan apa yang ia ucapkan. Dion menganggap dirinya sebagai anak yang
durhaka. Tapi menurutnya, bukankah dunia ini tidak adil? Jika ada anak durhaka
mengapa tidak ada orangtua durhaka? Itulah yang singgah di benaknya. Dion
Sungguh membenci kehidupannya.
“Ayolah, Dion. Maafkan
ayah.” Ucapnya dengan nada yang lembut. Entah sudah berapa kali ucapan maaf yang
telah keluar dari mulut Nicho Mahesa sejak perpisahan dengan istrinya.
Mendengar suara ayahnya,
Dion semakin muak. Baginya, ayahnya tengah berakting. Tingkah ayahnya sudah
seperti pemeran antagonis di drama-drama Shakespeare yang dengan mudahnya
membodohi seseorang. Tapi Dion tidak mau termakan rayuannya sekalipun ia adalah
ayahnya.
“Bagaimana dengan
keluarga barumu? Apakah mereka bisa mengurusmu dengan baik?” Tanya Dion
tiba-tiba. Kali ini dengan nada mengejek. Ia seperti tak sudi menatap wajah
Niho Mahesa.
Setelah perceraian
dengan ibunya, ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda
beranak satu. Wanita yang ia nikahi adalah warga negara asing yang sudah lama
tinggal di Indonesia. Meski Dion tak tinggal serumah dengan mereka, ia sudah
banyak mendengar cerita dari ayahnya meski ia tak mau mendengarnya.
Nicho tersenyum masam.
“Ya. Setidaknya ada yang menyiapkan sarapanku setiap pagi.”
Dion tertawa sakartis.
Lalu mendengus kesal. “Oh. Jadi begitu? Lalu bagaimana dengan diriku? Ayah
seenaknya saja memindahkanku ke sekolah itu agar bisa satu sekolah dengan anak
tirimu itu. Hidupku semakin terbakar ketika mengetahuinya.”
“Bukan itu alasannya.
Bukankah kamu tahu alasannya? Ayah memindahkanmu karena urusan jarak pekerjaan
ayah. Lagi pula sekolah di dekat sini hanya itu saja.”
Ia memutar bola mata
kesal lalu segera bangkit dari kursi dan pergi begitu saja sembari menggendong
gitar hitam. Nicho Mahesa berusaha meraih tangan Dion, lantas dengan sekuat
tenaga Dion berusaha melepaskannya. Dion berlari kecil menuruni tangga ketika
menyadari ayahnya sedang mengejarnya.
●◙●
Suasana rumah sudah seperti neraka baginya. Beberapa
saat setelah pertengkaran dengan ayahnya, Dion berjalan tanpa tujuan untuk
menemukan tempat yang sunyi dan tanpa ada seorangpun. Ia ingin menuangkan
segala kekesalannya di melodi yang ia mainkan.
Hingga akhirnya langkah kaki membawanya di sebuah
taman yang biasa ia lewati disetiap pagi. Dion duduk tepat di tengah taman
beratapkan langit dan ia mulai memainkan nada-nada pengusir duka. Ia sangat
menyukai sebuah lagu dari band terkenal Muse yang berjudul Unintended. Lagu itulah
yang Dion mainkan saat ini.
♫You
could be my unintended choice
to live my life extended
You could be the one
I’ll always love
I’ll be there as soon as I can
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before
First there was the one who challenged
All my dreams and all my balance
She could never be as good as you
to live my life extended
You could be the one
I’ll always love
I’ll be there as soon as I can
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before
First there was the one who challenged
All my dreams and all my balance
She could never be as good as you
I’ll be
there as soon as I can
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before♫
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before♫
Sembari menyanyikannya,
angin malam yang berhembus dengan lembut dan penuh kenikmatan mengelus-elus
wajahnya. Dion membenamkan diri ke dalam suasana nyaman itu dan membuatnya
tenggelam dalam kedamaian. Ia mencoba
memejamkan mata. Suara rerumputan yang saling bergesekan samar-samar terdengar.
Aroma pohon flamboyan membuat dirinya tenang. Bau parfum yang begitu wangi juga ikut menyapa
indra penciumannya. Parfum? Dion segera membuka mata dan memperhatikan di sekitar.
Seingatnya ia tidak memakai parfum sebelum ke taman ini.
Apa
jangan-jangan ada yang memperhatikanku? Atau bau orang yang hanya sekedar
lewat? Gumamnya. Dion coba
menerka-nerka dalam hati.
Hingga akhirnya suara langkah kaki terdengar bergerak
ke arahnya. Semakin lama, suara langkah itu semakin terdengar. Cara berjalan
orang ini tampaknya begitu menggesek-gesekan alas kakinya.
“Oh, rupanya kau yang bernyanyi tadi?” Seseorang
menyapanya dari belakang.
Lagi-lagi wanita aneh itu muncul dihadapan Dion. Padahal
ia sedang berusaha mengusir duka. “Pergilah. Aku tidak ingin diganggu.” Ucapnya
ketus.
Ia tersenyum lebar. Dion terkejut melihat ia memiliki
gigi gingsul yang begitu manis. “Kenapa kau berada di sini malam-malam begini?”
Tanyanya.
Dion mengernyitkan dahi. “Kau juga kenapa ada di sini
malam-malam? Tidak baik bagi perempuan untuk berjalan sendirian malam-malam
begini.”
Ia tertawa kecil. “Rupanya
kau mulai perhatian, ya?”
Sial.
Dion merasa terjebak dengan perbincangan aneh itu. “Tidak. Tidak begitu. Aku
hanya ingin kau tak mengangguku.” Dion membuang muka. “Bisa kau untuk saat ini
kau tidak menggangguku? Nona…” Dion terhenti.
Gadis itu menatapnya dengan senyum simpul di bibirnya.
“Clarisa Artayasa. Itu namaku. Padahal kita pernah berbincang di sekolah. Tapi
kau selalu lupa dengan namaku.”
Dion tak mau mengingat nama itu.
Ia terkikik melihat ekspresi Dion lalu segera membuang
pandangan ke sekitar. “Apa menurutmu aku penganggu? Aku ke sini hanya ingin
bertemu dengan kucing itu.” Matanya masih liar mencari kucing itu.
Dion pun bangkit dari kursi. “Baiklah. Aku yang akan
pergi.” Ia berlalu meninggalkannya namun baru beberapa langkah yang ia ambil,
terdengar suara sesuatu yang jatuh. Dion segera menoleh dan mendapati wanita
itu telah tersungkur tak jauh dari tempat ia berdiri sebelumnya.
“Hey. Jadi kau berharap aku akan ke sana dan membantu
berdiri? Ayolah, ini bukan di film-film, Kau tidak cukup pandai berakting.”
Ucapnya tanpa ekspresi.
Ia tidak menjawab. Ia
terus saja memegang lututnya dan ekspresi kesakitan tampak dari raut wajahnya.
Tapi maaf saja, Dion tidak akan tertipu.
Dion pun berjalan
dengan langkah malas ke arahnya. Bukannya ingin peduli, ia hanya memastikan
akting apa yang dia tunjukan.
“Bisakah kau
menangkapnya. Aku mencoba mengejarnya tapi–.” Ucapnya sembari terus memegang
lutut dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menunjuk ke depan.
Lantas ia coba bangkit dan Dion bisa melihat lututnya berdarah. Ia sedikit
terkejut dan hanya bisa menunduk memandangi lututnya yang berdarah itu.
“Hey! Apa kau tidak
mendengar ucapanku.” Clarisa mengejutkan lamunannya.
“Aku kira kau hanya
wanita aneh, ternyata kau juga ceroboh. Mengejar kucing hingga tersungkur itu
adalah hal yang memalukan.” Tandasnya ketus. Entah raut wajah seperti apa yang
Dion tunjukan.
Ia mengernyitkan dahi
hingga kedua alisnya hampir bersentuhan. “Berhenti memanggilku wanita aneh. Aku
punya nama dan namaku sangat bagus, Clarisa, ingat itu Manusia Es! Lututku
hanya sedikit ngilu hingga aku jatuh.”
Dion tersenyum simpul
melihat bola mata Clarisa yang berbinar ketika sedang marah. “Terserahlah.” Jawabnya singkat.
Dion pun berdiri di depannya dan segera menundukkan
badan lalu memberikan punggungnya. Clarisa hanya terperangah melihat tingkah si
Manusia Es. Bukannya Dion mencoba perhatian, hanya saja melihat raut wajah
kesakitan itu mengingatkan Dion pada ibunya yang disakiti ayahnya. Ia tidak mau
duka lama terus membayanginya, maka setiap ada kesempatan meski hanya sekedar
mengingatkan luka lamanya ia berusaha untuk menjadi orang yang baik. Meski ia
sangat tahu bahwa luka lama itu sulit untuk terhapus.
“Ap- apa yang akan kau
lakukan?” Tanyanya.
“Naiklah. Aku akan
mengantarkanmu pulang.”
Clarisa menunjuk
semak-semak yang ada di depan. “Tapi kucing itu belum makan malam.”
Dion tertawa kecil. “Kau
memang aneh. Aku yang akan memberikan makan setelah kau sampai di rumah.”
“Tapi aku bisa jalan sendiri.”
Ucapnya. Segera ia balikan badan dan melirik ke arahnya. Ia berusaha melangkah
dengan langkah pincangnya. Namun tetap saja menyeret kaki yang terluka hingga
sampai rumah itu adalah hal yang bodoh. Tapi begitulah perempuan, walaupun luka
yang kecil, sudah kesulitan untuk mengatasinya sendiri. Mungkin itulah mengapa
muncul filosofi tentang perempuan adalah bagian dari tulang rusuk laki-laki. Itu
mungkin karena perempuan tak bisa apa-apa tanpa laki-laki.
“Naiklah!” Tegasnya.
“Ta-tapi… Baiklah jika
kau memaksa. Rumahku dua blok dari sini.” Clarisa tersenyum kecil. Senyumnya
kali ini lebih manis daripada yang biasa
Dion lihat.
Ini adalah kali pertama
bagi Dion menggendong seorang perempuan di punggungnya. Untunglah jalanan yang
mereka tempuh tidak begitu ramai. Jika ramai, mungkin Dion sudah mati karena
malu.
Dion terus menjaga gadis itu agar tetap di punggungnya
dan tidak terjatuh. Rambut sebahu Clarisa bergerak-gerak di tiap gerakannya
ketika angin malam menerpa mereka berdua. Clarisa lalu menengadah, memandang
langit diatas sana yang dipenuhi oleh milyaran bintang. Sesekali ia mengulurkan tangannya ke atas.
Dalam hati Dion ia sudah menduga ia wanita yang aneh.
“Kau tahu berapa jumlah
bintang di dunia ini?” Tanyanya dengan suara yang lembut.
Dion tertawa sakartis.
“Orang bodoh mana yang peduli dengan jumlah bintang di langit?”
Clarisa menyunggingkan senyum simpul. “Kalau begitu
betapa bodohnya langit yang mau menampung bintang-bintang itu.” Ucapnya sembari
menatap langit.
Sudah ia duga, ia akan terjebak lagi dalam pembicaraan
absurd. Dion hanya berusaha menebalkan telinga dari omongan tidak jelas itu.
Clarisa berdendang kecil sembari terus mengamati
bintang dan orang yang lalu-lalang. Rambut panjang yang wangi jatuh di pundak
Dion, lantas ia menepuk bahunya sekeras mungkin. Namun Dion tidak
memperdulikannya. Ia merapatkan bibirnya di telinga Dion, bisa ia rasakan napas
yang Clarisa hembuskan.
“Apa kau tahu betapa hebatnya langit?” Bisiknya pelan.
Dion berusaha untuk tidak memperdulikan pertanyaannya.
Namun Clarisa seperti memiliki magnet yang menariknya dalam pembicaraannya. Ia
berdengung. “Hm. Entahlah. Aku tidak pernah memikirkan itu.” Seketika listrik
di otaknya seperti bekerja dan seketika pula puluhan intuisi berkelebat dalam
pikirannya.
Clarisa tersenyum kecil dan menengadah memandang
langit. “Langit adalah tempat pertemuan yang bisa menyatukan orang yang
berjauhan. Karena semua orang menatap langit yang sama. Seketika mereka bisa
saling terhubung dan sadar bahwa mereka ada di dunia yang sama. Maka dari itu
langit bisa mengamati siapa saja dari atas sana. Bukankah itu hebat?”
Ah! Entah kenapa tiba-tiba otaknya berpikir keras
tentang apa yang Clarisa ucapkan. “Langit
adalah tempat pertemuan yang bisa menyatukan orang yang berjauhan. Karena semua
orang menatap langit yang sama. Seketika mereka bisa saling terhubung dan sadar
bahwa mereka ada di dunia yang sama. Maka dari itu langit bisa mengamati siapa
saja dari atas sana.” Dion mencoba mencernanya lagi dalam otaknya. Langit? Saling
terhubung? Entahlah, otaknya tak cukup hebat untuk menelaah filosofi yang
dibuat gadis itu. Ia hanya mengangguk tanda bahwa ia mengerti.
“Itu rumahku!” Serunya sembari berusaha turun dari pundak
lelaki itu. Maka segeralah ia raih tangan Clarisa dan ia naikkan ke bahunya. Ia
lihat di depan rumahnya ada mata yang sama dengan Clarisa. Ia menyunggingkan
senyum kecil ketika Dion sudah berada di depan rumahnya. Ia adalah orang yang
telah melahirkan Clarisa. Terlihat pula ada seorang anak perempuan yang
menemaninya berdiri menanti kepulangan Clarisa.
“Ada apa dengan kakimu, Clarisa?” Tanyanya.
Pandangannya tak lepas dari lelaki dengan wajah datar dan terus saja mengamatinya dari kaki hingga
hingga ujung rambut.
“Aku tadi jatuh di taman. Tapi tidak apa-apa, kok.
Hanya luka kecil saja.” Jawab Clarisa.
Ibu Clarisa berdeham. “Bolehkah kau memperkenalkan
sahabatmu ini?”
Clarisa meraih bahu Dion dan merekahkan senyum lebar. “Dia
Dion Mahesa. Teman sekelasku. Dia yang mengantarkanku pulang.” Clarisa
menatapnya dengan penuh semangat. “Dion, ini ibuku. Anna.”
“Maafkan Clarisa. Ia anak yang kurang hati-hati.”
Dion hanya mengangguk dengan senyum kecut di bibirnya.
Sedangkan Clarisa memanyunkan bibir.
Anna terkekeh lalu segera menyuruhnya masuk untuk makan
malam. Ketika melihat Anna menghilang dari balik pintu, Dion mulai mundur
dengan perlahan dan berniat untuk pulang saat itu juga. Namun tentu saja hal
itu tidak dibiarkan oleh Clarisa.
“Tidak, Clarisa, aku harus–.”
“Apa kau mau mati kelaparan sebelum sampai di rumahmu?
Masuklah, anggap saja ini ucapan terima kasih karena sudah mengantarkanku
pulang.” Clarisa melempar senyum kecil itu lagi. Senyum yang dihiasi gigi
gingsul itu sungguh lucu.
“Apa-apaan kau ini? Kau, kan baru mengenalku.”
Bisiknnya pelan.
Clarisa tidak menghiraukan ekspresinya dan terus
menarik tangannya. Namun Dion masih mematung tak bergerak dari tempat ia
berdiri.
“Ayolah. Ajakan makan malam itu tidak boleh ditolak.
Sudah kubilang kau akan mati kelaparan sebelum sampai di rumah.” Ia mengulang
kalimat tadi namun kali ini sedikit ia pertegas.
Benar juga. Jika Dion menolak ajakannya, ia akan
kelaparan sebelum sampai rumah. Lagi pula ia belum makan karena pertengkaran di
rumah tadi. Baiklah, kali ini Dion mengalah.
Ruangan makan keluarga ini begitu nyaman. Ditambah
lagi disejukkan dengan pendingin ruangan, meja yang luas dan suasana keluarga
yang begitu damai. Ini suasana yang tak pernah ia dapati sejak keretakan
hubungan dalam keluarganya. Meja makan itu terdiri dari lima kursi, namun
karena kehadiran Dion malam ini, Erwin menambahkan satu kursi lagi di meja
makan tepat di samping kepala keluarga itu. Keluarga yang ramah itu terdiri
dari Erwin, Anna, Clarisa, adik
perempuan Clarisa yang bernama Angeli, dan adik laki-laki yang paling bungsu
bernama Stanly. Ketika seluruh anggota keluarga terkumpul, suasana hangat pun
muncul.
“Baiklah. Malam ini kita kehadiran tamu. Namanya Dion.
Malam ini ayah juga ingin memberi selamat kepada Angeli karena ia mendapat rangking tiga pada lomba renang. Ia
hebat karena bisa naik podium.” Ucap Erwin.
“Ah. Ayah berlebihan.” Angeli memanyunkan bibir.
Ayahnya pun tergelak.
Suara mungil dari Stanly juga tak ketinggalan menghangatkan
suasana. “Aku juga akan sama seperti kakak.” Ia menunjuk sebuah foto yang
digantung di sudut ruangan, foto Angeli sedang menerima medali.
Nyonya Anna tertawa kecil. “Kau masih lima tahun.
Giatlah berlatih bersama kakakmu..”
“Sudah pasti.” Ucapnya dengan senyum lebar.
Keluarga ini tertawa dengan ceria. Seperti tak ada
beban yang hinggap di keluarga ini, dan entah kenapa, Dion bisa tersenyum
dengan lepas ketika menerima kehangatan dari keluarga kecil ini. Ini adalah
keluarga yang sejak dulu ia rindukan.
“Apakah kau sudah lama mengenal Clarisa?” Tanya Erwin
di tengah makan malam sedang berlangsung.
Dion menelan makanan yang sedang penuh di mulutnya agar
bisa menjawab pertanyaan itu. “Tidak juga. Aku baru mengenalnya beberapa hari
yang lalu.”
“Bukannya kalian satu sekolah? Masa baru saling kenal?” Tanya Erwin lagi.
Dion tersenyum kecut. “Iya, tapi aku adalah murid
pindahan yang baru pindah tahun ini.”
Erwin menatap ia dalam-dalam namun Dion tidak mau membalas
tatapannya. “Kurasa kau anak yang baik. Kalau begitu aku minta tolong agar kau
menjaga Clarisa di sekolah, ya?”
Apa?
Menjaga wanita aneh ini? Pikir
Dion. Masih terlalu cepat seratus tahun baginya untuk terlibat lebih dalam lagi
dengan Clarisa. Dion hanya mengangguk
pelan dengan senyum kecut terlukis di wajahnya.
“Ayah. Memangnya aku anak kecil yang harus dijaga.”
Clarisa mendengus kesal.
Seketika keluarga itu tertawa melihat ekspresi
Clarisa. Sudah ia duga ia benar-benar menginginkan keluarga yang seperti ini.
Fifth
THE PRINCE
Hari baru telah ditabuhkan. Hari ini ternyata lebih
cerah setelah ia lihat sinar itu dari koridor yang menghubungkan ruangan kelas
dengan aula ekstrakulikuler. Cahaya pagi seperti mengetuk semangatnya agar
tetap membara. Suara-suara burung terdengar selaras–bertengger di dahan pohon
di samping jendela koridor. Clarisa menatap sekitar dan mengamati semua orang
yang sedang sibuk dengan urusan ekstrakulikuler. Beberapa murid kelas satu juga
telah diberikan pengenalan di tiap ruangan. Ia yang telah lengkap dengan
seragam tim voli segera bergegas ketika melirik jam sudah menunjukan pukul
sembilan lewat lima belas menit. Lima belas menit lagi seluruh kegiatan
ekstrakulikuler akan segera dimulai. Oh, ya, meskipun Clarisa telah duduk di
kelas tiga, tapi pihak sekolah masih mengijinkannya mengikuti seluruh kegiatan
ekskul, setidaknya sampai penghujung semester satu.
Aula yang biasanya dipakai untuk olahraga kini telah
dipenuhi dengan murid-murid. Tampaknya murid kelas satu banyak yang memilih
untuk mengikuti ekskul olahraga.
Meskipun tim voli tidak lebih banyak dari tim basket
dan sepak bola, namun mereka lebih unggul kalau soal kekompakan. Buktinya
dengan sekali komando, tim voli telah berbaris dengan rapi. Mungkin karena
jumlah yang sedikit, mereka lebih mudah untuk diatur.
“Baiklah, ini adalah latihan perdana kita di tahun ajaran
baru. Maka dari itu semangat baru juga harus kalian tunjukkan.” Suara yang
begitu lantang dari kapten tim voli putri. Mereka biasa menyapanya dengan
sebutan kapten Ellie. Gadis dengan rambut coklat yang di ikat membuatnya
terlihat sangat cantik.
Dia adalah kapten yang memiliki kebijaksanaan yang
tinggi. Ia mampu mengangkat moral dan semangat tim voli putri dalam sekejap.
Oleh karena itulah ia diberi julukan ratu tim voli di sekolah Bunda Pertiwi.
Sejauh ini belum ada yang bisa mengganti posisinya sejak ia terpilih menjadi
kapten
Jika ada ratu tentu saja ada rajanya. Dia adalah
lelaki yang sangat luar biasa. Ia berperawakan tampan, berpostur tinggi dan
tegak, berkulit putih, mata biru gradasi hitam, serta selalu memukau banyak
orang di lapangan. Oleh karena itulah ia menjadi dambaan murid-murid perempuan
di sekolah ini. Begitupun Clarisa, tapi tetap saja, ia hanya merasa perempuan biasa yang tidak mampu bersaing
dengan siswi cantik lainnya. Ditambah lagi, momen di mana Clarisa berbica
dengannya hanya sebatas tentang tim voli, tidak lebih meski ia mau berbicara
banyak dengannya. Namun begitulah situasi yang terjadi saat ini. Clarisa hanya
bisa diam seribu bahasa kepada raja tim voli itu, ialah Justin.
“Clarisa.” Suara itu menyapanya ketika ia melangkah ke
ruang ganti bersama Yuka dan Yuki.
Clarisa pun menoleh mencari suara yang menyapanya
tadi.
Ia sangat kaget melihat orang itu berlari kecil ke
arahnya seraya memeluk bola voli.
“Ya?” Sahutnya ketika Justin telah berdiri di hadapannya.
Clarisa terus menunduk dan tidak berani menatap matanya. Kali ia benar-benar
membatu.
Meskipun mereka sama-sama kelas tiga, tapi Clarisa
sangat menghormatinya. Bukan karena ia kapten tim voli, melainkan karena
kharismanya yang membuat gadis itu susah untuk berkata-kata.
“Sore ini apakah kau punya waktu?” Ucapnya dengan
senyum manisnya.
Clarisa terdiam beberapa saat untuk mengecek daftar kegiatannya
di hari ini yang ia simpan dalam otaknya. Lantas ia menyunggingkan senyum
simpul. “Aku sedang tidak sibuk sore ini.”
Justin menarik napas berat, tak henti-hentinya ia
tersenyum. “Maukah kau menemaniku sore ini untuk memperbaiki mobilku?” Ajaknya.
“Mobilku ada masalah di bagian mesin yang harus segera diperbaiki. Ya, setelah
itu kita jalan-jalan.”
Saat ini Clarisa merasa seperti mendapati mimpi
indahnya terwujud.
Gadis itu mengangguk pelan. “Baiklah.”
Justin tersenyum lebar. “Ok. Aku akan menunggumu di
gerbang sekolah setelah bel pulang berbunyi.” Ucapnya, lalu berjalan kembali ke
aula.
Ini merupakan hari yang tak akan pernah ia lupakan
sepanjang hidupnya. Menerima ajakan dari seorang idola bak disirami air surga.
Ajakan dari orang yang begitu spesial, bukan seorang cover boy, bukan pula seorang artis, ia adalah kapten tim voli yang
ia kagumi sejak pertama kali masuk tim voli putri.
Tiba-tiba seseorang memegang bahu Clarisa. “Apa?
Sebuah date?” Tanya Yuka terkejut.
Yuki menarik kedua tangan gadis bergigi gingsul itu.
“Kamu beruntung sekali, Cla. Ok, saatnya berjuang. Fighting!” Kedua saudara kembar itu menyemangatinya.
Clarisa mengangguk dengan senyum terus merekah.
●◙●
Baiklah, ini adalah kesempatan emas buatnya. Mungkin
setelah ini ia akan mendapat banyak kesempatan untuk lebih jauh mengenal
Justin.
Kegembiraannya terus
tergambar dari raut wajahnya. Ia melangkah kegirangan melewati koridor ekskul.
Sepertinya ia dehidrasi karena terlalu meluapkan kegembiraannya. Ia memutuskan
mengenyahkan dehidrasinya di kantin sekolah. Namun belum sampai di kantin,
langkahnya terhenti karena mendengar alunan gitar akustik dari ruangan ekskul
musik. Alunan melodi itu sangat menenangkan hati, bak alunan akustik yang
dimainkan duo Depapepe. Ia penasaran siapa yang memainkan melodi seindah itu.
Clarisa pun mengintip dari balik pintu.
Tiba-tiba suara gitar
itu berhenti.
“Hey! Tak bagus
menguping seperti itu.” Orang itu mengetahui keberadaannya. Baiklah, kali ini
ia akan meminta maaf.
“Maaf. Aku tidak se–”
Clarisa terhenti ketika mengetahui orang itu adalah Dion.
“Kenapa kau selalu
mengikutiku? Dasar wanita aneh.” Ucapnya kesal.
Ia melihat lelaki itu sedang menyetel beberapa alat
musik termasuk gitar yang ia mainkan tadi.
Clarisa tergelak
melihat ekspresinya. Lalu ia berjalan ke arah Dion seraya terus mengamati
seluruh benda yang ada di ruangan itu.
“Kenapa ruangan ini
sangat sepi? Bukankah ini masih jadwal ekskul?” Tanya Clarisa.
Dion tertawa sakartis,
lantas menuju ke sebuah lemari dan mengambil beberapa kain. “Apakah kau suka
musik?” Tanyanya. Sesegera mungkin ia menghilangkan senyum dari bibirnya.
“Tidak terlalu. Aku
tidak terlalu sering mendengar musik. Apalagi memainkannya.”
Dion menoleh lalu
menatap Clarisa dengan tatapan dingin. Tatapan yang selalu berbicara banyak
tentang hidupnya. “Ya, begitulah situasi saat ini.”
“Maksudmu?”
Dion membalikan badan.
“Entah mengapa sejak aku masuk ke dalam ruangan ini, tidak ada siapa-siapa.
Lihat saja, semua alat musik di ruangan ini begitu usang tak terawat. Aku ragu
kalau ada murid yang menggunakan semua benda ini.”
“Jadi kau akan mengikuti
ekskul musik?” Tanyanya cepat.
Ia mengangguk pelan.
“Kurasa begitu.” Lalu ia mengacungkan jari seraya berkata, “tolong buka jendela
itu.”
Clarisa menurut dan membukanya
. Dengan cepat sekelebat cahaya masuk dan menyinari seisi ruangan.
Ia mengamati dengan
seksama cahaya-cahaya itu sembari menengadah ke langit. “Hari ini begitu indah,
ya? Aku merasa hidupku semakin berwarna.”
Dion mendengus pelan
lalu berjalan ke arah jendela yang lainnya. Clarisa menatap lelaki yang berdiri
tak jauh darinya. Lalu ia melempar pandangang lurus kedepan dengan tatapan
kosong.
“Kau tahu tujuan kau
hidup?” Tanya Dion pelan.
Clarisa mengernyitkan
dahi ketika menerima pertanyaan itu. “Kenapa kau bertanya tiba-tiba seperti
itu?”
Dion seperti tidak mendengar pertanyaan itu. Tampaknya
ia ingin mendengar sebuah jawaban ketimbang pertanyaan yang balik kepada
dirinya.
Baiklah, Clarisa sudah tahu apa yang akan terjadi.
Clarisa berdengung. “Apa ya? Mungkin tujuan aku hidup
untuk menjadi orang yang berguna. Semoga saja. Karena pada dasarnya semua orang
ini berusaha menjadi orang yang berguna.”
Dion acuh dengan
jawaban itu. “Kamu tahu letak persamaan kehidupan dan musik?” Dion masih sibuk
melempar pertanyaan.
Clarisa menggeleng
pelan.
“Keduanya akan
sama-sama indah bila kita tahu memainkannya dengan baik dan benar.” Katanya
sembari menengadah ke langit. “Namun keduanya adalah bahasa yang sukar dipahami
dalam pengertian paling luar biasa. Maka pada akhirnya manusia akan berusaha
ingin tahu apa tujuannya hidup dan mencari cara agar manusia berguna di dunia
ini.”
Clarisa tersenyum kaku
sembari terus menelaah perbincangan ini di dalam otaknya.
“Tapi di antara
manusia-manusia itu, ada yang hanya mencoba memaksakan hidup dan terus
memperlihatkan keserakahannya di muka bumi. Maka dari itu, aku benci dengan
hidup ini. Aku lebih menghargai musik yang kudengar ketimbang hidup ini.”
Bibir gadis bergetar.
Orang ini memang benar-benar memiliki jiwa introver sampai-sampai membenci
kehidupannya. Tapi apakah semua orang yang sama dengannya akan selalu seperti
ini? Clarisa memang sadar bahwa yang ia katakan tak semuanya salah. Namun
manusia tak punya hak untuk mengutuk kehidupannya sendiri. Apalagi kehidupan
orang lain. Karena Clarisa percaya bahwa kehidupan itu suci.
“Lalu kenapa kau
membicarakan hal seperti ini? Dan kenapa kau bertanya padaku?” Clarisa bertanya
tanpa henti.
Dion terkekeh pelan
lalu jongkok seperti sedang melihat sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah piringan
berwarna hitam dari bawah kursi. “Entahlah.” Dion menggelengkan kepala.
“Mungkin itu karena aku terlalu sering melihatmu menikmati hidup ini.”
Memangnya itu salah? Gumam Clarisa.
Clarisa memfokuskan pandangan ke depan dan terus
mengamati pohon ketapang besar yang berdiri tegak di depan sana. “Apakah kamu
masih hidup?” Tanyanya.
Ia tertawa. “Aku rasa
begitu. Memang kenapa?”
“Kalau begitu kau mati
saja.” Ucapnya dengan nada datar meski terdengar seperti anak panah yang
menghujam dada.
Dion menyipitkan mata mendengar
ucapan tadi. Namun ia mendengus meremehkan ucapan gadis itu.
“Aku tak tahu apa masalahmu
sampai-sampai mengutuk hidupmu sendiri. Seberapa besar masalahmu, kau tak perlu
khawatir. Because you are alive, so,
everything is possible. Namun tampaknya harus ada orang yang memukul
kepalamu agar bisa menghargai hidupmu.”
Dion tertawa sembari
membalikkan badan – menatap seantero ruangan musik. “Andaikan di dunia ini ada
mesin waktu, mungkin aku akan menghargai hidupku ini.”
“Mesin waktu?” Clarisa
mengernyitkan dahi.
“Baiklah. Terima kasih
karena telah menceramahiku.” Ucapnya tanpa menjawab pertanyaan gadis yang masih
memakai seragam olahraga.
Clarisa tidak lagi mengejar
jawaban dari pertanyaan yang ia buat. Ia pikir itu bukan hal yang penting.
“Bisakah kau membantuku
hari ini?” Tanya Dion. “Kau pasti tahu aku tidak akan bisa membersihkan semua
alat musik ini sendirian. Lagi pula kamu sudah menyita waktuku dengan perbincangan
tadi.”
Apa? Sore ini Clarisa sudah lebih dulu membuat janji dengan Justin.
Tentu saja ia tidak bisa membatalkannya hanya untuk membantu manusia es yang
ada di hadapannya. Jika harus memilih, Justin-lah yang layak ia pilih. Bukankah
lelaki seperti itu adalah idaman?
“Aku ada urusan saat
ini. Jadi aku tidak bisa membantumu.” Ucapnya berusaha menolak.
Dion tertawa sakartis.
Lalu ia berjalan ke arah piano hitam dan menaruh jemarinya di atas tuts hitam
putih. Namun ia tidak memainkannya.
“Bukankah janji dengan
orang itu nanti sore, kan? Ini masih jam satu siang. Kurasa kau bisa membantuku
sampai satu jam kedepan.”
Clarisa mengernyitkan
dahi. “Kau mendengar percakapan tadi? Itu sungguh tidak sopan.” Ucapnya dengan
nada yang sedikit naik.
“Maaf, jadi?” Tanyanya
mengonfirmasi ajakannya.
Clarisa membuang muka
seraya menggurutu. “Baiklah. Aku akan membantu.” Ia segera beranjak dari depan
jendela. Namun baru beberapa langkah, ia mengerang kesakitan ketika rasa nyeri
yang luar biasa menyerang tangan kirinya. Seperti ada yang mengganggu di
tangannya. Sejenak ia tidak bisa merasakan keberadaan tangannya karena rasa
sakit yang menyelimutinya.. Untunglah tak lama kemudian rasa sakit itu tiba-tiba
menghilang. Suatu hal yang aneh dan jarang terjadi.
“Apa kau baik-baik
saja?” Tanya Dion, ia berjalan ke arah gadis itu.
Clarisa mengangguk.
“Ya. Kurasa aku terlalu keras berlatih voli.”
Dion berdeham. “Kalau
begitu tampaknya kau tidak bisa membantuku. Sebaiknya sekarang kau cepat pergi
ke UKS.”
Clarisa mengangguk dan
meninggalkan ruangan itu.
Cih! Dion merasa bahwa itu adalah alasannya untuk kabur.
●◙●
Clarisa melirik jam tangannya, lalu memandang halaman
sekolah yang begitu luas. Sudah hampir setengah jam ia berdiri di depan gerbang
sekolah. Jam sudah menunjukan pukul 3.30 sore, namun batang hidung Justin belum
saja muncul.
Mata Clarisa terus
bergerak mencari sosok Justin di tengah kerumunan siswa yang lalu lalang.
Laki-laki itu sudah
terlambat setengah jam. Meski begitu, Clarisa malu untuk menghubunginya. Jika
tidak malu, ia sudah menghubunginya sedari tadi tanpa harus menunggu lama. Ia
berharap Justin tidak berhalangan di sore ini.
Ia berniat menunggu
sebentar lagi. Setidaknya sebelum langit benar-benar memerah.
Clarisa kembali mengfokuskan
pandangan ke novel yang ia baca. Ia memang suka membaca novel, sampai-sampai ia
punya mimpi untuk menjadi seorang penulis. Namun Clarisa terlalu banyak hobi
dan belum bisa memfokuskan diri ke satu tujuan. Selain menulis, Clarisa
memiliki potensi dalam seni menggambar. Ia begitu terobsesi dengan
gambar-gambar dari komik.
Tiba-tiba seseorang
bersepatu hitam berdiri di hadapan Clarisa. Ia pun mengangkat kepala dan
bertatapan dengan orang itu.
“Kukira kamu sudah
pergi.” Ucap orang itu. Ialah Dion.
Clarisa tersenyum.
“Justin belum datang. Jadi aku akan menunggunya sedikit lagi.” Jawabnya.
“Ayo kita duduk di sana.”
Katanya seraya melangkah tanpa memperdulikan gadis itu akan ikut atau tidak.
“Seharusnya kau sudah
pulang dari setengah jam yang lalu.” Kata Clarisa ketika mereka telah duduk
berdampingan.
Dion tersenyum. Sekilas
sikap dingin yang biasa ditunjukannya hilang. “Ya. Tapi bisa kau lihat masih
banyak siswa yang berkeliaran di sekolah. Lagipula tadi aku sedikit sibuk
memainkan alat musik.”
Clarisa mengangguk
pelan.
“Oh, ya, kau dan Justin
akan pergi kemana?” Tanya Dion. Tak seperti biasanya, Dion kali ini sedikit
ramah dan banyak bertanya. Clarisa bingung melihat sikap Dion yang tiba-tiba
peduli dengan urusan orang lain. Clarisa pikir itu karena wejangan darinya di
ruang musik tadi.
“Entahlah. Yang pasti
aku akan pergi menemaninya memperbaiki mobilnya. Lalu kita akan jalan-jalan.” Jawab Clarisa.
“Apakah kau dekat
dengannya?” Tanya Dion.
Clarisa menggeleng.
“Tidak juga. Selama ini kami jarang berkomunikasi. Aku bahkan ragu kalau dia
mengingat wajahku. Tapi entah kenapa dia tiba-tiba mengajakku untuk menemaninya.”
“Itu dia.” Dion menunjuk seseorang yang ada di
seberang jalan. Lalu ia mengangkat tasnya yang ia sampirkan di kursi dan
berkata, “hati-hati.”
Clarisa membalasnya
dengan senyum lebar.
Dion pun melangkah
pergi dan menghilang di balik pagar yang tak jauh dari situ.
Sesegera mungkin Clarisa
menfokuskan pandangan ke arah lelaki yang ada di seberang jalan. Ia sedang
menunggu warna lampu penyeberangan berubah menjadi hijau. Setelah lampu hijau
menyala, lelaki itu menyeberang tanpa tergesa-gesa.
Clarisa berdiri dan terus
memandangi lelaki itu dengan senyum lebar, bak putri yang sedang melihat kesatria
berkuda.
Tanpa menyapa terlebih
dahulu, lelaki itu bertanya.”Siapa orang itu?” Tanya Justin ketika sudah
berdiri di hadapan Clarisa.
“Oh, dia Dion. Teman
sekelasku.” Jawab Clarisa seraya menyisir rambut dengan jarinya. Itu tampaknya
sudah menjadi ciri khas seorang gadis ketika bertemu dengan lelaki yang
disukainya.
Justin tersenyum kaku.
“Sudah lama menunggu?” Tanyanya.
“Lumayan.” Sahutnya.
“Kukira kau akan muncul dari dalam sekolah. Kalau boleh tahu kau dari mana?”
“Aku tadi pulang ke
rumah untuk mengambil ponsel. Takutnya Pak Pelatih menelpon sore ini.”
Jawabnya.
Clarisa tersenyum dan
gigi gingsul muncul dari balik bibir tipisnya. Melihat Clarisa tersenyum,
Justin juga ikut tersenyum. Sepertinya Clarisa memiliki senyum yang menular.
“Ayo pergi.” Kata
Justin.
Clarisa mengangguk cepat.
Lalu mereka segera menaiki taksi yang berhenti di depan mereka.
Di ujung jalan, ada
tatapan serius yang mengamati mereka berdua. Matanya terus terfokus pada kedua
orang itu hingga sosok mereka menghilang.
“Pulang mengambil
ponsel? Hah! Kau sangat polos Clarisa sampai mudah di bodohi. Percuma saja
kuberitahu.” Gumamnya.
●◙●
Clarisa menatap sebuah
patung di Taman Kebangkitan Bangsa. Ia tampak bosan karena sejak keluar dari
bengkel mereka hanya duduk di taman itu tanpa melakukan apapun. Bahkan bicara
sekalipun. Justin hanya sibuk memainkan ponselnya. Sesekali ia mengamati orang
yang lalu-lalang.
Clarisa ingin memulai pembicaraan dengan lelaki itu,
namun bibirnya beku dan sulit untuk mengeluarkan sepatahkatapun. Sesekali ia
melirik jam tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 16.15.
“Kenapa kau diam saja?”
Tanya Justin tiba-tiba dan membuyarkan lamunan Clarisa.
Clarisa merasa gugup
seraya menggeleng. “Eh, tidak. Aku hanya bingung harus bicara apa.”
“Apakah kau bosan?”
Tanya Justin. Pandangan mereka terfokus ke arah yang sama. Ke sebuah patung di hadapan
mereka.
Clarisa tersenyum dan
melipat kedua lengannya di dada. “Tidak.
Tapi mungkin sedikit.” Clarisa lalu melempar pandangan ke lelaki tampan
di sampingnya. “Tapi tidak masalah. Bisa jalan-jalan sore ini saja aku sudah
sangat senang.”
Justin tertawa kecil.
“Kalau begitu kita akan pergi ke tempat yang menarik.”
“Kemana?” Tanya Clarisa
cepat.
Justin mengangkat bahu.
“Karena mobilnya yang diperbaiki akan selesai besok, jadi kita bisa jalan-jalan
dengan bebas.” Jawab Justin. “Kita akan ke festival komunitas di Megamas. Di situ
akan ada banyak pemeran dari komunitas-komunitas lokal. Tapi pamerannya akan
dimulai setengah jam lagi. Jadi kita akan menunggu di sini.”
“Benarkah? Wah!
Senangnya.” Ekspresi antusias tampak dari raut wajah Clarisa.
Justin mengangguk dan
berdeham. “Sembari menunggu, bisakah aku bertanya beberapa hal agar aku bisa
mengenalmu lebih jauh?” Tanya Justin.
Mata Clarisa
terbelalak. Ia merasa sedang diistimewakan. Ia tak menyangka bahwa perjalanan
rasa sukanya akan sejauh ini. Ia tak percaya bahwa lelaki yang banyak diidolai
murid perempuan di sekolahnya ingin mengenal dirinya yang hanya gadis
sederhana.
“Mm. Tentu saja. Tapi
aku takut kalau aku bukan orang yang menarik menurutmu.”
Justin tetawa kecil
lalu menarik napas berat. “Tak masalah. Aku rasa kamu orang yang menarik.”
Clarisa hanya tersenyum
kaku. Namun dalam hatinya membuncah.
Justin berdeham dan mengubah
posisi duduknya. Kali ini ekspresinya lebih serius. “Lelaki seperti apa yang
kamu sukai?” Tanyanya.
Clarisa membuang muka.
Pipinya memerah. Nafasnya menjadi tidak beraturan setelah mendengar pertanyaan
seperti itu. Mungkin ini adalah senjata andalan para kesatria yang ingin
memenangkan hati wanita. “Mm. Entahlah, yang pasti harus berkepribadian baik.
Terlebih lagi harus setia.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
Justin memandang gadis
itu dengan senyum samar. Ia mencoba menebak apa yang Clarisa pikirkan. Yang ada
di dalam benaknya, Clarisa memanglah gadis yang menarik, begitu sederhana.
Namun ia tak pernah berpikir untuk lebih jauh mengenal Clarisa. Itu karena
terlalu banyak murid perempuan di sekolahnya yang ia lewati. Ada pula yang ia
singgahi. Oleh karena itulah ia sering disebut playboy. Namun dengan kharismanya yang begitu menyilaukan mata banyak
gadis, ia tidak memperdulikannya, dan entah kenapa hari ini ia penasaran dengan
Clarisa, si gadis pendiam yang kurang bergaul dengan murid lainnya.
“Kalau begitu apakah
kau sudah punya pacar?” Tanya Justin. Kharismanya seperti mendobrak hati para
gadis yang mendengarnya.
Clarisa terkesiap.
Seketika sekujur tubuhnya menegang. Namun ia berusaha bersikap tenang. “Jangankan
punya pacar, pacaran saja aku belum pernah.” Jawab Clarisa jujur, lalu
mengangkat bahu dan menatap mata Justin.
Justin memaksa seulas
senyum di bibirnya. Namun dalam hati ia tergelak mendengar jawaban polos dari
perempuan di sampingnya. Ia tak menyangka Clarisa sepolos itu sampai belum
pernah mengenal cinta.
Clarisa menunggu kata
berikutnya yang akan diucapkan Justin. Namun tiba-tiba suara ponsel Justin
mengacaukan perbincangan di sore yang temaram itu. Sesegera mungkin ia
mengangkat ponselnya dan berdiri lalu berjalan beberapa langkah. Ia tak ingin
Clarisa mendengar percakapannya dengan seseorang yang menelepon itu.
Sekitar dua menit,
Justin kembali ke tempat duduk sembari berkata, “Pak pelatih menelepon. Katanya
ada pertandingan tim putri di hari minggu.”
“Hari minggu?
Syukurlah. Akhirnya aku bisa menonton lagi.” Ucap Clarisa seraya tersenyum.
“Tidak. Aku meminta
kepada pelatih agar kau dimainkan.” Kata Justin.
Mata Clarisa
terbelalak. “Benarkah? Jika aku ikut maka itu akan jadi pertandingan
pertamaku.” Sahut Clarisa penuh suka cita. Itu wajar saja, karena sejak Clarisa
bergabung ke tim voli putri, ia tidak pernah diikutsertakan dalam tim inti. Dia
hanya bisa menonton dari bangku cadangan. Bisa dikatakan ia mengikuti ekskul
voli hanya sekedar mencari nilai ekskul saja. Itu karena ia tak memiliki
peluang untuk bersenang-senang di lapangan.
“Baiklah. Ayo pergi.”
Ucap Justin.
Clarisa mengangguk.
Mereka berdua
menghabiskan waktu bersama mengelilingi
kawasan Megamas. Bak sepasang kekasih, mereka tampak bahagia menyaksikan
pertunjukan spektakuler dari komunitas lokal. Clarisa tak menyangka akan
sebahagia ini ketika berada di samping Justin. Ia lelaki yang baik, ramah, asik
untuk diajak berbicara. Senyumnya terus
merekah di setiap langkah yang ia ambil bersama lelaki berlesung pipi itu. Ini
sore yang indah untuknya.
Begitulah cara Clarisa
dan Justin menghabiskan waktu di sore yang temaram ini. Clarisa memang belum
sepenuhnya mengenal Justin. Yang ia tahu hanyalah Justin adalah siswa terkeren
dan digilai banyak gadis.
Dan untuk pertama
kalinya, ia memendam rasa kepada seorang lelaki. Selama ini ia hanya jatuh
cinta pada karakter-karakter anime.
Dia bahkan merealisasikan rasa cintanya lewat seni manga yang ia tempelkan ke dinding kamarnya. Namun Clarisa hanyalah
gadis biasa yang suatu saat bisa merasakan apa itu cinta.
Sixth
MR. ICE
Ia telah berlatih
sangat keras ketika namanya masuk ke dalam inti. Gadis bergigi gingsul itu
tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meski hanya berlatih
sendirian selama empat hari, meski tangan kirinya sering sakit, ia tak menghiraukannya.
Baginya itu adalah efek samping karena terlalu keras berlatih.
Clarisa sudah sering merasakan sakit di tangan kirinya
belakangan ini. Tapi ia menganggap itu adalah bekas cedera yang pernah ia
alami.
Hari ini adalah hari
minggu. Ya, hari dimana Clarisa akan mengikuti pertandingan persahabatan dengan
sekolah Harapan Generasi. Clarisa tahu tidak akan ada banyak orang yang akan
melihat pertandingan itu karena diadakan tepat di hari libur. Namun hal
tersebut tak menyurutkan semangatnya.
Siang ini Clarisa sudah
lengkap dengan seragam tim voli putri yang berwarna biru. Ia menggunakan sepatu
putih bercorak hitam.
Pertandingannya akan dimulai 15 menit lagi. Ia pun
mencari tempat sepi untuk menghilangkan rasa gugupnya, dan tempat yang ia pilih
adalah koridor dekat ruang ekskul. Selain karena sepi, tempat ini terhubung
langsung dengan aula olahraga tempat pertandingan di adakan.
Ia mondar-mandir
dikoridor itu. Sesekali Clarisa menarik napas berat. Sesekali juga ia
mengingat-ingat strategi pertandingan yang ditunjukan pelatih di ruang ganti.
Tak lama kemudian suara
alat musik terdengar dari ruangan musik. Suara dentingan piano yang mengalun
dengan indah menyentuh telinga Clarisa.
Ia menghentikan aktivitasnya
dan terus menikmati suara piano itu. Dalam ia bertanya-tanya, siapa gerangan yang
mempunyai jemari selentik itu dan menghipnotis pendengarnya?
Ia penasaran. Setahunya
sangat jarang ada orang yang masuk ke tempat itu. Yang ia tahu hanyalah Dion
yang sering berada di ruangan itu. Ia pun melangkah penasaran ke tempat itu
untuk memastikannya.
Sepelan mungkin ia
membuka pintu sampai-sampai tak terdengar suara.
Ia mengerling ke arah
piano ketika setengah kepalanya mulai masuk ke dalam ruangan. Ia mendapati
seorang lelaki berkaos putih yang sedang duduk di hadapan piano. Mata orang itu
terus mengamati not balok instrumen Kiss
the Rain dari komponis hebat asal korea, Yiruma.
Clarisa mengernyitkan
dahi. Ia berusaha mengenali orang itu. Lantas tertawa kecil ketika
mengetahuinya. Tidak salah lagi, orang itu adalah Dion. Ia memang sering
menghabiskan waktu di ruangan musik meski hari libur sekalipun.
“Dion.” Clarisa menyapa
dengan hangat.
Lelaki itu menghentikan
permainannya dan menoleh dengan tatapan dingin. “Oh, kau.”
“Kau sedang apa disini?
Bukannya ini hari libur?” Tanya Clarisa.
Dion menarik napas
berat. “Setidaknya disini lebih nyaman ketimbang di rumah.” Jawabnya seraya
berdiri dan beralan ke arah jendela. Ia
menengadah, menatap langit. Matahari masih berada di posisi 120 derajat. “Ada
apa?”
Clarisa berjalan ke
sampingnya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran dengan suara piano tadi. Ternyata kau pintar
memainkannya.”
“Kurasa begitu.”
Jawabnya dengan yakin namun tak ada nada sombong di dalamnya. “Bukankah hari
ini ada pertandingan?” Dion menatap gadis itu.
“Ya, dan kau tahu? Aku
akan ikut dalam pertandingan hari ini.” Ucap Clarisa penuh semangat. “Mau
menonton?” Tanyanya. Senyum lebar terulas dari bibirnya.
Dion hanya menggeleng
dan melempar pandangan ke depan. Clarisa tersenyum kaku melihat ekspresi dingin
lelaki itu. Ia seperti bicara dengan robot. Padahal beberapa hari lalu ia
melihat perubahan dalam diri Dion. Tapi tampaknya perubahan sikapnya bisa
luntur oleh waktu.
“Kau agak kurus.” Kata
Dion tiba-tiba tanpa menatap gadis itu.
Clarisa tertegun mendengarnya,
lantas ia tertawa kecil. Ia tidak menanggapi ucapan dion.
“Apakah kau diet?”
Pertanyaan aneh itu muncul.
Clarisa
semakin tergelak mendengarnya. Kali ini ia menanggapinya. “Tidak, tidak.
Entahlah. Mungkin belakangan ini aku terlalu sering berlatih. Makanya banyak
kalori yang terbakar.” Jawab Clarisa.
Dion tertawa. Kali ini
tawanya lebih lepas. “Kau gadis yang aneh. Tapi aku heran, mendengar suaramu
aku merasa tak kesepian.” Ucapnya pelan lalu menunduk.
Senyum manis terulas
dari bibir Clarisa. Meski ia tak mengerti apa yang Dion katakan.
“Kalau begitu, mulai
sekarang kita perbanyak komunikasi. Kurasa itu akan ada gunanya. Aku kurang
bergaul, dan kamu seorang introver.” Kata Clarisa.
Dion tertawa, lantas
sesegera mungkin ia mengenyahkan tawanya itu. “Introver, ya? Mm, bukannya aku
tidak mau berkawan dengan seseorang, bukan juga tidak mau berbicara dengan
orang-orang, tapi aku adalah tipe orang yang suka menyendiri. Aku nyaman dengan
itu. Maksudku, bercengkramah dengan bayangan sendiri itu lebih menyenangkan.”
Mata Clarisa
bersinar-sinar jenaka mendengarnya. “Kau selalu bilang aku aneh. Ternyata kau
yang lebih aneh.”
Ia tersenyum masam.
Dion berdeham. “Bagaimana kencanmu dengan Justin?”
Tanya Dion tiba-tiba.
Clarisa melipat kedua
tangannya ke depan dadanya. “Mm, berjalan lancar. Meski aku sempat bosan
beberapa saat. Tapi dia berhasil membuatku senang.” Jawab Clarisa. Ia
menyunggingkan senyum.
Senyuman masam kembali
Dion pancarkan. Ia lalu berbalik badan dan berjalan sembari membelakangi
Clarisa. Matanya tertuju pada pianika yang berjejer rapi dalam lemari.
“Kuharap kau
berhati-hati. Aku rasa dia bukan orang seperti yang kau kenal.” Ucap Dion.
Clarisa mengernyitkan
dahi. “Maksudmu? Aku rasa dia benar-benar orang yang baik. Cara bicaranya sopan,
lalu ia tampak ramah.”
Dion tersenyum. “Ya,
sudah. Kuharap juga begitu. Yang penting aku sudah memberitahumu.” Kata Dion
lalu berjalan keluar tanpa memandangi Clarisa lagi.
Clarisa membeku
mendengar perkataan Dion. Ia menilai sejauh ini Justin adalah orang yang baik,
dan ia nyaman dengan Justin.
●◙●
“Pertandingan
yang sangat seru antara sekolah Bunda Pertiwi melawan sekolah Harapan Generasi.
Keduanya saling mengejar angka. Kedua tim tampak tak mau mengalah!” Seru pemandu pertandingan di pinggir lapangan.
Kedua tim kini telah
memasuki set kedua. Untuk sementara Clarisa dan kawan-kawan unggul dua angka.
Clarisa adalah Spiker[1]
yang piawai, beberapa kali smash
kerasnya menghujam area bertahan lawan. Sampai-sampai ia sudah tidak peduli
lagi dengan rasa sakit di tangan kirinya yang sering datang tiba-tiba lalu
hilang begitu saja. Lantas rasa sakit itu kini mulai menjalar ke kakinya. Dan
kini mereka memanfaatkan satu kesempatan timeout untuk menyegarkan pemain.
“Kau bermain dengan baik, Clarisa.” Ucap sang Libero[2],
Ellie.
Clarisa mengangguk pelan. Ia berusaha menyembunyikan
rasa kesakitannya.
“Baiklah. Berikutnya kami akan mengandalkan smash-smash kerasmu. Jadi bersiaplah
untuk menerima passing.” Ucap Ellie.
Wajahnya bersungguh-sungguh.
Bunyi terompet terdengar. “Timeout selesai.”
Kini ke enam pemain dari dua tim telah berdiri di lapangan
untuk melanjutkan pertandingan. Clarisa berdiri di area serang sembari menunggu
passing-passing memanjakan dari
rekan-rekan. Ia tampak bersemangat karena pertandingan itu disaksikan oleh
pujaannya, Justin.
Pukulannya keras seperti Jutarat Montrifilia dan keanggunannya
didalam lapangan seperti Sabrina Altynbekova. Blocker[3]
tim lawan kewalahan menghadapi smash
keras yang menghujam bak roket. Semua orang terpukau melihat aksi Clarisa di lapangan.
Pelatih juga menggeleng dan sangat menyesal baru memainkan Clarisa di saat ini.
Ia merasa permainan Clarisa layak dikategorikan sebagai permainan tim inti.
Ellie dan rekan-rekan lainnya terus memberikan bola
kepada Clarisa tanpa memperdulikan Spiker
lainnya. Meski angka telah menjauh, mereka tetap memberikan bola kepada
Clarisa.
Karena terlalu di paksakan, Clarisa terjatuh setelah
melakukan lompatan yang tinggi.
Ia memegang kakinya dan mengerang kesakitan. Ia
langsung dikerumini teman-teman setimnya dan pertandingan dihentikan sejenak.
Justin yang melihat kejadian itu refleks berlari dengan kencang. Namun anehnya,
seseorang berkaos putih telah sigap untuk membopongnya. Justin terdiam melihat
aksi lelaki itu. Ialah Dion, si pemuda Introver.
“Kakimu terkilir parah. Ayo kita ke rumah sakit.” Ucap
Dion sembari memberikan punggungnya agar Clarisa menaikinya.
“Kenapa tidak dibawah ke UKS saja?” Tanya Ellie, sang
kapten tim voli putri.
Ekspresi Dion tiba-tiba berubah. Ia menatap dalam-dalam
wajah gadis itu. Tatapan yang mengintimidasi. “Lihatlah dampak dari strategi
bodoh dari tim kalian! Kalian memang menang karena strategi itu, tapi kalian
membuat Clarisa harus berkorban. Kau kapten yang payah!” Bentak Dion, lalu
segera berlari ke luar aula. Clarisa mencengkram erat tubuh Dion. Ia menahan
kesakitan yang luar biasa.
Ellie hanya tertegun mendengar bentakan Dion. Sedangkan
Justin hanya berdiri dan membatu tanpa melakukan apapun. Seperti ada es yang
telah menyelimuti kakinya
●◙●
Jam dinding di koridor
rumah sakit terdengar begitu keras. Suara napas yang ia hembuskan seirama
dengan suara jam dinding itu. Ia terus menengadah dan menatap papan yang bertuliskan
‘UGD’. Ia mengira itu hanya cedera ringan dan wajar-wajar saja, namun karena
pedulinya kepada gadis itu, ia membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya refleks
begitu saja tanpa berpikir-pikir panjang ketika melihat wanita itu terjatuh.
Ia menyandarkan
tubuhnya ke punggung kursi. Pikirannya tiba-tiba melayang dan bertanya-tanya, mengapa ia tiba-tiba peduli
dengan gadis itu? Padahal ia tidak pernah berniat untuk peduli kepada siapapun.
Karena ia punya persepsi yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya.
Menurutnya memperdulikan orang lain itu hal yang sia-sia dan bisa menjadi
boomerang baginya. Karena ia muak ketika ada yang bergantung pada dirinya,
apalagi ia tak mendapatkan balasan di saat ia membutuhkannya. Namun lagi-lagi
raut wajah kesakitan dari wanita itu kembali terngiang di kepalanya dan segera
membantah segala pendirian introvernya. Rasa peduli pada gadis itu kini
benar-benar mekar di hatinya.
Menurutnya itu tak akan berlangsung lama. Karena yang
ada di dalam kepalanya, jika seseorang peduli kepada orang lain, lalu orang itu
membuat kecewa, sudah tentu kepeduliannya akan berakhir dengan rasa sakit. Ia
memantapkan diri dengan pendapatnya sendiri. Sekali lagi ia bergumam, Dion
adalah Dion!
Dion menggigit kecil
bibirnya dan terus menengadah, menatap langit-langit koridor rumah sakit. Ia
berharap hari ini cepat berlalu agar ia benar-benar bisa melupakan kejadian di hari
ini.
Di ruangan lain,
tepatnya di dalam UGD, dokter dan perawat telah melalukan penanganan yang cepat
pada kaki Clarisa yang mulai bengkak. Terkilir parah seperti itu benar-benar
membuatnya tersiksa. Kini kakinya harus diperban. Rasa sakitnya perlahan mulai
meredah.
Ia sempat menyesali
keadaannya yang harus cedera di saat penting. Bukan untuk tim, tetapi untuk
dirinya sendiri. Kali ini ia harus melewatkan kesempatan bermain full time dengan tim inti. Padahal
waktunya bersama tim voli tidak lama lagi karena ada batas waktu dalam
mengikuti ekskul. Ia mendengus kesal dan sekelebat penyesalan muncul di pikirannya.
Ia menyalahkan dirinya sendiri yang tidak hati-hati. Namun yang namanya
kecelakaan, tak dapat dihindari.
●◙●
Melihatnya terbaring,
entah sedang tertidur, atau pingsan, membuat Dion sedikit cemas. Clarisa
terbaring dengan wajah yang sedikit pucat.
Dion duduk di sebelahnya, menunggunya membuka mata. Tanpa
sadar ia membelai rambut gadis itu. Entah kenapa gadis yang ada di hadapannya
mengingatkannya pada ibunya.
“Kau memang gadis
aneh.” Ucapnya dengan senyum kaku ketika mata Clarisa mulai membuka.
Clarisa menyunggingkan
senyum kecil. “Terima kasih karena telah membawaku kemari. Tapi lain kali aku
tidak mau membuatmu repot.” Ucap gadis itu dengan suara parau.
Dion memandang gadis itu dengan senyum samar.
“Tampaknya kau tidak terlalu suka meminta bantuan kepada orang lain. Tapi
sesekali meminta tolong kepada orang lain tidak ada salahnya, bukan? Itu
membuatmu terlihat lebih manusiawi.”
Clarisa terkekeh pelan.
“Ya. Kau benar.” Sahut Clarisa ringan.
Dion terkejut dengan
apa yang ia ucapkan tadi. Serperti bukan dirinya saja. Dion berbalik dan
berjalan ke arah pintu. Ekspresi datar tampak lagi di wajahnya. “Tapi lain kali
kau harus tahu, aku membantumu bukan karena aku peduli.” Ia membuka pintu
perlahan dan berkata, “Aku hanya kebetulan ada di situ.” Ucapnya berbohong.
Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa peduli di balik kejadian tadi.
Ia berusaha menanamkan pendapat bahwa ia tidak ingin peduli ataupun menolong
orang lain. Ia berusaha untuk lari dari warna baru dalam hatinya.
Clarisa menyunggingkan
senyum lebar, lalu menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “Sesekali
peduli kepada orang lain tidak ada salahnya, kan? Itu membuatmu terlihat lebih
manusiawi. Bukankah begitu Mr. Ice?
Mulai sekarang kau akan ku panggil Mr.
Ice. Terserah kau akan marah atau tidak.” Ucap Clarisa.
Dion tertawa kecil dan
menunduk. “Terserah kau saja.” Terdengar suara setengah hati dari Dion. Ia lalu
menutup pintu dan segera pulang.
Seventh
CLOUDY
Dion keluar dari rumah
mewahnya. Rumah bertingkat dua itu lebih menonjol ketimbang rumah di sekitarnya
karena kemewahannya. Hidung Dion langsung menyergap aroma hujan yang mulai
turun. Musim hujan sudah mulai merentangkan sayap-sayapnya dan menyirami tanah
kota Manado. Membasahi setiap sudut dan juga mencederai tempat-tempat di tepi
sungai. Banjir terjadi di beberapa titik. Namun musim hujan kali ini, membuat
langkah Dion lebih ringan. Entah dari mana munculnya perasaan senangnya saat
ini.
Ia mendongakan wajahnya
ke arah matahari. Meski awan hitam berkelebat di langit, sinar keemasannya
masih bisa menembus sela-sela awan hitam itu, hingga sisa-sisa cahaya itu
menyambar Dion yang tengah melangkah dengan santainya.
Dion merapatkan
jaketnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberangi jalan menuju
ke salah satu ruko yang bertingkat dua di seberang jalan. Ruko itu sejajar
dengan ruko lainnya di kawasan perbelanjaan di jalan Piere Tendean. Dion
berharap orang yang berada dalam ruko itu akan terkejut melihat kedatangannya. Tapi,
sebenarnya tidak juga. Orang yang tinggal di dalam ruko itu bukan tipe orang
yang mudah terkejut meski sebuah surprise
sekalipun.
Orang itu adalah
pamannya. Anak termuda dari kakak-beradik di keluarga sebelah ibu.
Dion yakin, Billy
Prismatama pulang ke kota ini karena ada alasan tertentu. Setahunya Billy telah
hidup nyaman di Australia dengan pekerjaan tetap. Dan semenjak ia tinggal di Australia, ia sudah tidak pernah
menelepon Dion ataupun mengirim sepucuk surat. Dion berusaha menelepon atau
mencari tahu keberadaan Billy, tapi orang itu seperti menghilang ditelan bumi.
Karena itulah Dion memilih untuk menemuinya langsung ketika mendapati surat di
kotak pos, nama pengirimnya Billy Prismatama. Setidaknya ia pergi menemui Billy
untuk memastikan pamannya baik-baik saja. Namun ada hal yang lebih penting yang
harus ia perbincangkan dengan Billy.
Billy Prismatama adalah
satu-satunya orang yang mampu mengakrabkan diri dengan pemuda introver itu,
karena semenjak keretakan dalam keluarga Dion, hanya Billy yang bisa mengerti
perasaan Dion. Itu mungkin karena keduanya adalah musisi yang mampu memahami
satu sama lain. Jiwa bermusik yang ada pada diri Dion memang diturunkan oleh
keluarga ibunya.
Dion berlari kecil
ketika menaiki tangga ruko. Ia menyapa Merry yang sedang berdiri di depan meja
kasir. Merry adalah rekan kerja Billy. Mereka awalnya sama-sama Violinist di Bandung. Tapi akhirnya
Billy dan Merry memutuskan membuka ruko yang menjual alat musik dan peralatan
olahraga. Wanita seumuran Billy itu tidak terlalu sibuk hari ini.
Setelah menaiki
beberapa anak tangga, Dion kini telah berdiri di depan pintu yang bercat merah
dengan gagang keemasan. Tangan Dion terulur menahan gagang pintu. Ia berniat
langsung membukanya. Namun ia tak jadi melakukannya. Meski mereka sangat akrab,
ia lebih memilihi mengetuk pintu agar lebih sopan.
Ia mengetuk tiga kali.
Terdengar sahutan seseorang dari dalam. Setelah menunggu setelah dua puluh
detik, seseorang membuka pintu dan Dion mendapati Billy Prismatama di ambang
pintu.
“Merry, sudah kubilang
kalau mau masuk, tak harus menge –.” Kata Billy terhenti ketika menyadari
keponakannya telah berdiri di hadapannya.
Dion melirik jam
tangan. “Jam 12 siang, dan kau baru bangun?” Dion menatap pria dengan tampang
kusut itu. Rambutnya acak-acakan dengan mata yang masih menyipit. Bola mata itu
sama dengan bola mata Dion. Mereka adalah keluarga dengan sel genetik yang
kuat.
Billy tertawa. “Hei,
Dion! Lama tak jumpa, bung!” Sesegera mungkin ia menarik tubuh Dion dan
memeluknya. Namun tak sampai 5 detik ia melepaskannya dan berkata, “Bagaimana
Kabarmu?”
Dion menyunggingkan
senyum kecil. “Baik.” Sahutnya Ringan.
“Syukurlah.” Pria
jangkung itu melangkah ke samping membiarkan Dion lewat.
Dion melangkah masuk ke
dalam ruang tamu. Billy tidak menyalakan lampu namun cahaya matahari yang
sedikit redup masih bisa menembus jendela kaca di salah satu sisi ruangan.
Ruang tamu itu dilengkapi Tv LCD
ukuran dua puluh sembilan inch, sofa
berukuran besar berwarna coklat muda, dan di depannya terdapat sebuah meja kaca
berukuran kecil. Tepat di bawahnya terdapat karpet merah yang dialas dengan
rapi. Di beberapa sudut dinding terdapat rak-rak buku yang dipenuhi buku musik
karena Billy memang adalah seorang lulusan sarjana musik yang tentunya harus
selalu dekat dengan materi-materi musik. Lalu di atas meja terdapat barang
pusaka milik Billy yang menurutnya adalah barang yang paling berharga di dunia,
yang telah ia bubuhi dengan keringatnya, yang tak bisa dibeli oleh Bill Gates sekalipun
karena terdapat banyak pengalaman di benda itu, ialah biola coklat yang tampak
berkilau. Tentunya biola itu ditemani bow
dan beberapa helai kertas yang bertuliskan partitur.
“Kau masih sibuk
berkutat dengan hal ini, ya?” Tanya Dion seraya mengamati partitur yang
dipegangnya. Dion biasa memanggil pamannya dengan sebutan ‘Kau’, memang
terdengar kurang menghormati, tapi percayalah, mereka hanya terpaut 10 tahun
karena Billy Prismatama lahir 28 tahun yang lalu. Mereka seperti sepasang teman
yang akrab.
Billy tersenyum seraya
menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. “Tidak juga. Sudah lama aku tidak
membuat partitur musik. Partitur itu dibuat oleh Merry dan ia menyuruhku
memainkannya.”
Alis Dion terangkat.
“Benarkah?” Ia lalu berjalan menuju sofa dan menjatuhkan diri diatasnya. “Dia
adalah pencipta musik yang hebat. Tapi sayang sekali ia lebih memilih berhenti
menjadi musisi.” Ucap Dion.
“Ya, begitulah.” Sahut
Billy ringan.
“Lalu kenapa kau tidak
memberi kabar sejak pergi ke Australia?” Tanya Dion tanpa memandang Billy.
Matanya masih liar mengamati partitur yang dibuat Merry,
Billy berbalik badan
dan menghadap kaca di kamarnya. Pintu kamar itu terbuka sehingga mereka masih
bisa berkomunikasi. “Aku terlalu sibuk sampai sulit mendapatkan waktu luang.
Asal kau tahu saja, aku berpindah-pindah kafe untuk menghibur banyak orang.
Sidney, Canberra, dan Brisbane telah kukunjungi, dan itu fantastis.”
Kening Dion berkerut
samar. “Kau selalu saja begitu padahal ada banyak hal yang –.”
“Tunggu.” Sahut Billy
menyela. “Kita tidak mungkin berbicara banyak di tempat ini.” Billy menoleh dan
menatap ruangan tamu yang bagaikan kapal pecah.
“Lalu dimana?”
Billy berdeham. “Ayo kita pergi minum kopi. Minuman
panas sangat enak apabila diminum pada saat cuaca seperti ini.”
“Di luar hujan semakin deras. Mana mungkin kita akan
jalan kaki.” Kata Dion.
Billy tertawa keras. Sebaris gigi yang rapi muncul
dari balik bibirnya. “Sorry, bung.
Aku tak sepertimu yang membiarkan mobil pribadi terbengkalai di garasi.” Sahut
Billy mengejek. “Aku sekarang pakai itu.” Ia menunjuk sesuatu dengan dagunya ke
arah jendela.
Dion segera berjalan ke jendela dan menatap mobil
silver yang terparkir rapi.
“Itu memang hanya mobil bekas. Tapi setidaknya itu
masih bisa berfungsi.” Ia terkekeh pelan.
Lalu menyisir rambut hitamnya di hadapan kaca.
“Kau pergi mandilah. Aku akan menunggu.” Dion kembali
ke tempat duduknya.
Billy terkekeh dan alisnya terangkat. “Mandi? Ayolah,
bung, aku hanya akan pergi dengan keponakanku, jadi buat apa mandi? Sebaiknya
mandi itu dilakukan ketika ingin kencan dengan pacar.”
Dion mendesah. “Baiklah, baiklah. Setidaknya kau gosok
gigi terlebih dahulu sebelum aku mati karena mencium bau mulutmu.”
“Sudah kulakukan.” Jawab Billy cepat.
Dion mengernyitkan dahi tanda tak percaya. “Kau
berbohong?”
Billy berbalik badan dan menatap Dion. “Ayolah, bung,
aku bisa memainkan biola dengan kecepatan 250 bpm[4] dalam
waktu 50 detik,” Ia bergaya bak violinist
terkenal. “Jadi aku cepat seperti kilat.”
Dion mendengus pelan. Sifat pamannya memang tak pernah
berubah. Layaknya ABG[5] yang
selalu bertingkah konyol. “Oke. Baiklah. Sekarang apa yang kita tunggu?”
Billy mengangguk. “Baiklah. Ayo pergi.” Billy berjalan
ke arah pintu lalu berhenti. “Tunggu. Aku lupa menaruh kunci mobilnya.”
Dion tertawa kecil. “Kau sering melakukan ini ketika
masih di Bandung. Ini.” Dion menyodorkan kunci yang dicari Billy.
Senyum kecil tersungging dari bibir Billy. “Dan
seperti biasa, kau yang menemukannya.”
Dion tergelak seraya meraih bahu Billy.
“Sepertinya kita harus bicara banyak.” Kata Billy
kepada Dion ketika menuruni anak tangga. “Aku ingin menceritakan Tour-ku di kafe-kafe terkenal di Australia.”
Dion mengekor dari belakang dan berkata, “tidak, tidak.
Aku datang tidak ingin mendengar itu saja. Ada yang lebih penting yang harus
dibicarakan.”
“Kau menemuiku kalau ada kemauan saja.” Kata Billy
memberenggut. Kini mereka telah berada di depan pintu mobil. “Merry, kau bisa
menutup ruko kapan saja. Jangan terlalu memaksakan diri.” Teriaknya lalu segera
masuk ke dalam mobil.
Wanita itu hanya mengangguk lalu melambaikan tangan.
Dion pun membalasnya. Merry memang wanita yang ramah.
●◙●
Mobil silver itu meluncur mulus di jalan raya. Hujan
yang lumayan deras membuat Billy mengendarai mobil dengan hati-hati.
Hingga akhirnya mobil itu berhenti di parkiran
salah-satu restoran mewah di dekat pusat alat elektronik. Kedua pemuda yang ada
di dalamnya keluar seraya memakai jaket. Suhu di siang ini sedikit menusuk
kulit karena hujan yang turun cukup lebat.
“Sudah lama aku tidak jalan-jalan di kota ini.” Kata
Billy ketika mereka sudah berada di kursi yang terletak di samping kaca bening.
Kendaraan yang lalu-lalang bisa disaksikan dari situ.
“Ya. Itu karena kau terlalu senang berada di
Australia.” Sahut Dion. Matanya menatap keluar. Namun ia tidak benar-benar
fokus mengamati sesuatu.
“Selain kopi, apa kau ingin makan sesuatu?” Tanya
Billy dengan alis terangkat.
“Tidak. Kopi saja.” Jawab Dion.
“Hari ini aku yang
traktir . Jadi pesanlah sesuka hati.” Billy tersenyum. Sang pelayan telah siap
mencatat pesanan kedua pemuda itu.
Dion terdiam sejenak
selama lima detik, lalu menghembuskan napas berat. “Tidak, aku tidak lapar.”
Tegasnya lagi.
Billy tersenyum. Sang
pelayan segera mencatat pesanan mereka lalu beranjak dari hadapan kedua pemuda
yang raut wajahnya mulai serius.
“Aku penasaran dengan
apa yang bisa kau ceritakan. Tapi aku akan menutup telinga jika kau
menceritakan soal tour-mu.” Kata
Dion. Ia menatap dalam-dalam wajah Billy.
Billy berdeham dan
mengatupkan kedua tangan di atas meja. “Aku rasa kau akan terkejut
mendengarnya. Saat aku bermain di salah satu kafe negara bagian Queensland, aku
–.”
“Tidak, tidak! Sudah
kubilang aku tidak mau mendengar cerita soal tour-mu.” Sela Dion.
“Iya, iya. Aku tahu.
Tapi ini ada hubungan dengannya.”
Dion menatap Billy
dengan serius. “Baiklah, lanjutkan.” Suasana perbincangan di siang itu berubah.
Billy berdeham lagi.
Lehernya mulai kering karena kopi yang dinantinya tak kunjung datang. “Saat aku
perform dengan grup musik Rocky, aku
melihatnya sedang duduk bersama dengan pria berambut kuning dan berkulit putih.”
“Seorang pria?” Mata
Dion terbelalak.
“Ya. Mereka tampak
mesra. Aku segera bergerak cepat. Selepas perform,
aku membuntuti mobil mereka hingga terhenti di sebuah apartemen di kawasan
Indooropolly.”
“Lalu kau tahu hubungan
mereka?” Tanya Dion, masih dengan wajah serius.
Seorang pelayan menghentikan
pembicaraan mereka. Ia meletakkan dua cangkir kopi panas lalu segera pergi.
Billy melanjutkannya.
“Setelah mengetahui lokasinya, aku tidak tinggal diam saja. Aku kembali
keesokan harinya.” Billy menyesap kopinya. Kehangatannya terasa mengalir di
tenggorokan. “Aku mencari informasi dari tetangganya di apartemen itu.
Kebetulan temanku tinggal di apartemen yang sama. Jadi jika aku ketahuan
menguntit mereka, aku punya alasan.” Ucap Billy lalu terdiam.
“Lalu? Ayo langsung ke
intinya saja.” Kata Dion tak sabaran.
Billy melempar
pandangan ke luar dan berkata, “Ibumu telah menikah dengan pria itu. Pria itu
bernama Mark Davis. Dua tahun lebih mudah dari ibumu. Ia bekerja di perusahaan
tekstil Queensland.”
Dion terdiam. Ia
melempar tatapan kosong ke cangkir kopinya. Bibirnya kelu seketika, lalu dengan
ikhlasnya ia berkata, “syukurlah.”
Alis Billy mengkerut. “Ha? Syukurlah? Ayolah, bung, itu Bad News.”
Dion tersenyum kecil
lalu tangan kanannya menongkah dagu. “Bukankah di balik pernikahan ada kebahagiaan?
Aku senang jika ibuku bahagia.” Ucapnya tegar. Meski dalam hatinya sendu.
“Eh, ya-iya, m-mungkin.
Tapi–.” Billy terhenti.
“Lupakanlah, yang
penting kau sudah mengatakan berita penting tadi.” Sela Dion, seketika
ekspresinya berubah. “Sekarang aku yang akan bertanya. Bicara soal pernikahan,
apa kau sudah menikah? Aku penasaran, mungkin hanya aku satu-satunya keluarga
yang tak kau undang ke acara pernikahanmu.”
Billy terkesiap, lalu
tergelak. Tiba-tiba suasana menjadi lebih ringan. “Buat apa kau bertanya hal
itu? Tentu saja belum.” Jawabnya
“Umurmu sudah 28 tahun,
sudah seharusnya kau berkeluarga. Aku kasihan kepadamu, bisa-bisa kau jadi
bujangan tua.” Ucap Dion dengan nada
mengejek.
“Belum dapat saja.”
Jawab Billy singkat.
Dion menyeruput kopinya.
“Bagaimana kalau Merry?”
Mata Billy terbelalak,
lalu ia berusaha menahan tawa. “Merry, ya? Ia memang menarik. Tapi mana mungkin
aku menikah dengan wanita yang mirip dengan robot. Kadang berbicara, apalagi
keluar rumah, yang ia lakukan hanyalah berdiri di depan kasir, menulis
partitur, dan menyiapkan sarapanku. Parahnya, masakannya tawar. Ia tampaknya
tidak bisa melupakan kejadian dua tahun lalu. Ia belum bisa menerima kepergian
adiknya yang meninggal karena penyakit mematikan itu.”
Dion menunduk. “Ya. Aku
juga berduka atas kepergian Letisha. Dan kau tahu? Aku teman kecilnya ketika
aku masih di Bandung. Jadi mendengar ia meninggal membuatku terkejut.”
Billy mengangguk. “Ya, dia berubah karena itu.” Ia
membuka jaketnya yang sedari tadi menutupi tubuhnya lalu menyampirkannya di
punggung kursi.
Dion mendongakan kepala dengan mata disipitkan. “Dan
saat ini, aku menemukan gadis dengan gejala yang sama.”
Billy menumpahkan
sedikit kopi yang ia minum. “Apa? Orang dengan penyakit yang sama?” Tanya Billy
terkejut.
“Tidak, tidak. Aku
tidak tahu pasti apakah dia benar-benar sakit atau tidak. Tapi yang pasti ia
sering merasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya seperti tangan dan kaki. Dia
juga terlihat kurus. Gejala yang muncul persis dengan yang dialami Letisha.”
Kata Dion.
“Oh, kukira dia sudah
menderita penyakit itu. Kalau begitu siapa namanya?”
Sebelum mulut Dion
membuka, sebelum Dion menjawab, tiba-tiba ada suara langkah kaki yang begitu
keras di samping meja mereka, disusul suara lengkingan seorang perempuan dan
bunyi dentingan benda kaca. Mereka berdua serentak menoleh ke arah suara itu.
Semuanya terjadi di luar dugaan. Sampai-sampai Billy tak sempat
mengantisipasinya.
Secangkir kopi panas
melayang dan jatuh membasahi baju Billy. Seketika hal itu membuatnya terkejut
dan melompat dan kursinya.
“Billy!”
Billy mendengar suara
Dion. Namun ia masih sibuk meniupi dadanya yang kini telah basah karena kopi
tadi. Rasa panas seperti meliuk-liuk di atas kulitnya.
Meniupi, berteriak, telah ia lakukan namun rasa panas
itu terus ada.
“Billy! Billy,
tenanglah!”
Billy mendengar suara
itu lagi. Tapi mana mungkin seseorang tenang disaat kopi panas mendarat di
dada. Dion membantunya meniupi bagian kulit yang terkena kopi panas.
“Clarisa?” Billy
mendengar lagi suara itu untuk yang kesekian kalinya. Anehnya, kenapa bukan
nama Billy yang disebutnya kali ini. Tapi ia tak memperdulikannya. Ia masih
sibuk menempelkan es yang diberikan pelayan ke dadanya.
Billy kemudian menundukkan
wajah dan menatap seseorang yang sedang terbaring di lantai. Gadis berambut
panjang, berkulit putih, berhidung mancung, tergeletak kesakitan.
“Clarisa, kau tak
apa-apa? Ayo kita ke rumah sakit, kita akan memeriksamu di rumah sakit.” Ucap
Dion dengan nada khawatir. Terdengar berlebihan di telinga Billy.
Billy hanya menatap
heran keponakannya seraya menggurutu tidak jelas. Siapa gadis ini sampai-sampai ia begitu khawatir? Apakah teman? Pacar?
Tidak, tidak! Mana mungkin Dion punya pacar.
Clarisa bangkit dan
berdiri di hadapan Dion. “Tidak.” Bantah Clarisa cepat. “Aku hanya… aku tak apa-apa”
“Tapi sebaiknya kita ke
rumah sakit.” Kata Dion lagi. Kali ini dengan nada yang lebih cemas.
“Tidak! Aku baik-baik
saja.” Suara lembut Clarisa menampar wajah pria yang sedang menunjukan raut
wajah kesal. Ia saling bertatapan dengan gadis bergigi gingsul itu. Clarisa
juga balas menatapnya, dan seketika ia menahan napas saat melihat baju putih
pria itu kini berubah menjadi hitam kecoklatan. Clarisa merasa sekujur tubuhnya
berubah menjadi dingin. Pria itu hanya terdiam dengan ekspresi kesakitan,
sesekali pria itu menggertakan gigi.
“Sedang apa kau
disini?” Tanya Dion, ia lalu memegang bahu Clarisa. “Baju kau basah.”
Clarisa tersenyum kaku,
ia tak berani menatap pria yang sedang bersama Dion. “Aku kehujanan. Aku
berniat untuk ganti baju di toilet restoran ini, lalu menunggu hujan reda
sambil minum. Aku belum bisa pulang soalnya jalan ke rumahku tergenang banjir.”
Ia lalu memberanikan diri menatap Billy. “Maafkan aku. Aku tak sengaja.” Kata
Clarisa, lalu menundukkan kepala lagi.
Mata Dion beralih dari
Clarisa ke pamannya. “Billy, kau tak apa-apa?” Tanya Dion khawatir.
Billy tak menggubris.
Pandangan tajamnya masih tertuju ke gadis itu, lalu menatap keponakannnya. “Ayo
kita pulang.” Ucap Billy dengan setengah hati. Ia harus cepat-cepat ganti baju
sebelum noda kopi itu benar-benar permanen di bajunya.
Dion mengangguk, ia
lalu menoleh ke arah Clarisa. “Ayo ikut bersama kami. Dia pamanku. Kau akan
berteduh di rumah pamanku sampai banjir benar-benar surut.” Ucapnya seraya
menunjuk Billy dengan dagu.
Alis Clarisa terangkat
samar. Ia lalu menoleh lagi ke arah
Billy. Dia? Pamannya? Ucapnya dalam
hati. Tentu saja banyak yang heran. Wajah mereka tidak menunjukan adanya
perbedaan umur.
Billy menatap dengan
tajam gadis itu. Ia memberenggut kesal lalu segera berjalan ke luar. Ia tidak
peduli dengan gadis itu.
●◙●
Mereka bertiga sedang
menaiki tangga ruko. Merry sudah menutup ruko sejak tadi dan sekarang ia sudah
pulang.
Clarisa takut melihat
tatapan tajam pria itu. Ia enggan melangkah masuk, namun Dion tetap memaksanya.
Tanpa bersuara,
menoleh, atau mempersilahkan masuk, Billy langsung masuk ke dalam kamar dan
menutup pintu dengan tegas. Seketika itu membuat jantung Clarisa berdebar
kencang.
“Dion, sebaiknya aku
pulang.” Kata Clarisa dengan wajah tertunduk. Perlahan ia mulai melangkah
mundur.
“Tidak-tidak!” Bantah
Dion cepat. “Kau tidak akan benar-benar pulang ke rumah. Di luar sedang hujan
deras.”
Clarisa terdiam.
“Kau dari mana sampai
basah begini?” Tanya Dion. Ia lalu berjalan ke jendela dan mengambilkan handuk
lalu menutupinya di kepala Clarisa.
Bibir Clarisa mulai
memucat. “Aku baru saja pulang dari rumah Yuka dan Yuki. Lalu Ayahku menelfon.
Katanya semua jalan pulang terendam banjir. Makanya aku memutuskan untuk
berteduh di restoran itu sekaligus membeli minuman hangat.” Jelas Clarisa
pelan.
“Baiklah. Kau bilang
tadi ingin ganti baju, kan?”
Clarisa mengangguk.
“Dari sini lalu belok
kiri, dan kau akan menemukan kamar mandi. Selagi kau mengganti baju, aku akan
membuatkan minuman hangat.” Kata Dion kepada Clarisa.
Clarisa benar-benar tak
menyangka lelaki ini bisa berubah menjadi sangat perhatian. Seperti penjahat
yang mendapat hidayah lalu menjadi kesatria berkuda putih. Tapi begitulah
sifatnya, Dion tak pernah tega melihat perempuan yang kesulitan. Apalagi
tersakiti. Setiap kali melihat perempuan seperti itu, pikirannya langsung
terbayang wajah ibunya. Meski kini ia tahu ibunya baik-baik saja.
Clarisa mengangguk dan
pergi mengganti baju. Sekitar lima menit, ia kembali ke ruang tamu dan
mendapati Dion dan pria menakutkan itu sedang duduk bersebelahan seraya
menonton Tv. Wajah pria itu masih datar meski acara yang ditontonnya adalah
komedi.
“Minumlah, aku
membuatkan teh hangat untukmu.” Ucap Dion.
Clarisa membuka langkah
lalu terhenti karena ponselnya berbunyi. Dengan segera, ia mengambilnya dari
dalam tas lalu menekan tombol ‘jawab’ dan menempelkannya ditelinga.
“Hallo, Bu… Aku
baik-baik saja… Sudah surut?” Ia lalu menatap Dion. “Baiklah, aku akan segera
pulang.” Clarisa mengakhiri pembicaraannya.
“Kau akan pulang? Kalau
begitu aku akan mengantarkanmu pulang menggunakan mobil pamanku.”
“Tidak, tidak, aku bisa
pulang sendiri, lagi pula hujan sudah berhenti.” Clarisa melangkah cepat namun
terhenti karena Dion menggenggam pergelangan tangan kirinya. “Aw.” Seketika ia
meringis kesakitan.
Alis Dion terangkat.
“Apa? Kenapa? Kenapa tanganmu?” Tanya Dion ketika menyadari ada benjolan di pergelangan
tangan Clarisa. Namun ia tak bisa melihatnya secara langsung karena tertutupi sweater yang Clarisa gunakan.
Clarisa menyunggingkan
senyum masam. “Tidak apa-apa. Ini hanya alergi biasa.”
Dion mengernyitkan
dahi. “Beberapa minggu lalu kaki, sekarang tanganmu. Bukankah itu aneh?”
“Tentu saja tidak. Kau
tahu sendiri soal kakiku, dan bengkak di tangan kiriku hanyalah alergi biasa.
Jadi tak perlu dikhawatirkan.” Jawab
Clarisa.
Dion mengangguk pelan
dengan senyum kaku di wajahnya. “Kalau begitu aku akan mengantarkanmu pulang.”
Gadis itu menggeleng
cepat.
“Dion!” Suara Billy
terdengar dari belakang. Lebih tajam dari biasanya. “Tak baik memaksa seperti
itu. Biarkan saja dia pulang sendiri.” Kata Billy. Raut wajahnya masih kesal.
Dion melepas gadis itu
lalu melayangkan senyum tipis.
“Maafkan aku, dan
terima kasih.” Ucap Clarisa kepada Billy seraya menunduk, lalu segera menutup
pintu dengan perlahan. Billy hanya diam dan memberenggut kesal.
Kini di ruangan itu
hanya ada Dion dan Billy.
“Apa dia pacarmu?”
Tanya Billy tiba-tiba.
Dion tertegun, lantas
tetawa pelan. “Bukan. Dia itu gadis yang kuceritakan tadi.”
Mata Billy terbelalak,
alisnya terangkat. “Apa?! Dia gadis itu? Kau cukup dekat dengan dia.
Jangan-jangan –.”
“Tidak, tidak,” Sela
Dion. “Aku tak mungkin suka dengan gadis itu. Aku hanya menganggapnya sebagai
teman bicara yang asik.”
Billy mengernyitkan
dahi lalu mengetuk pelan kepala Dion. “Jangan sampai kau suka padanya. Aku tak
ingin ada Merry kedua di kehidupanku.”
Dion hanya terkekeh.
Eighth
HE IS NOT AN ANGEL
Bunyi gaduh datang dari
setiap sudut. Lemparan-lemparan kertas lalu-lalang di hadapannya. Ada beberapa
yang mengenainya tapi ia tidak menggubris. Ia mendongakan kepalanya dan menatap
langit-langit kelas. Kerajinan tangan siswa menggantung di sana. Sesekali ia
mengetuk-ngetuk kepalanya dengan pulpen, lalu menunduk lagi mengamati deretan
kalimat yang ia tulis. Di bagian kanan atas kertas itu bertuliskan
“By:Clarisa”. Ia memang hobi menulis. Ia menulis semua kalimat itu dengan
tangan kirinya yang bengkak.
Akhir-akhir ini Clarisa
lebih sering menghabiskan waktu luang dengan menulis cerita-cerita pendek. Ia
sudah jarang menggambar karena kini tangan kiri yang menjadi dominannya,
semakin tidak stabil. Memang bengkaknya tidak bertambah besar, masih berukuran seperti
lateral malleolus di tulang kaki,
namun rasa sakit yang Clarisa alami semakin sering datang, dan kini rasa sakit
yang ia alami bukan hanya di tangan kiri, melainkan juga lutut kaki kanan. Oleh
karena itu, kadang dirinya berjalan sedikit pincang, kadang pula tidak. Rasa
sakit di bagian lututnya datang dan pergi begitu saja. Ia mencoba menahan rasa
sakit yang ia derita. Namun semakin berjalannya waktu, rasa sakit itu semakin
menyiksanya dan membatasi segala aktivitasnya.
Memang akhir-akhir ini Clarisa ditemani ibunya rutin
melakukan Medical Checkup di rumah
sakit Profesor. Kandou. Ia teringat lagi percakapan beberapa waktu lalu yang
tak sengaja ia dengar di koridor rumah sakit antara ibunya dan Dokter Jhony.
“Anda tak akan pernah tahu apa
yang akan terjadi di masa depan pada diri anak anda. Jika anda ingin anak anda
sembuh, cepat pertimbangkan usulan program pengobatan. Karena mengoperasi pun
tingkat keberhasilannya sudah sangat kecil.”
Ketika mendengar penjelasan dokter, Clarisa hanya
tertegun dan menelaah lagi maksud dari pria tua itu. Program pengobatan?
Operasi? Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi pada
tubuhnya. Dan kini ia sedang menyelidiki penyakit apa yang sedang ia derita.
Tiba-tiba kegaduhan di
kelas terhenti dan membuat Clarisa membuyarkan lamunannya. Lalu ia mengangkat
kepala dan menatap seseorang yang muncul dari balik pintu. Yang muncul adalah
seorang pria. Pria itu menggunakan kameja biru lengkap dengan dasi yang menggantung
di dadanya Ia menatap pria itu dalam-dalam dan matanya melebar seketika pada
saat mengingat pria itu. Saat pria itu menembakkan tatapannya ke Clarisa,
seketika tubuh Clarisa mati rasa dan jantungnya berdebar kencang.
“Selamat pagi.
Perkenalkan, saya guru seni musik baru disini. Nama saya Billy Prismatama.”
Ucap pria itu dengan nada yang ramah.
Clarisa menahan nafas
sesaat. Lalu ia mengangkat buku tulis di meja dan menutupi wajahnya.
Oh,
tidak! Pria menakutkan itu. Gumamnya
dalam hati.
“Baiklah, kita akan
memulai pelajarannya.” Kata Billy lantas berdeham. “Saya tadi lewat di ruang
musik. Ruangannya cukup luas. Tapi sayangnya kata wali kelas kalian, kelas
kalian belum pernah memakai fasilitas itu. Maka dari itu kita akan belajar di sana
mulai sekarang.”
Serentak seluruh murid
bersorak enggan. Namun Clarisa diam saja, ia hanya menoleh ke belakang mencari
seseorang. Namun orang yang ia cari sudah lebih dulu pergi ke ruangan musik.
Kali ini Clarisa dalam masalah.
●◙●
Sekarang Clarisa
semakin takut. Ia dan siswa lainnya disuruh untuk memainkan beberapa alat
musik. Tapi tak ada satupun yang Clarisa tahu. Ia memang penikmat musik yang
baik, tapi ia adalah pemain musik yang buruk.
Clarisa melangkah pelan ke arah Dion. Lelaki itu
tampak sibuk memainkan kolintang. “Hey!” Panggil Clarisa.
Dion tak mendengarnya
karena suara alat musik memenuhi seluruh ruangan.
“Hey, Mr. Ice!” Panggil Clarisa lagi, kali ini
dengan nada yang tajam.
Dion pun menoleh dengan
pandangan dinginnya. “Ada apa?” Sahutnya.
Walaupun sikap Dion
pada Clarisa membaik, tidak berarti ia mendadak menjadi malaikat. Wajah datar
dan gaya bicara dingin itu tetap awet. Mungkin sikap manis yang ditunjukkan
Dion tiga hari lalu muncul karena melihat Clarisa basah kuyup. Tentu saja,
melihat orang yang dekat denganmu basah kuyup dan kedinginan pasti kau akan punya
rasa peduli.
“Mr. Ice.” Panggil Clarisa lagi ketika ia sudah di samping Dion.
Kini ia benar-benar memanggil Dion dengan sebutan itu. “Kenapa pamanmu bisa
jadi guru di sini?” Tanya Clarisa dengan nada berbisik.
Dion hanya terkekeh.
“Entahlah. Katanya ia bosan di rumah. Makanya aku menyarankannya untuk menjadi
guru honorer di sekolah ini untuk sementara waktu.”
Mata Clarisa
terbelalak. “Apa? Kau sudah gila.” Katanya sesekali ia menggigit bibirnya
sendiri.
Clarisa tidak mungkin
lupa kejadian tiga hari lalu ketika ia menumpahkan kopi panas di dada Billy.
Tidak, yang benar bukan dia, tapi pelayan, namun pelayan itu tidak mungkin
melempar secangkir kopi ke tubuh Billy jika Clarisa tak menabraknya. Karena
kejadian itu, wajah menyeramkan Billy terus terngiang di kepala Clarisa. Dan
sekarang ini ia benar-benar tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi
berikutnya.
●◙●
Bel istirahat telah berbunyi
menandakan jam seni musik telah berakhir. Clarisa menarik napas lega dan
cepat-cepat keluar dari ruang musik. Tentu ia tidak mau berlama-lama di ruangan
musik itu bersama pria dengan tatapan menakutkan.
“Clarisa! Dion!” Suara
itu terdengar dari arah belakang dan menghentikan langkah mereka. Dion menoleh,
sedangkan Clarisa hanya membatu dengan napas tertahan.
“Bisakah kita mengobrol
sebentar?” Billy berjalan ke meja guru di depan ruangan. Ia terkekeh dalam hati
ketika mendudukinya. Ia seperti tak percaya dirinya bisa mengajar.
Dion sudah ada di
hadapan Billy. Sedangkan Clarisa masih mematung membelakangi mereka. Ia
benar-benar trauma dengan tatapan tajam pria itu, bak tatapan singa yang akan
menerkam mangsanya.
“Clarisa, ada apa?”
Tanya Billy.
“Dia takut padamu.”
Sela Dion.
Billy tertawa keras
lalu mengembuskan napas panjang. “Ayolah, aku adalah pria paling ramah di
dunia. Jadi tak usah takut begitu.”
Clarisa menyipitkan
matanya. Ramah?Apanya yang ramah?
“Clarisa, tak usah
takut. Kemarilah.” Ajak Dion menenangkan.
Perlahan ia membalikkan
badan dan berjalan ke arah Billy dengan enggan. Ia tersenyum masam ketika Billy
melempar senyum lebar kepadanya.
“Oh, ya, aku melupakan
sesuatu.” Billy mengangkat setumpuk kertas lalu mengambil secarik map berwarna
biru lalu memberikannya kepada Clarisa. “Bisakah kau mengantarkannya kepada
sekretaris di kelasmu? Aku membutuhkan nama-nama siswa agar aku lebih mudah
memberi nilai. Setelah itu bawa itu kemari.”
Clarisa mengangguk,
dalam hatinya masih ketakutan. Ia meraih map itu dan keluar dari ruangan.
Tersisa Dion dan Billy di dalam ruangan.
“Apa yang ingin kau
bicarakan?” Tanya Dion dengan ciri khasnya.
“Ayolah, bung, kau tak
perlu sedingin itu kepadaku.”
Dion terkekeh lalu
menatap Billy.
“Bagaimana kabar ayahmu?”
Tanya Billy.
Dion membuang muka. Ia
paling benci jika harus berbincang tentang ayahnya. “Dia baik-baik saja.”
Jawabnya datar.
Billy terseyum.
“Tampaknya kau masih marah dengan ayahmu.” Billy berdeham. “Lalu bagaimana
kabar saudara tirimu?”
Alis Dion berkerut
samar. Ia cukup kaget mendengar pertanyaan pamannya. “Kenapa kau tahu? Dari
mana kau tahu?” Tanya Dion tanpa jeda.
Billy bangkit dari
kursinya dan berdiri di hadapan jendela seraya menarik napas berat. Aroma tanah
basah menyergap hidungnya. “Margareth menceritakannya kepadaku.”
Mata Dion terbelalak.
“Ibuku tahu?”
“Tentu saja.” Billy
berbalik badan. “Ia tampaknya mengirim orang untuk mengamati keluargamu.”
Dion tertegun. Seketika
pikirannya kosong. Dion melempar pandangan lulus-lurus dan bibirnya terkatup
rapat. Ia tak menyangka ibunya masih ingin mencari tahu kabar ayahnya. Bahkan
mungkin, ibunya tahu bagaimana kehidupan Dion saat ini.
“Biarkan saja, aku tak
peduli dengan itu.” Kata Dion lalu bangkit dan berjalan ke pintu.
Billy menatap punggung
Dion dengan heran. “Hey! Kau mau kemana?”
“Mau ke toilet.” Jawab
Dion tanpa menoleh.
●◙●
Tak sampai 10 menit,
gadis yang di perintahnya kembali lagi ke ruangan musik. Clarisa berdiri dengan
jarak yang begitu jauh dari Billy.
“Ah, kau kembali.”
Billy mengangkat alis dengan senyum kecil di bibirnya. “Silahkan duduk.”
Clarisa duduk di
hadapannya dengan enggan menatap wajah pria itu. Ia terus menunduk.
“Ayolah, tak usah takut
begitu.” Billy tergelak. “Aku sudah memaafkanmu dan melupakan kejadian itu.”
Mendengar ucapan Billy,
Clarisa menjadi sedikit tenang. Lalu ia menarik napas berat dan memberanikan
diri menatap pria itu. “Ada yang bisa kubantu?” Tanyanya.
“Aku hanya ingin bicara
sebentar denganmu,” Billy berdeham. “Seberapa dekat kau dan Dion?”
Clarisa menggeleng
cepat dan tersenyum samar. “Tidak terlalu dekat. Hanya sebatas teman.”
Billy mengangguk pelan.
“Bukankah kau juga teman bicara Dion di ruangan ini?” Tanya Billy seraya
menatap seantero ruangan.
Clarisa tersenyum kaku.
“Apa saja yang Dion katakan padamu?”
“Tidak banyak.” Jawab
Billy. Melihat senyum Billy, Clarisa tahu Dion telah bicara banyak hal tentang
mereka berdua.
Billy berdiri dan
berjalan ke arah cermin. Ia benar-benar memperhatikan penampilannya.
“Dion dulunya tak
sedingin itu, namun sikap introvernya muncul ketika ayah dan ibunya bercerai,
dan kini ibunya sudah pergi meninggalkannya.” Jelas Billy. Ia masih sibuk
menyisir rambutnya.
“Ya. Aku turut berduka
cita soal ibunya.” Ucap Clarisa dengan nada sendu.
Billy mengernyitkan
dahi. “Berduka cita?” Tanya Billy dengan nada naik.
Clarisa menatap Billy.
“Ya. Dion bilang ibunya sudah meninggal.”
Billy tertawa keras. “Tidak,
tidak. Dia berbohong. ibunya masih hidup dan sekarang tinggal di Australia.”
“Hah?! Dia berbohong?”
Clarisa menatapnya dengan alis terangkat.
“Begitulah sifatnya. Ia
tidak menginginkan orang lain mengetahui keadaan keluarganya.” Billy mengkedikkan
bahu. “Entahlah, mungkin ia tak mau orang lain terlihat peduli dengannya. Dia
sekarang tinggal dengan ayahnya. Nicho Mahesa. Meski tinggal serumah, ia
membenci ayahnya.”
“Pasti sulit menjadi
dia. Pantas saja Dion membenci hidupnya.” Kata Clarisa.
Billy menarik napas
panjang, lalu berkacak pinggang. “Kurasa sekarang kau sudah lebih mengenal
Dion. Jadi kau harus terbiasa dengan sikapnya.” Ucapnya tersenyum lalu pergi.
Clarisa mengakui sikap
Dion adalah sikap yang ia benci. Tapi setelah mendengar cerita Billy, kini ia
sadar bahwa semua orang juga akan bersikap seperti itu.
Ninth
THE AIR DOESN’T CARE ANYMORE
Justin berdiri di depan
gerbang sekolah seraya menatap tukang kebun yang sedang menyirami tanaman.
Namun ia tidak benar-benar memperhatikan orang itu. Ia berusaha berdiri tegak
meski sudah 15 menit ia menunggu. Menunggu seseorang yang akan muncul dari
balik pagar gerbang sekolah. Tapi sayangnya gadis yang ia tunggu tak kunjung
datang. Yang ada hanya siswi-siswi yang menatapnya dengan mata berbinar. Justin
balik menatap mereka dengan kharismanya dan seketika menghipnotis kaum hawa.
Apalagi lelaki berambut coklat bermata biru itu adalah kapten tim voli yang
bertubuh atletis. Siapa yang tidak terpukau?
“Mana dia?” Gumam
Justin seraya mendengus pelan. Ia mengeluarkan ponsel dan menekan beberapa
tombol. Ya, yang memiliki nomor itu adalah gadis bergigi gingsul, Clarisa.
Telepon berdering berkali-kali namun Clarisa tidak menjawab. Tampaknya gadis
itu benar-benar sibuk, pikir Justin.
Akhirnya ia memutuskan
untuk pulang. Namun baru beberapa langkah, sosok gadis itu muncul bersama
sahabat-sahabatnya.
Mereka berjalan ke arah
Justin, tetapi masih belum melihat Justin yang sudah keram berdiri lama.
Clarisa mengatakan sesuatu sembari menunjukan sebuah kertas yang dipegangnya.
Mereka sedang sibuk mengomentari sesuatu yang tertulis di kertas itu.
Justin tertegun seraya
berpikir, gadis itu semakin cantik juga.
“Kurasa cerpen ini
sangat menginspirasi.” Puji Yuki.
“Ya,” Yuka
membernarkan. “Kenapa tidak dikirimkan ke majalah saja?”
Clarisa tersenyum malu
dan menatap kedua sahabatnya secara bergantian. “Tidak, tidak.” Clarisa
merendah. “Aku masih harus banyak belajar lagi.”
Tepat pada saat itu ia
melihat Justin dan ia merekahkan senyum. “Hai Justin!” Sapanya hangat.
Yuka dan Yuki ikut menoleh ketika melihat orang yang
disapa Clarisa, mereka segera memperlambat langkah dan membiarkan Clarisa
menghampiri lelaki itu sendirian.
Justin melepas senyum kepada mereka semua, lalu
matanya terpaku pada Clarisa. “Hai, Clarisa. Kau dari mana? Kenapa baru
keluar?”
“Aku tadi masih harus menyelesaikan cerpen.” Sahut
Clarisa. “Untung aku ditemani Yuka dan Yuki sampai cerpen ini selesai.” Kata
Clarisa. Ia melirik saudara kembar itu sekilas.
Justin menatap sehelai keras yang dipegang Clarisa.
“Ternyata kau bukan hanya seniman yang hebat, tapi kau juga penulis yang
piawai.” Puji Justin. Lalu ia membuka tasnya dan mencari sesuatu. Setelah
mendapatkannya, ia menyodorkannya kepada Clarisa. “Ini.”
Clarisa menatap heran baju yang disodorkan Justin. Alisnya
terangkat seraya memiringkan kepala. “Apa ini?”
Justin tersenyum. “Ini adalah kostum yang akan dipakai
oleh tim voli putri di turnamen dua minggu depan.” Justin
berdeham.”Nama-namanya sudah di umumkan tadi siang, dan kau masuk ke dalam
tim.”
Clarisa hanya tersenyum kaku. Ingin ia berteriak
kegirangan setelah mendengar kabar itu. Tetapi kondisi tubuhnya seperti
membungkam mulutnya. Dengan setengah hati ia mengambil kostum yang berwarna
biru itu. Ia tidak berkomentar soal turnamen yang disebutkan Justin, ia hanya
bingung karena tim masih menginginkan kehadirannya padahal sudah sebulan ia
tidak mengikuti latihan. Itu karena ia masuk rumah sakit dalam rangka
pengobatan kakinya dan juga karena perban di tangannya. Memang tak banyak orang
yang tahu, itu karena Clarisa berusaha menyembunyikan bengkak di tangannya di
balik seragam lengan panjang.
“Bagaimana dengan kakimu? Sudah tidak ada masalah?”
Tanya Justin seraya menatap kaki kanan Clarisa.
Clarisa menggoyang-goyangkan kaki kanannya. “Lihat,
kakiku sudah sembuh diluar dugaan, hanya membutuhkan waktu dua minggu.”
Justin menyunggingkan senyum lalu ia mengusap
ubun-ubun Clarisa dengan telapak tangannya. Semua gadis yang melihatnya
langsung berteriak tertahan namun lengkingan-lengkingan masih terdengar.
Justin hanya terkekeh melihat situasi di sekitar. Ia
kembali menatap gadis yang membeku di hadapannya seraya berkata, “Apakah kau
ada waktu malam ini?”
Clarisa terdiam sejenak sembari berpikir, sesekali ia
menggigit bibirnya. “Ya.” Jawabnya ketika mengetahui ia tidak akan sibuk malam
ini.
Justin berdeham. “Maukah kau makan malam di rumahku?”
Mata Clarisa terbelalak. Rumah? Gumamnya. Ia sangat terkejut. Tentu saja, siapa yang tidak
akan terkejut jika seorang pangeran mengajakmu makan malam? Apalagi di rumah
sang pangeran.
Tanpa berpikir panjang, Clarisa mengangguk tanda
setuju.
“Baiklah, aku akan menjemputmu di halte dekat
rumahku.” Ucap Justin seraya melambaikan tangan.
Clarisa membalas lambaian itu sambil melempar senyum
lalu pergi. Yuka dan Yuki mengekor di belakangnya. Mereka tampak kegirangan
ketika mendengar ajakan Justin.
Di balik pembicaraan itu, ada seseorang yang sedang
mendengarkan dengan seksama pembicaraan itu. Dia berdiri di balik pagar dan
memasang telinga baik-baik. Dialah Mr.
Ice, Dion Mahesa. Tak ada yang sadar hawa keberadaannya di tempat itu.
Dion tak bermaksud menguping, hanya saja ia sudah ada
di situ sebelum pembicaraan itu dimulai. Ia menunggu Billy sampai habis
mengajar.
Tiba-tiba terdengar suara perempuan sedang berbicara
dengan Justin. Nama Justin terucap dari bibir perempuan itu. Dion pun bergeser
dua langkah dan mengintip di antara lekukan pagar.
“Maaf, Jesica, aku tidak bisa. Aku punya janji dengan
seseorang.” Ucap Justin dengan raut wajah kebingungan.
Gadis itu merayu manja. “Ayolah, Justin, Kau tak
mungkin menolak undanganku, kan? Ini undangan ulang tahunku yang ke delapan
belas. Dan sudah pasti pestaku takkan ramai tanpamu, Justin. Batalkan saja
janjimu dengan orang itu, dan buat hari ulang tahunku menjadi benar-benar
indah.”
Raut wajah Justin tampak ragu. Ia menggaruk-garuk
kepalanya yang tak gatal seraya berkata, “baiklah, aku akan membatalkannya. Aku
akan meneleponnya sebentar malam untuk membatalkannya.”
Gadis itu tersenyum lebar lalu mengelus pipi justin
dan mundur beberapa langkah seraya berkata, “Jalan Wolter Monginsidi nomor 17.”
Lalu gadis itu berbalik dan berjalan. Sesekali ia masih menoleh dan melempar
senyum ke Justin yang membeku dengan senyum masam lalu berjalan ke arah yang
berlawanan.
Dion menyipitkan mata seraya menatap punggung ke dua
orang itu secara bergantian. Dion benar-benar telah mengetahui sifat asli
Justin.
Selepas kepergian Justin dan gadis itu, Dion berlari
secepat mungkin ke arah pertigaan yang berjarak seratus meter dari gerbang
sekolah. Tentu saja ia akan memberitahu Clarisa soal pembatalan sepihak oleh
Justin. Meski ia sempat ragu apakah Clarisa akan percaya atau tidak.
Dengan napas yang terengah-engah, ia berdiri di ujung jalan
dan menoleh ke kiri dan kanan secara bergantian. Namun ia tidak menemukan sosok
Clarisa. Dion yakin Clarisa telah pergi tanpa menunggu lama di pertigaan jalan
ini.
Sial, ia terlambat beberapa menit.
●◙●
Bunyi yang tak terlalu
gaduh terdengar dari arah dapur. Clarisa yakin, ibunya pasti sedang sibuk
menyiapkan makan malam. Tapi sayangnya ia tidak bisa meramaikan meja makan di rumahnya
malam ini. Itu karena janji yang dibuatnya dengan Justin. Tentu saja ia tidak
akan menolak ajakan Justin, meski ketika ia memberitahu kepada ibu dan ayahnya,
mereka sempat melarangnya. Tapi orangtuanya sadar betul bahwa mereka tidak bisa
melarang anak mereka untuk mengetahui apa arti ‘menyukai seseorang’. Mereka
juga tahu betul Clarisa menyukai Justin karena Clarisa terlalu banyak menceritakan
lelaki itu ketimbang teman-teman perempuannya. Clarisa terlalu sulit untuk
menyembunyikan perasaannya.
Setelah benar-benar
siap dari segi penampilan, ia juga harus menyiapkan mentalnya. Ia lalu menarik
napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan di depan cermin.
Clarisa membuka mata perlahan dan mendapati dirinya
dengan penampilan yang anggun. Ia memakai baju putih berlengan panjang dan rok
hitam melewati lututnya. Ia lalu menutup dirinya dengan jaket coklat agar
terhindar dari udara musim hujan yang tak bersahabat. Matanya berkilat-kilat
menunjukkan rasa gembiranya. Dengan senyum kecil, Clarisa bergumam, “aku siap.”
Clarisa segera menuruni
anak tangga dan berdiri di ambang pintu ruang makan. Ia menatap meja bundar.
Baru kedua adiknya yang tampak sudah siap makan malam tapi tampaknya Anna belum
selesai menyiapkan makan malam. Clarisa menatap lurus-lurus ke dalam dapur. Di
sana ibunya sedang sibuk memotong wortel dan kentang. Mata Clarisa beralih lagi
ke kedua adiknya yang sedang duduk di meja makan dengan wajah muram.
“Kenapa kalian tidak
membantu ibu?” Tanya Clarisa seraya berjalan ke arah kedua adiknya.
“Kami terlalu lapar
untuk mengeluarkan tenaga di dapur.” Jawab Angel dengan nada datar.
Adik Clarisa yang
paling bungsu, Stanly, mengangguk membenarkan ucapan kakaknya.
Sebelum Clarisa membuka
mulut untuk membantah alasan kedua adiknya, tiba-tiba terdengar suara lembut
dari dapur dengan nada yang menenangkan. “Tidak apa-apa, ibu bisa menyelesaikan
semuanya.” Anna berjalan ke pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan.
Matanya melebar ketika mendapati anaknya dengan penampilan yang luar biasa.
“Wah, kau cantik sekali, sayang.”
Clarisa tersenyum dan
berjalan ke sebuah lemari kecil dan mencari sebuah kotak putih seraya berkata,
“Aku tidak mungkin membuat Justin malu di hadapan orangtuanya. Kuharap orangtuanya
juga terkejut dengan penampilanku.”
“Ya, tentu saja.” Kata
ibunya. “Tampaknya ayahmu akan sedih melihat kursimu kosong.” Ibunya menatap
kursi makan yang biasa diduduki Clarisa.
Clarisa tertawa kecil.
“Ya, aku minta maaf, tapi aku tidak sanggup melewatkan ajakan Justin.”
“Mm.” Anna megangguk.
“Sebelum pergi, kau harus meminum obatmu.” Anna kembali ke dapur.
Clarisa mengangguk.
“Ya, aku baru saja akan melakukannya.” Katanya seraya membuka laci satu per
satu hingga ia mendapati secarik amplop putih berlabel RS[6].
Prof. Kandou di laci ke tiga. Itu tentu saja bukan obat. Melainkan sesuatu yang
membuatnya penasaran karena ada label dari rumah sakit. Pikirannya langsung
berkelebat. Ia tertegun menatap amplop itu. Dengan perlahan ia membukanya untuk
mengetahui apa isinya. Matanya melebar ketika membaca nama pasien yang tertulis
di kertas di dalam amplop itu . Clarisa Artayasa. Surat itu merupakan surat rekomendasi
pengobatan kemoterapi. Clarisa bingung dan berusaha berpikir keras tentang apa
yang ia temukan.
Tiba-tiba suara Anna
membuyarkan pikiran Clarisa. “Clarisa?” Panggilnya dengan lembut. “Ibu sudah
menyiapkan air putih untukmu.”
Clairsa cepat-cepat
mengatur kembali posisi amplop di dalam laci dan segera mengambil kotak obatnya
di laci ke dua, lalu segera bangkit dan berjalan ke dapur.
Ia menelan obatnya lalu meneguk segelas air sampai
habis.
“Ibu, aku boleh bertanya
sesuatu?” Tanya Clarisa ketika ia sudah berada di dapur.
“Apa?”
Clarisa menarik napas
panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. “Aku… Sebenarnya aku sakit apa?”
Ibunya terdiam dan
menatap lurus-lurus tomat yang dipotongnya. Bibir Anna seperti membeku. Otaknya
berpikir keras saat memikirkan jawaban apa yang harus diberikan kepada anak
sulungnya. Wajah manis anaknya itu tak akan ia ubah meski ada badai sekalipun.
“Bu?” Tanya Clarisa
lagi, kali ini dengan nada yang mendesak.
Anna menoleh dan melempar senyum menenangkan kepada
anaknya. “Bukankah Ibu sudah bilang kalau kau hanya alergi, dan alergi itu makin
parah dan menyerang tulang karena kau kekurangan kalsium dan vitamin D. Dr[7]. Jhony
sudah menjelaskannya kepada Ibu.” Jelas Anna lalu kembali sibuk dengan tomat
yang dipotongnya. “Cepat pergi, kau hampir terlambat, sayang.”
Clarisa tersenyum kaku
seraya mengangguk pelan. Dalam otaknya ia sedang berpikir keras tentang kondisi
apa yang menyerang tubuhnya. Memang terdengar masuk akal apabila seseorang
kekurangan kalsium dan vitamin D, itu membuat seluruh tulang menjadi tidak
sehat. Tapi apakah benar begitu? Sudah hampir dua minggu apakah belum membaik?
Apakah kondisi tubuhnya akan benar-benar pulih setelah mendapat kalsium dan
vitamin D juga beberapa obat anti alergi? Dan pertanyaan pamungkasnya, jika tidak, apakah aku akan sembuh?
Semakin hari, tak ada
perubahaan yang berarti pada tubuhnya. Setelah tangan kiri, kini kaki kanan
yang sering terasa nyeri. Tapi untunglah ia masih bisa berjalan seperti orang
normal. Karena jika tidak, ia tidak mungkin makan malam bersama Justin dengan
kaki pincangnya.
●◙●
Clarisa melangkah maju
mendekati jalanan yang sepi. Sudah dua puluh menit ia menunggu tanpa bosan dan
mendapati dirinya berada di pinggir jalan yang sunyi dan disinari cahaya bulan
yag tak terlalu berkilau. Setumpuk awan menghalangi cahaya-cahaya itu.
Udara dingin musim
penghujan menerjangnya, tetapi perasaan yang membuncah dalam dirinya merampas
udara dingin tersebut. Namun lama-kelamaan perasaan yang membuncah kini luntur
dan berubah dengan perasaan bosan karena menunggu. Memang ‘menunggu’ adalah
kata yang mengerikan bagi setiap orang. Tapi Clarisa mencoba mengabaikannya, ia
berusaha menerbitkan bongkahan asa – berharap Justin datang dengan senyum
manisnya. Akan tetapi semakin Clarisa berharap, kehadiran laki-laki itu semakin
dibutuhkan.
Kini udara benar-benar menusuk dan memaksanya
merapatkan jaket coklatnya.
Ponsel! Pikir Clarisa sambil mengangkat kening. Ia membuka tas dan
mengaduk-aduk isinya mencari ponselnya. Setelah mendapatkan ponsel putih itu,
ia menekan tombol ‘panggil’. Ia sangat berharap lelaki itu mengangkat
panggilannya. Tetapi ponsel lelaki pujaannya sedang berada di luar jangkauan.
Ia tidak menyerah begitu saja. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Justin –
berharap lelaki itu akan membacanya.
Hingga lima belas menit
berlalu, batang hidung Justin tak kunjung muncul. Pandangan Clarisa kini sulit
untuk fokus dan dadanya tiba-tiba sesak. Ia menundukkan kepala dan merasakan
ada sesuatu yang berputar di kepalanya. Ia memejamkan mata seraya mengerang tak
tertahan. Sesekali ia memijat pelipisnya berharap hal itu bisa meredakan rasa
sakit yang tiba-tiba menyerangnya, walaupun ia tahu itu sia-sia.
Guyuran hujan akhirnya
jatuh membasahi bumi di ikuti hembusan angin yang semakin mencengkram kulitnya.
Ia berusaha menggerakan kakinya namun langkahnya seperti sulit menerima
perintahnya. Ia meraih tiang pembatas di pinggir jalan berharap hal itu dapat
membantunya berdiri. Ia berpikir ia akan benar-benar pingsan di tempat sepi
ini, di tengah hujan, di tengah desiran udara dingin, tanpa ada yang menolong.
Ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi padanya.
Tepat disaat itu,
seseorang memakaikan sebuah jaket ke kepalanya, ia merasakan ada seseorang yang telah berdiri
tegap di sampingnya.
Clarisa mengerjap lalu
senyum lebar terlukis di bibirnya. Ia pun menoleh dengan perlahan namun tak
bisa mengenali orang itu karena pandangannya yang kian memburam.
“Buat apa kau berdiri
seperti orang bodoh di tengah hujan?” Tanya orang itu dengan nada datar.
Kini Clarisa benar-benar tahu siapa orang itu.
“Dion, kenapa kau
datang?” Tanya Clarisa dengan bisikan serak, tapi ia berusaha menyembunyikan
kondisinya.
Dion menatap lurus ke
depan. “Justin tidak akan datang karena dia sudah pergi ke pesta ulang tahun
Jesica. Kukira ia sudah meneleponmu?”
Clarisa menundukkan
wajah. Seulas senyum masam merekah di
wajah pucat pasinya. “Tidak, dia tidak meneleponku.” Clarisa melirik
Dion. “Aku sudah mencoba menghubunginya namun dia tidak bisa dihubungi. Kuharap
Justin tidak akan marah karena aku terlalu banyak mengirim pesan kepadanya.”
Mendengar ucapan itu,
Dion mendesah keras. “Seharusnya dia yang merasa bersalah karena membiarkanmu
kehujanan!” Suara Dion terdengar naik namun ada sebersit perasaan khawatir
kepada gadis itu. “Seharusnya ia tidak mencampakkanmu seperti ini.” Ucapnya
kali ini dengan nada yang berbisik.
Clarisa hanya tersenyum
dan berusaha mengatur napas. Ia mencengkram pembatas jalan – berusaha
menyeimbangkan diri. “Kau terlihat seperti orang baik.” Gumam Clarisa lirih
tanpa menoleh ke arah Dion.
Dion mengerjap heran
dan mengernyitkan dahi. Apakah selama ini ia menganggap Dion sebagai orang
jahat? Ia tidak berkomentar soal ucapan Clarisa. Entah itu pujian atau ledekan.
Dion tidak berkomentar.
“Kau tahu, saat pertama
kali aku melihatmu pada saat bersama seekor kucing, aku merasa kau benar-benar
peduli terhadap sesuatu. Hatimu gampang tergerak. Namun entah mengapa kau
berusaha menyembunyikan kepedulianmu dengan sikap acuhmu. Tapi aku tahu, di
dalam lubuk hatimu, kau benar-benar peduli dengan sekitarmu.” Clarisa menelan
ludah yang tercekat di lehernya lalu ia melanjutkan, “dan sekarang aku
benar-benar kagum padamu. Karena rasa pedulimu membawamu kemari dan berdiri
bersamaku di tempat ini. Ya, kau bukan hanya terlihat seperti orang baik, tapi
kau benar-benar baik.”
Dion tertawa kecil
seraya menundukkan kepala. Di saat yang sama, ada desahan kecil yang membelah
udara dan menyambar telinga Dion. Tak sampai dua detik, suara sesuatu yang
jatuh ikut terdengar.
Dion segera menoleh
berniat menatap orang yang sedang berbicara dengannya. Tapi orang itu tidak
ada. Dion menurunkan pandangannya dan mendapati Clarisa telah terbujur kaku di
atas tanah. Dion terkejut dan segera menjatuhkan diri – bertumpu pada lutut di
samping Clarisa.
“Clarisa?” Suara Dion
kini semakin menampakkan kecemasaan. Sayangnya gadis itu tidak menjawab. Bibir
Clarisa benar-benar telah memucat.
“Clarisa? Clarisa, hei?
Kau kenapa? Ayo bangun! Kau mendegarku? Clarisa!” Tak ada satu katapun yang dapat
membuat mata gadis itu terbuka kembali.
●◙●
Orangtua Clarisa
mendesak Dion untuk pulang malam itu. Karena bagaimanapun besok bukanlah hari
libur melainkan hari sekolah. Mereka berjanji akan menjaga Clarisa dan langsung
mengabari Dion apabila Clarisa sudah sadarkan diri. Dr. Jhony juga berusaha
meyakinkan Dion bahwa Clarisa akan baik-baik dan akan pulang dalam waktu dua
hari.
Hingga akhirnya Dion pulang dengan enggan meski dalam
hatinya ingin menjaga gadis itu hingga benar-benar sadar.
Setelah sepeninggalan
Dion, Anna dan Erwin melangkah bersama Dr. Jhony untuk menemani Clarisa yang
sudah siuman beberapa saat lalu. Gadis itu masih tampak pucat meski berusaha
melempar senyum lebar untuk meyakini Dr. Jhony dan orangtuanya kalau ia
baik-baik saja. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, orangtua Clarisa berusaha
membalas senyum Clarisa.
“Syukurlah, kau sudah
sadar.” Ucap Dr. Jhony. Lalu ia menatap hasil pemeriksaan yang baru saja
didiskusikan dengan kedua orangtua Clarisa. “Sebaiknya besok Clarisa harus
beristirahat total di rumah sakit. Dia hanya kecapekan dan terlambat makan lalu
membuat tekanan darahnya turun. Obat dan istirahat akan membuat tubuhnya pulih.
Dia sudah bisa sekolah kembali jika telah benar-benar sembuh.” Jelas Dr. Jhony
kepada kedua orang tua Clarisa.
Anna mengalihkan
pandangan dari Dr. Jhony dan menatap Clarisa. “Kau dengar? Kau besok harus
beristirahat total di rumah sakit.” Suara Anna terdengar serak.
Clarisa mengangguk.
“Ya, aku tahu.”
“Baiklah, beberapa hari
lagi, kalian silahkan menemuiku di ruangku sesuai diskusi yang kita bicarakan
di ruangku tadi.” Kata Dr. Jhony sembari menatap Anna dan Erwin secara
bergantian.
Anna dan Erwin hanya
tertunduk seraya mengagguk kecil tanda mengerti. Sesekali Erwin mengusap
pelipisnya dan melirik ke arah istrinya, Perbincangan yang dilakukan beberapa
saat lalu membuat mereka tidak bisa berpikir tenang apabila membayangkan hasil
diskusi tadi benar-benar terjadi.
“Kalau begitu saya
permisi dulu.” Pamit Dr. Jhony lalu melempar senyum ke Clarisa dan segera
pergi.
Anna mengalihkan
pandangan dari pintu dan menatap Clarisa. “Apa yang terjadi, sayang? Kenapa kau
sampai telat makan? Bukannya kau berpamitan untuk makan malam dengan Justin?” Anna
bertanya tanpa jeda dengan bongkahan kekhawatiran di nada bicaranya.
Clarisa tidak menjawab,
ia hanya membuang pandangan ke arah jendela yang ditutupi gorden biru langit.
Ia juga tidak peduli dengan pembicaraan antara orangtuanya dan Dr. Jhony. Itu
karena ia benar-benar tidak mau mengingat apa yang terjadi hari ini dan tidak
mau menambah beban. Clarisa benar-benar marah kepada Justin karena tidak menepati
janjinya. Tapi Clarisa berpikir, ia juga tidak punya hak untuk membenci Justin
karena mungkin ada hal lain yang lebih penting daripada menepati janji dengan
Clarisa.
Erwin
menggoyang-goyangkan tangan kanannya. “Sudah, sudah, kau tak usah banyak
bertanya di saat kondisi Clarisa seperti ini. Biarkan dia istirahat.” Ucap Erwin
kepada Istrinya – berusaha menenangkan.
Clarisa memalingkan
wajah kepada orangtuanya. “Dion mana?” Tanya Clarisa lirih
Anna meraih tangan kiri
Clarisa dan menggenggamnya sejenak. “Dia sudah pulang.” Sahut Anna. “Ini sudah
larut, jadi sebaiknya dia pulang. Lagi pula dia harus sekolah besok pagi. Ibu
dan ayah sudah berterima kasih kepadanya.”
Clarisa tersenyum lebar
lalu memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Tampaknya aroma rumah sakit mulai tidak asing baginya.
●◙●
Suara ayam jantan milik
tetangga mulai terdengar meski matahari belum nampak. Dion yang mendengar suara
itu hanya acuh dan menikmati kesendiriannya.
Dion masih di situ, di
atas balkon lantai dua rumahnya sepulang dari rumah sakit tempat Clarisa
dirawat. Ia sedikit kecewa dengan keputusan pasangan Artayasa yang menyuruhnya
pulang di saat ia benar-benar ingin berada di samping Clarisa.
Karena hal itu, kini Dion tidak bisa tidur dan
menghabiskan malam di balkon rumahnya sembari menyesap coklat panas dan
menyelimutkan punggungnya.
Ia tidak bisa tenang.
Setiap kali memejamkan mata, terbayang kembali kepanikannya ketika melihat
Clarisa tergeletak di tanah tanpa menghiraukan teriakannya. Dion benar-benar
takut jika hal itu kembali terjadi. Namun dibalik kekhawatirannya, ada sebuah
tanda tanya yang menerobos masuk ke dalam otaknya. Entah kenapa dirinya sangat
peduli pada gadis itu. Rasa peduli dan kekhawatiran kepada Clarisa kini telah
berlipat ganda di batinnya. Kini hatinya telah memandang Clarisa dengan cara
yang berbeda. Ada perasaan yang menggelitik hatinya.
Pemuda itu menatap
lurus-lurus dan masih berdiri sendiri ditemani temaram beberapa lampu biru khas
zaman kolonial belanda yang berdiri di sisi balkon. Suara lantunan instrumen
Richard Claydermen mengalun lembut dan terdengar dari meja kecil di kamarnya.
Terlihat dari atas
balkon, Nicho Mahesa turun dari Mercy
hitamnya. Lalu Nicho Mahesa segera mendongakkan kepala mencari asal suara musik
itu. Ia mendapati anaknya yang berdiri mencondongkan tubuhnya ke depan bertumpu
pada pembatas balkon seraya menyesap secangkir minuman. Anaknya hanya
menatapnya sekilas lalu membuang pandangan ke depan. Hanya sekitar lima menit,
Nicho Mahesa kini telah berada di belakang Dion.
“Kau tak bisa tidur?”
Tanya Nicho.
Dion tidak menoleh
ataupun bersuara. Ia hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
Nicho mengatur
kacamatanya seraya berdeham lalu mensejajarkan posisi dengan anaknya. “Apa yang
sedang kau pikirkan?” Tanyanya. “Sangat jarang kau tidak bisa tidur. Apa ada
masalah?”
Dion sedikit menaikan
pandangannya ke atas. Tatapan matanya kosong menerawang langit yang sedari tadi
tampak gelap. Sesekali terlihat kilatan petir yang sahut-menyahut. “Tidak,
tidak ada masalah.” Jawabnya datar.
Nicho menelan ludah dan
menghembuskan napas. “Wajahmu tidak bisa berbohong, nak. Ayah tahu ada sesuatu
yang mengganggu pikiranmu.”
“Jangan sok tahu.”
Jawabnya ketus. “Apa nyaman tinggal bersama mereka dan membuat ayah pulang sepagi
ini? Kalau perlu, ayah tak usah repot-repot pulang saja.” Kini ia balik
menyerang telinga ayahnya dengan sebuah penyataan yang bernada mengejek.
Ayahnya terkekeh lalu
menundukkan kepala. Nicho Mahesa sudah terbiasa dengan sikap anaknya. “Ayah
pulang karena Diana sudah ada yang menemani.” Jawabnya. Diana adalah istrinya
yang baru dinikahinya setahun lalu.
“Oh, anakmu sudah
pulang ya.” Gumamnya, namun bukan sebuah pertanyaan, karena ia benar-benar
tidak menginginkan jawaban.
Suasana tiba-tiba
berubah agak sedikit kaku dan serius.
Nicho menyeka dahinya.
“Ya. Dia katanya akan mengajak makan malam seseorang dirumah. Tapi tiba-tiba
pikirannya berubah dan pergi ke ulang tahun anaknya Pak Lucky. Aku lebih setuju
dia pergi ke acara itu. Karena jika tidak, hubungan bisnis antara ayah dan Pak
Lucky akan memburuk.”
Dion hanya diam. Ia
menyesap coklat panas. Kehangatannya mengalir melewati rongga dada, dan
seketika hening. Kedua orang itu hanya menatap lurus ke depan tanpa berbicara.
Keheningan terjadi selama tiga menit hingga akhirnya Dion angkat suara.
“Justin benar-benar
mirip dengan ayah.” Ucap Dion, ada sebersit nada menyinggung di sana. “Meskipun
dia bukan anak kandungmu.” Lanjutnya.
Nicho Mahesa menoleh
dengan dahi berkerut samar. “Apa maksudmu?”
Dion terkekeh pelan.
“Entahlah. Kau tahu? Dia sangat mirip dengan ayah. Dia selalu melakukan sesuatu
dengan sesuka hati tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Ia selalu
menggunakan kepala ketimbang hatinya.”
Nicho
hanya terdiam. Ia masih menelaah ucapan anaknya.
Dion
berbalik menatap kamarnya. “Tolong ajarkan kepada dia untuk menghargai sesuatu.
Sebagai ayahnya, kuharap kau tahu mendidik anak tirimu itu agar tak melukai
lebih banyak wanita lagi.” Katanya. “Kalau tidak, aku akan benar-benar memberi
Justin pelajaran.” Tegasnya lalu berjalan ke kamar dan menghempaskan dirinya di
atas tempat tidur.
Nicho
Mahesa hanya terdiam seraya berpikir keras. Dalam otaknya ia menebak-nebak,
apakah kedua anaknya menyukai gadis yang sama? Lalu Justin melukai gadis itu?
Bagaimana bisa saudara tiri itu menaruh perhatian kepada gadis yang sama?
Entahlah, Nicho Mahesa tidak benar-benar ingin ikut campur ke dalam urusan anak
muda meskipun urusan anaknya.
****BERSAMBUNG****
