Welcome

Rabu, 15 Maret 2017

Heart is Boneless




Heart is Boneless
_All About Your Heart_







A Novel By
Arif Akmal Palowa


Heart is Boneless
Oleh: Arif Akmal Palowa
Hak Cipta Di Lindungi Undang-Undang


Heart is Boneless/Arif Akmal Palowa
Penerbit : Nulisbuku.com
Penyunting  : Ruth Watuseke
Tata Bahasa : Arif Akmal Palowa, Silvana Kotambunan, Mario Thomas
Desain Cover: Hinata Art



Dilarang Keras untuk mengedarkan atau menciplak tanpa seizin penerbit atau penulis. Jika kedapatan mengedarkan atau menciplak, pelaku akan dikenakan hukuman pidana Undang-Undang RI Nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta pasal 1 dan 2.


Thanks To
            Berjalan di atas bumi harus memiliki tujuan. Akan lebih indah jika tujuan itu memiliki manfaat. Maka dari itu saya berterima kasih karena saya memiliki tujuan yang bermanfaat.
            Oleh karena itu, ucapan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan inspirasi serta telah mengizinkan untuk menyelesaikan Novel ini.
            Terima kasih juga kepada geng S.U.R.AM dan band STIVANA yang memberikan semangat dan sokongan inspirasi serta kritikan.
                                                       Salam Penulis



Arif Akmal Palowa






Prolog







Dunia dan waktu,
Aku menengadah dengan pecahan beling di mataku
Aku berdiri dengan selongsong peluru
Aku menunggunya larut dengan air mata

Dunia dan waktu,
Bisakah kau menjadi toples yang selalu terbuka?
Bisakah kau menunjukkan yang sebenarnya?
Bisakah kau buat ini menjadi mimpi?

Dunia dan waktu,
Aku menari bersama angin beku
Aku berlari bersama karat di kakiku
Aku hilang di tengah gurun laraku

Dunia dan waktu,
Kau berkata ini belum cukup
Tapakku penuh nanah di antara paku yang kau tabur
Kenapa tidak kau cukupkan saja?





First

A LITTLE GIRL IN A DREAM






“Jam enam lewat empat puluh lima menit. Hm. Hampir terlambat!” Clarisa mengangkat bahunya dan berlalu dari hadapan cermin. Ia bisa melihat bayangan dirinya. Ia berkaca dan melihat siapa dirinya yang sebenarnya.
Pagi ini Clarisa menuruni anak tangga dengan langkah kecilnya. Bau parfum tercium begitu wangi dan meninggalkan jejak. Aroma itu menerobos masuk ke paru-paru dan seperti melepaskan benih-benih mawar merah di sana. Aroma parfumnya itu mengikutinya hingga ke ruang makan.
Ia menarik kursi dan duduk sembari menggantung tas hitam di punggung kursinya. Lalu ia menatap isi meja makan sambil tersenyum. Ia melirik lagi jam tangannya. Clarisa masih punya waktu untuk sarapan sebelum benar-benar terlambat. Matahari sudah mulai meninggi. Ia ulurkan tangannya ke tempat sendok yang tak jauh darinya. Namun belum sampai ia meraihnya, ayahnya sudah lebih dulu memberikan sendok.
“Bagaimana tidurmu malam tadi?” Tanya Erwin sembari menatap dalam-dalam mata anaknya. Keriput tipis di kedua ujung matanya seperti ikut menyapa.
“Aku tertidur pulas.” Jawab Clarisa kepada Ayahnya dengan senyum kecil di bibirnya.
Ayahnya menundukkan wajah dan kembali fokus ke meja makan. Namun ayahnya tersenyum seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Ia kini merasa anaknya benar-benar telah berbeda. Bukan seorang anak yang manja lagi, melainkan seorang gadis remaja yang kini mulai mengenal hitam dan putih dunia ini. Gadis yang telah paham tentang keras dan lembutnya dunia ini.
“Ayah senang karena melihat kau tumbuh dewasa. Ayah masih ingat ketika kau selalu ingin digendong waktu kecil.” Erwin tertawa kecil. “Meski ayah dalam keadaan sibuk, namun ayah pasti menurutinya.” Pria berusia 40 tahun itu tersenyum. Meski sudah tua, namun ia masih menjaga rambutnya agar tetap hitam hingga tak ada satu ubanpun terlihat.
“Ayolah, jangan menceritakan itu lagi. Itu sangat memalukan. Lagi pula aku sudah dewasa, kan? Jadi lupakan saja.” Clarisa tertawa kecil seraya mengkedikkan bahu.
“Lalu apakah kau sudah memikirkan masa depanmu?” Tanya ayahnya ringan sambil melepaskan sendok yang ia pegang.
Clarisa mengangkat kepalanya dan menoleh. Ia lalu menggelengkan kepalanya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengunci kedua tangannya di meja makan. Tak ada kata setelah ia menggelengkan kepalanya.
Ayahnya tersenyum. “Clarisa, waktu terus berjalan, hingga tak ada yang tahu kapan ia akan berhenti. Tapi tahukah kau bahwa waktu dapat membunuh mimpi? Mimpi yang ayah maksud bukan hanya mimpi yang tidak terwujud, melainkan juga mimpi yang tak pernah terlahir. Jadi sebaiknya kau memikirkan apa yang akan kau lakukan di masa depan.”
Clarisa mendesah sembari menatap wajah kedua orang tuanya dan adik-adiknya. “Memang yang ayah katakan itu benar.” Jawabnya lemas. “Mungkin aku hanya ingin menjadi orang yang baik, karena menurutku jika aku menjadi orang baik, aku mudah mendapatkan mimpi. Tapi untuk sekarang aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di masa depan, mungkin aku akan menjadi komikus, atau penulis.” Clarisa tersenyim simpul. “Menjadi orang yang berguna sudah lebih dari cukup.” Ucapnya dengan nada bergurau.
Ayahnya tersenyum. “Syukurlah. Ayah pikir itu tidak buruk. Yang penting kau punya tujuan dalam hidupmu.”








Second

THE BOY WITH COLD STARE





Aroma pagi seperti mengetuk indra penciuman dan ia langsung menghirupnya. Pagi yang indah kembali hadir menyapa Clarisa Artayasa. Ia sangat bersyukur karena telah diberikan pagi secerah ini. Langkah kakinya semakin semangat ketika matahari pagi menyinarinya hingga mereka menghilang karena terhalang gedung-gedung tinggi. Cahaya berwarna keemasan seperti krim kacang yang ditaburkan di atas puding susu. Namun cahaya di pagi ini tidak seperti biasanya. Itu karena beberapa tumpukan awan menghiasi langit. Tampaknya siang ini akan hujan.
Ia mencoba meraih earphone dari tasnya. Segera ia mainkan lagu kesukaannya yang selalu menjadi pendamping awal harinya. Sesekali ia bernyanyi dengan suara kecil. Ia melangkah di sebuah jalan besar lalu menuruni anak tangga di depan gedung bertingkat.
Tiba-tiba saja langkah kakinya terhenti melihat seorang laki-laki yang telah lengkap dengan seragam sekolah. Ia jongkok di samping tempat sampah seperti sedang melakukan sesuatu. Itu membuatnya penasaran hingga Clarisa berjalan ke arahnya.
Lelaki itu sedang mengelus-elus seekor kucing putih yang kotor. Meski hanya berjarak dua meter, ia itu tak menyadari keberadaan Clarisa. Aroma mawar yang disemprot ke pakaian Clarisa belum cukup kuat membuatnya menoleh.
Tak lama kemudian ia menyadari keberadaan seseorang disekitarnya, dia menoleh dan segera berdiri.
“Ada apa? Apa kamu mengikutiku sedari tadi?” Tanya lelaki itu dengan nada yang sama sekali tidak ramah. Ia memancarkan tatapan yang dingin bak angin di musim salju.
Clarisa jadi salah tingkah ketika suara itu masuk ke telinga. Seolah-olah ia seperti penguntit yang ketahuan. Padahal kenyataannya tidak begitu.
“Eh, tidak, tidak! Aku tadi hanya lewat dan melihatmu sedang melakukan sesuatu.”
Ia membalikkan badan dan Clarisa harus menatap punggungnya. “Lalu apa pedulimu?” Lelaki itu berbisik tajam.
“Apa kau ingin menyelamatkan kucing itu? Ia tampaknya menyukaimu?” Ucapnya tersenyum kecil.
Ia lalu membalikkan badannya dan menatap Clarisa dengan tatapan dingin itu lagi. “Kamu salah. Aku baru saja membuangnya.” Jawabnya datar  tanpa ekspresi. Rambutnya dipotong rapi jatuh menutupi dahi. Lelaki bermata sayu itu menunjukan ekspresi yang tak sukai Clarisa. Datar tanpa satupun warna.
“Kalau begitu kenapa kau membuangnya? Bukankah ia tampak lucu?” Clarisa bertanya tanpa jeda.
Clarisa menunduk dan mengeluarkan potongan roti makan siangnya dan ia berikan ke kucing yang lucu itu. Tapi ada yang aneh dengan kucing putih yang ada di hadapannya. Bukan hanya kucingnya, Clarisa menatap lelaki itu lagi. Ia mengatakan bahwa ia akan membuangnya, tapi bulu kucing itu kotor seperti sudah berhari-hari terlantar di jalanan. Jika dilihat dari seragamnya, lelaki itu satu sekolah dengan Clarisa, akan tetapi ia belum pernah melihatnya berkeliaran di sekolah.
Tiba-tiba lelaki itu berlalu begitu saja tanpa mengeluarkan sepatah-katapun. Ia sungguh tidak ramah. Lelaki yang sangat dingin.
“Hey! Siapa namamu?” Teriak Clarisa. Lelaki itu kini telah ada di ambang jalan.
Segera ia berbalik dengan tatapan khasnya. Namun kembali berjalan tanpa memperdulikan gadis itu lagi.
●◙●
Bel istirahat telah berbunyi. Suasana kelas berubah seketika. Para siswa berlarian keluar dengan penuh keceriaan. Namun ada beberapa siswa yang masih di dalam kelas. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan mulai mengeluarkan canda tawa. Namun Clarisa masih saja terdiam dan memperhatikan seantero kelas barunya. Ia membatu dan bingung untuk melakukan sesuatu. Orang-orang di sini cepat beradaptasi. Ditambah lagi Clarisa memang gadis yang kurang ahli dalam bergaul.
 “Hey.” Seseorang menepuk pundak Clarisa. “Namamu siapa?”
Ia menoleh dan mendapati dua orang perempuan berkacamata dan berambut sebahu. Mereka sangat mirip sampai sulit dibedakan. Apakah mereka kembar? Gumam Clarisa.
“Cla–Clarisa Artayasa. Ya, panggil aku Clarisa.”  Jawabnya terbata-bata.
Mereka berdua menarik kursi dan segera merapatkannya ke samping meja Clarisa. “Namaku Yuka Tatsuya, dan ini adikku, Yuki Tatsuya. Kami adalah saudara kembar. Salam kenal”.
Seketika Clarisa tersenyum melihat keramahan dua orang yang ada di hadapannya. “Ya. Salam kenal. Apakah kalian keturunan jepang?”
“Ya. Ayah kami memang orang jepang.” Jawab Yuka.
 Mata sipit dengan kulit kuning menunjukan identitas mereka.
“Apakah kamu membawa bekal? Bukankah ini sudah waktunya makan siang?” Tanya Yuki.
“Ya.” Jawab Clarisa singkat.
“Baiklah. Ayo kita makan sama-sama.” Mereka mengeluarkan kotak makan masing-masing. Gadis bergigi gingsul itu pun tidak mau ketinggalan. Kotak makan berwarna biru segera ia letakan di atas meja. Seketika Clarisa dan dua saudara kembar itu berteman dan mengakrabkan diri dalam suasana makan siang. Tadinya ia sempat berpikir bahwa hanya ia saja yang tidak akan memiliki canda tawa ketika jam istirahat tiba. Tapi tampaknya itu tidak lagi. Kini ia bisa menyatu dan menjadi gadis normal yang memiki teman bicara. Ia yakin semua orang bisa melakukannya.
“Apakah kau tahu murid yang di sana itu?” Yuka mengarahkan pandangan ke bagian belakang kelas.
Mendadak ekor mata Clarisa bergerak melirik murid yang Yuka maksud, menandakan pandangan penuh rasa penasaran. Hingga akhirnya Clarisa mendapati seorang lelaki yang baru saja ia temui pagi tadi. Lelaki yang sangat misterius. Lelaki dengan tatapan yang tak ia sukai.
Saat itu ia sedang tertidur dengan kepala tersandar di kursi.
Clarisa menghadap lagi ke depan dan menggelengkan kepala. “Tidak. Tapi aku bertemu dengan dia pagi tadi.”
“Namanya Dion Mahesa. Dia adalah anak pindahan dari sekolah swasta Bakti Mulia.” Ucap Yuki dengan mulut yang setengah penuh. Sebab itulah Clarisa tidak pernah melihat lelaki itu di sekolah.
Yuka mengangguk. “Ya. Dia murid pindahan. Tapi tampaknya dia lelaki yang introver. Lihat saja, semua orang mencoba mengakrabkan diri, tapi apa-apaan dia! Tidur di dalam kelas seperti kamar miliknya saja. Seperti tidak ada tata krama” Yuka menggerutu.
Clarisa sudah tidak kaget jika orang lain menilainya seperti itu. Karena jika dilihat dengan kasat mata, dia adalah orang yang penyendiri.
“Aku rasa begitu.” Clarisa mengangguk kecil.
●◙●
Sore hari pun tiba. Langit kian memerah seperti lentera yang begitu terang. Begitu menyilaukan mata ketika Clarisa menatap keluar jendela kelasnya. Beberapa saat yang lalu bel pulang telah berbunyi. Semua orang berhamburan ke luar kelas dengan teman mereka masing-masing. Untung saja ada Yuka dan Yuki yang menemaninya sampai keluar gerbang. Meski begitu, mereka tidak akan searah dengan jalan pulang Clarisa. Dapat dipastikan sore ini ia akan pulang sendiri sambil berjalan kaki karena sekolah Bunda Pertiwi tak jauh dari rumahnya.
Angin sore menemani langkahnya. Hidungnya langsung menyergap aroma udara sejuk awal musim penghujan. Matahari condong ke barat, dan akan segera tenggelam seperti daun musim gugur yang berjatuhan. Cahayanya seperti senter yang mulai redup. Namun cahayanya masih bisa mengenai jalan yang  Clarisa lewati.  Ia tahu hari ini begitu indah.
Sore menjelang malam. Ia melirik jam tangan digitalnya. Jam lima lewat empat puluh lima menit. Clarisa terus melangkah dan menatap bintang yang mulai muncul satu per satu. Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Entah kenapa sore ini angin sedikit menusuk kulitnya. Mungkin karena siang tadi hujan deras, atau mungkin sebentar lagi akan hujan deras lagi.
Clarisa melewati tempat sampah di sebelah taman yang ia lewati pagi tadi. Kucing itu masih betah berkeliaran di sekitar situ. Ketika melihat Clarisa, ia langsung merapatkan tubuhnya ke kedua kaki wanita berkulit putih itu. Kucing itu begitu lucu. Clarisa menggendongnya dan membawanya ke kursi taman. Ia mengelus-elus bulu berwana putih yang tak halus lagi. Itu karena ia tidak terawat dengan baik. Sungguh kejam pemilik yang menelantarkan hewan seperti ini.
Clarisa mengeluarkan susu kotak dan  ia tuangkan sedikit ke tangannya dan ia membiarkan kucing itu menjilatinya hingga tak tersisa.
Pus pus pus.”
Clarisa mendengar baik-baik suara itu. Asal suara itu tak jauh dari tempatnya berada. Berulang kali suara itu terdengar. Suara itu juga diingiri dengan langkah kaki yang kian terdengar menandakan asal suara itu semakin dekat. Tak lama kemudian kucing itu lompat dari kursi dan berlari ke semak-semak yang terhubung langsung ke jalan besar. Clarisa mengikutinya dengan perlahan, dan ia mendapati manusia dengan tatapan dingin bak angin di musim salju. Dion Mahesa. Ia sedang memberi makan kucing itu. Clarisa sudah menduga lelaki itu sudah berbohong.
 “Tak baik berbohong kepada orang yang baru dikenal.” Ucap Clarisa dengan nada mengejek.
Ia terkejut ketika menyadari keberadaan Clarisa dan segera menegakkan tubuhnya. Ia tampak salah tingkah, lantas membuang muka. “Baiklah. Aku ketahuan.”
Clarisa melangkah kehadapannya. “Kenapa kau tidak membawanya pulang?”
“Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak?” Tanyanya lagi.
Dion kembali menatapnya dengan tatapan dingin. “Kenapa kau banyak bertanya?” Nadanya tajam menghantam telinganya.
Clarisa menunduk. “Maaf. Tapi kenapa… kenapa kau tidak ramah kepada orang lain? Bukankah kita teman sekelas?” Ah, gadis itu mulai frontal.
“Sudah kubilang kenapa kau banyak bertanya? Jika aku tidak ramah lalu apa pedulimu? Apakah kau akan mati karena itu?” Tanyanya tanpa jeda dan segera memborbardir isi dada gadis itu. Tiba-tiba saja hati Clarisa sedikit terluka padahal  ia kurang mengenali lelaki itu. Yang ia tahu hanya sebatas nama dan sikap dinginnya.
“Aku melihat kucing ini beberapa hari lalu. Aku sedikit kasihan, oleh karena itu aku selalu memberinya makan di sini. Tapi kurasa tugasku sudah selesai. Karena ada seorang wanita aneh yang ingin merawatnya.” Ucapnya lalu segera berbalik badan dan berjalan tanpa menoleh lagi.
“Hey!” Teriaknya. Namun Dion tidak menggubris.
“Kau lelaki yang bodoh!” Teriaknya lagi yang menghentikan langkah lelaki itu. Ia pun menoleh dan menatap Clarisa dengan tajam. Lalu ia kembali berjalan dengan angkuhnya. Clarisa benar-benar tidak menyukai sikapnya.




Third
DO YOU HAVE A DREAM?






“Jas Merah. Memiliki arti yaitu ‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Singkatan itu disampaikan Bung Karno dalam pidatonya. Jadi –.” Bu Susi terhenti dan segera menatap tajam salah seorang siswa. Tangan kanan Bu Susi mulai meraba-raba, mencari sesuatu di atas meja tanpa melepas pandangan dari murid itu.
Dan….
“Aduh.” Erang seseorang di belakang.
Spidol berwarna hitam mendarat tepat di dahi murid itu. Tampaknya semua guru ahli melakukan hal itu.
“Di saat yang lain sedang sibuk memperhatikan, kau malah tertidur!” Bentak Bu Susi, sesekali ia menaikkan kacamatanya yang sering meluncur di hidungnya yang pesek. “Sekarang kau keluar!” Seketika ekspresi guru berambut oval itu berubah.
Sang murid menatap gurunya dengan mata sayu. Lalu ia mengeluarkan earphone, berdiri, dan membuka langkah lebar tanpa mengeluarkan kata apapun. Ia hanya memandang jalan tanpa memperhatikan mulut Bu Susi yang sedang komat-kamit. Bu Susi jengkel melihat tingkah masa bodoh dari sang murid. Ia pun meraih penghapus dan mencoba melemparkannya lagi ke murid itu, tapi gagal karena terhalang pintu yang ditutup oleh sang murid dengan tegas. Jika di Jepang, orang akan mengira ia anak Yakuza[1] jika selalu bertingkah seperti itu. Layaknya preman yang tak menghargai orang lain.
●◙●
Clarisa melongok ke kiri dan ke kanan seperti sedang mencari sesuatu. Ia berjalan cepat melewati lapangan sepak bola. Bola yang dimainkan oleh para siswa itu bisa saja mengenainya. Tidak hanya itu, terik matahari juga membuatnya mempercepat langkah.
Setelah sampai di seberang lapangan, ia mencari-cari gazebo ataupun tempat duduk yang kosong. Kotak makan siangnya masih dipegang erat.
Siang ini ia tidak akan makan siang dengan Yuka dan Yuki karena mereka tidak masuk sekolah. Mereka memberi kabar tadi pagi kepada Clarisa kalau mereka sedang sakit. Memang terdengar aneh jika dua orang sakit secara bersamaan. Tapi mungkin itu karena mereka kembar yang konon katanya punya ikatan yang kuat.
“Itu dia.” Gumamnya dengan senyum lebar.
Ia pun berlari kecil dan langsung duduk di salah-satu gazebo yang bercat hitam. TIba-tiba perasaan dongkol melandanya ketika menyadari bukan hanya ia yang duduk di gazebo itu. Terdapat pula seorang laki-laki yang sedang asik mendengarkan earphone. Lelaki itu menatap Clarisa dengan tatapan tajam. Ialah Dion Mahesa.
“Apa kau sengaja duduk di situ?” Tanya Dion dengan nada yang datar.
            Clarisa tersenyum kaku dan menggeleng pelan. “Ya. Tapi aku tidak tahu kalau kau juga duduk di sini.” Jawabnya.
            Clarisa memang tak melihat keberadaan lelaki itu. Mungkin karena hawa keberadaan Dion sangatlah tipis. Itu disebabkan sikap pasifnya di dalam kelas sampai tak ada yang memperhatikannya.
            Dion mencondongkan tubuh ke depan. “Baiklah, sekarang apa? Kau ingin mengacaukan siangku?” Tanya Dion dengan nada yang tajam.
            “Tidak, tidak. Kau terlalu berprasangka buruk. Aku hanya ingin makan siang.” Jawab Clarisa.
            Dion memberenggut, lalu ia membuang pandangan ke arah tasnya. Ia mengeluarkan plastik yang berisikan biskuit coklat dan ia meletakkannya di atas meja.
            Clarisa menatap heran, alisnya terangkat. “Apa kau hanya akan makan siang dengan itu?”
            Mata lelaki itu mengerling ke arah gadis disampingnya. “Ya. Setiap hari. Ini sudah lebih dari cukup.”
            “Kenapa harus makanan ringan seperti ini?”
            Dion mengambil sepotong biskuit dan memasukannya ke dalam mulut. Tapi sebelum ia mengunyah, ada sepatah kalimat yang ia ucapkan. “Tak ada yang menyiapkan makan siangku.”
            Clarisa benar-benar penasaran. Seperti ada sesuatu yang mengetuk kepalanya untuk mengenal lebih jauh lelaki itu.
Clarisa mengernyitkan dahi. “Lalu pembantu, atau ibumu?” Tanya Clarisa lagi. Ia sangat penasaran dengan lelaki penyendiri itu.
            Dion tiba-tiba berhenti mengunyah dan berkata, “Ibuku sudah meninggal.” Jawabnya. Ia menelan sisa biskuit di mulutnya. “Aku juga tidak mau menyuruh pembantu untuk menyiapkan makan siangku.”
            Tiba-tiba Clarisa tersenyum kaku. “Oh, maaf. Tampaknya aku salah bertanya. ” Lalu ia membuka kotak makan siangnnya. “Aku membawa dua potong sandwich. Untukku satu, satunya lagi untukmu.”
            Dion menatap kotak akan yang disodorkan Clarisa, lantas membuang pandangan ke depan. “Tidak.” Jawabnya datar.
            Kening Clarisa terangkat. “Kenapa?” Clarisa mengubah posisi duduknya. “Ayo. Kau jangan malu-malu.”
            “Tidak!” Tegasnya sekali lagi.
             Clarisa masih tetap memaksa. Rasanya ia akan langsung menyuapi lelaki dingin  itu. Oleh karena tingkahnya yang keras kepala, tiba-tiba Clarisa menyenggol pembungkus biskuit yang ada di atas meja. Seketika biskuit-biskuit itu berhamburan dilantai. Lagi-lagi Clarisa menjadi bencana bagi Dion.
            Mereka terdiam dan mata kedua orang itu menatap makanan yang telah jatuh ke lantai. Parahnya, semut-semut langsung mengerumuninya seperti tahu biskuit-biskuit itu akan jatuh. Lalu kedua orang itu saling bertukar pandangan.
            “Maaf.” Clarisa tersenyum kecut. Ia semakin merapatkan kotak makan itu ke dada Dion.
            Dengan perasaan dongkol serta kesal, Dion menatap sandwich itu , lalu ia menarik napas berat dan mengambil sepotong sandwich. Ia segera menggigitnya tanpa berpikir panjang lagi.
            Melihat ekspresi Dion, Clarisa berusaha menahan tawa.
            “Kenapa kau tadi tertidur di kelas?” Tanya Clarisa seraya mengeluarkan potongan tomat dari sandwich. Ia memakannya lebih dulu.
            Dion masih kesal, ia mendongakan kepalanya. “Aku begadang semalaman.” Jawabnya. Kali ini dengan nada yang lebih ringan.
            “Kenapa kau begadang?” Clarisa melempar pertanyaan lagi yang membuat telinga Dion semakin panas. Dion merasa gadis itu benar-benar mengacaukan waktu istirahatnya.
            “Aku semalam menulis la –.” Kata Dion terhenti. “Ah! Kenapa aku harus menceritakan kepadamu?” Dion mendesah keras. Ia tidak habis pikir kenapa perempuan selalu banyak bicara.
            Clarisa terkekeh. “Kau tahu, Bu Susi adalah guru yang memang dari dulu bercita-cita menjadi guru. Dan ketika bertemu kau, kurasa cita-citanya menjadi rusak.” Kata Clarisa dengan nada mengejek.
            Dion hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatahkatapun. Ia melipat kedua tangan dan menaruhnya di belakang kepala. Sandwich yang ia makan telah habis dengan cepat.
            “Apa kau punya mimpi?” Tanya Clarisa tiba-tiba.
            “Mimpi? Cita-cita maksudmu?”
            Clarisa mengangguk. Ia berusaha meringankan suasana.
            Baiklah, gadis ini mulai menginterogasi Dion. Dan anehnya, Dion terus saja meladeni pertanyaan itu meski dengan perasaan kesal. Entah mengapa Dion menikmati perbincangan dengan gadis itu. Mungkin gadis itu selalu melempar senyum kepadanya.
            Dion berdengung. “Aku tak terlalu berharap banyak pada diriku. Mungkin aku hanya ingin sekedar hidup saja.” Dion mengatakannya dengan ringan.
            Apa? Jawaban macam apa itu?
            “Dengan sikapmu di kelas tadi, kau akan sulit mengejar mimpimu.” Kata Clarisa.
            Dion menatap dalam-dalam gadis itu, keningnya berkerut samar. “Jangan bicara seolah-olah kau tahu tentang diriku. Kau terlalu cepat menilai seseorang.”
            Clarisa mendesah pelan, lalu menatap Dion. “Kalau begitu apa mimpimu?”
            Dion tidak menjawab. Ia hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong. Tatapan itu mengatakan bahwa saat ini ia benar-benar ragu dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Ada pepatah tua yang berbunyi ‘Bermimpilah setinggi langit’. Semua orang meyakini itu, tapi percayalah, Dion tak pernah memikirkan soal itu.
            Clarisa berdeham. “Manusia itu ibarat pohon, dan mimpi ibarat akar. Dan kau tahu, pohon tanpa akar tidak akan bertumbuh lagi. Manusia tanpa mimpi tak akan pernah terlihat besar di dunia ini.” Ucap Clarisa tanpa memandang Dion.
            Dion hanya terdiam dan mengabaikan gadis itu. Ia hanya memasang kembali earphone ke telinganya. Namun dalam hatinya tergumam. Manusia harus benar-benar punya mimpi agar terlihat hidup. Tapi apakah makna dari hidup? Dia memulai pertanyaan baru.
















Fourth
THE BLACK GUITAR






Dalam hatinya ia bertanya-tanya. Kenapa waktu ini terus berputar? Setiap detik yang berjalan seperti mengambil kehidupanya yang membosankan. Orang-orang selalu berpikir bahwa hidup ini sangat menyenangkan dan diberikan kehidupan adalah karunia. Tapi semua itu berbanding terbalik dengan jalan pikiran Dion. Bukannya ia tidak pandai mensyukuri kehidupannya yang sekarang, tapi baginya segala kemewahan ini hanyalah hiasan belaka. Ia tidak merasakan bahagia sedikit pun dari kemewahan ini. Mobil, rumah besar, kamar yang luas, perabotan yang mahal, fasilitas yang lengkap, semuanya hanya sekedar penghalang deritanya saja. Namun itu semua tidak pernah mampu mengatasi segala derita yang ia dapati sejak dulu. Semuanya membuat Dion berubah total dan menutup mata tentang arti kehidupan. Ia hanya berpikir bagaimana waktu bisa ia putar kembali dan menikmati keindahan bersama orang-orang yang ia sayangi, yaitu keluarga besarnya yang lengkap. Tapi sayangnya semua itu mustahil apabila Dion mengharapkan kebersamaan itu kembali. Ego kedua orang tuanya untuk memutuskan berpisah dan memikirkan diri masing-masing telah menghapus senyum dan tawanya. Dion kini tidak bisa memaknai dunia di mana ia tinggal. Yang ia tahu hanya makan, minum, tidur, dan melakukan aktivitas normal manusia introver tanpa mau mengenal apa itu kebersamaan.
Ia hanya selalu diceramahi oleh musik. Mereka seperti berbisik dan membuat Dion tenggelam di dalamnya. Ketika bersama musik, ia merasa bahwa tak perlu bersusah-payah untuk memikirkan hidup yang sebenarnya. Seluruh curhatan isi hatinya selalu di tuangkan pada selembar kertas dengan barisan not yang tertulis rapi. Ia bersyukur bisa bernyanyi dan melepaskan rasa sakit dalam hatinya. Orang mungkin akan melihat Dion dengan cara pandang yang berbeda, yang diskrimatif, namun Dion tak mempedulikannya. Ia merasa bahwa dengan menyanyi ia bisa menampar orang-orang yang menghujatnya.
Di kamar luas itulah ia bernyanyi dengan setulus hati untuk mengusir iblis yang mengencingi otaknya.
Di tengah nyanyian Dion, seseorang membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
“Kau di sini rupanya.” Ucap seseorang yang telah berada di ruangan yang sama dengannya. Dialah ayahnya Dion. Nicho Mahesa. Ia memegang segelas minuman dan menyodorkan kepada Dion. “Bagaimana sekolahmu?”
“Baik.” Dion menundukkan kepala. Bukannya ia takut menatap wajah ayahnya, tapi ia memang tidak ingin melihatnya. Menurutnya, jika bukan karena keegoisan ayahnya yang mengusir ibunya dari rumah, mungkin keluarga ini akan lengkap.
Ayahnya mengangguk. “Begitu ya. Lalu sampai kapan kau akan menutup diri seperti ini?” Tanyanya dengan senyum masam.
Dion menatap matanya dalam-dalam. Ia dapat lihat bayangan wajahnya di bola mata ayahnya. “Aku tidak menutup diri. Hanya saja inilah diriku yang sekarang.” Tegas Dion.
Pria berambut putih itu tertawa kecil. Tawanya seperti mengejek. “Dengan umurmu yang sekarang, sungguh tidak patut untuk berdiam diri dan benci bersosialisasi. Sudah waktunya kau berkenalan dengan dunia di luar sana, dunia yang baru.”
Dion mengernyitkan dahi lalu mendengus pelan. “Apa bagusnya dunia ini? Hanya dipenuhi manusia-manusia yang egois dan memiliki naluri serakah yang besar. Aku tak butuh dengan dunia seperti itu.”
Ayahnya kembali tertawa. Ia menganggap omongan anaknya lucu. Terdengar sangat kekanak-kanakan“Maafkan ayah, nak. Ayah memang gagal menjadi ayah yang baik untukmu. Maka dari itu, ayah ingin memperbaiki segalanya ketika ayah menyadari sesuatu…”
            “Sesuatu apa?”
            Ia menaikkan kacamatanya. “Waktu tak dapat diputar. Oleh karena itu ayah ingin menghabiskan sisa hidup ayah untuk membahagiakanmu dan menjadikanmu orang yang sukses agar bisa berguna di masa depan.”
            Dion tertawa sakartis dan mengutuk kalimat tersebut. “Bagaimana bisa ayah dengan ringannya mengatakan hal tersebut setelah ayah merenggut segalanya dari kehidupanku? Ibu dan senyumanku, semuanya pergi begitu saja. Semuanya tinggal kenangan manis yang selalu menghukum hidupku. Seperti waktu ini sudah tidak berarti lagi, seperti aku sudah tidak ada gunanya ada dunia ini.” Tandasnya. Tak sadar matanya mulai berembun. Lagi-lagi kisah pilu itu teringat lagi dan menghujani kehidupannya yang kacau.
            “Dion! Sampai kapan kau mau mengutuk kehidupanmu yang sekarang? Ayah rela melakukan apa saja agar keluarga kecil ini dapat bahagia.”
            Lagi-lagi tawa sakartis singgah di bibir Dion. Lalu ia menatapnya dalam-dalam dan menyaksikan airmata buaya yang berusaha ayahnya buat. Meski Nicho adalah ayahya, ia tak pernah memperdulikan apa yang ia ucapkan. Dion menganggap dirinya sebagai anak yang durhaka. Tapi menurutnya, bukankah dunia ini tidak adil? Jika ada anak durhaka mengapa tidak ada orangtua durhaka? Itulah yang singgah di benaknya. Dion Sungguh  membenci kehidupannya.
            “Ayolah, Dion. Maafkan ayah.” Ucapnya dengan nada yang lembut. Entah sudah berapa kali ucapan maaf yang telah keluar dari mulut Nicho Mahesa sejak perpisahan dengan istrinya.
            Mendengar suara ayahnya, Dion semakin muak. Baginya, ayahnya tengah berakting. Tingkah ayahnya sudah seperti pemeran antagonis di drama-drama Shakespeare yang dengan mudahnya membodohi seseorang. Tapi Dion tidak mau termakan rayuannya sekalipun ia adalah ayahnya.
            “Bagaimana dengan keluarga barumu? Apakah mereka bisa mengurusmu dengan baik?” Tanya Dion tiba-tiba. Kali ini dengan nada mengejek. Ia seperti tak sudi menatap wajah Niho Mahesa.
            Setelah perceraian dengan ibunya, ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Wanita yang ia nikahi adalah warga negara asing yang sudah lama tinggal di Indonesia. Meski Dion tak tinggal serumah dengan mereka, ia sudah banyak mendengar cerita dari ayahnya meski ia tak mau mendengarnya.
            Nicho tersenyum masam. “Ya. Setidaknya ada yang menyiapkan sarapanku setiap pagi.”
            Dion tertawa sakartis. Lalu mendengus kesal. “Oh. Jadi begitu? Lalu bagaimana dengan diriku? Ayah seenaknya saja memindahkanku ke sekolah itu agar bisa satu sekolah dengan anak tirimu itu. Hidupku semakin terbakar ketika mengetahuinya.”
            “Bukan itu alasannya. Bukankah kamu tahu alasannya? Ayah memindahkanmu karena urusan jarak pekerjaan ayah. Lagi pula sekolah di dekat sini hanya itu saja.”
            Ia memutar bola mata kesal lalu segera bangkit dari kursi dan pergi begitu saja sembari menggendong gitar hitam. Nicho Mahesa berusaha meraih tangan Dion, lantas dengan sekuat tenaga Dion berusaha melepaskannya. Dion berlari kecil menuruni tangga ketika menyadari ayahnya sedang mengejarnya.
●◙●
Suasana rumah sudah seperti neraka baginya. Beberapa saat setelah pertengkaran dengan ayahnya, Dion berjalan tanpa tujuan untuk menemukan tempat yang sunyi dan tanpa ada seorangpun. Ia ingin menuangkan segala kekesalannya di melodi yang  ia mainkan.
Hingga akhirnya langkah kaki membawanya di sebuah taman yang biasa ia lewati disetiap pagi. Dion duduk tepat di tengah taman beratapkan langit dan ia mulai memainkan nada-nada pengusir duka. Ia sangat menyukai sebuah lagu dari band terkenal Muse yang berjudul Unintended. Lagu itulah yang  Dion mainkan saat ini.
You could be my unintended choice
to live my life extended
You could be the one
I’ll always love

I’ll be there as soon as I can
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before

First there was the one who challenged
All my dreams and all my balance
She could never be as good as you

I’ll be there as soon as I can
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before


            Sembari menyanyikannya, angin malam yang berhembus dengan lembut dan penuh kenikmatan mengelus-elus wajahnya. Dion membenamkan diri ke dalam suasana nyaman itu dan membuatnya tenggelam dalam kedamaian.  Ia mencoba memejamkan mata. Suara rerumputan yang saling bergesekan samar-samar terdengar. Aroma pohon flamboyan membuat dirinya tenang.  Bau parfum yang begitu wangi juga ikut menyapa indra penciumannya. Parfum? Dion segera membuka mata dan memperhatikan di sekitar. Seingatnya ia tidak memakai parfum sebelum ke taman ini.
Apa jangan-jangan ada yang memperhatikanku? Atau bau orang yang hanya sekedar lewat? Gumamnya. Dion coba menerka-nerka dalam hati.
Hingga akhirnya suara langkah kaki terdengar bergerak ke arahnya. Semakin lama, suara langkah itu semakin terdengar. Cara berjalan orang ini tampaknya begitu menggesek-gesekan alas kakinya.
“Oh, rupanya kau yang bernyanyi tadi?” Seseorang menyapanya dari belakang.
Lagi-lagi wanita aneh itu muncul dihadapan Dion. Padahal ia sedang berusaha mengusir duka. “Pergilah. Aku tidak ingin diganggu.” Ucapnya ketus.
Ia tersenyum lebar. Dion terkejut melihat ia memiliki gigi gingsul yang begitu manis. “Kenapa kau berada di sini malam-malam begini?” Tanyanya.
Dion mengernyitkan dahi. “Kau juga kenapa ada di sini malam-malam? Tidak baik bagi perempuan untuk berjalan sendirian malam-malam begini.”
            Ia tertawa kecil. “Rupanya kau mulai perhatian, ya?”
 Sial. Dion merasa terjebak dengan perbincangan aneh itu. “Tidak. Tidak begitu. Aku hanya ingin kau tak mengangguku.” Dion membuang muka. “Bisa kau untuk saat ini kau tidak menggangguku? Nona…” Dion terhenti.
Gadis itu menatapnya dengan senyum simpul di bibirnya. “Clarisa Artayasa. Itu namaku. Padahal kita pernah berbincang di sekolah. Tapi kau selalu lupa dengan namaku.”
Dion tak mau mengingat nama itu.
Ia terkikik melihat ekspresi Dion lalu segera membuang pandangan ke sekitar. “Apa menurutmu aku penganggu? Aku ke sini hanya ingin bertemu dengan kucing itu.” Matanya masih liar mencari kucing itu.
Dion pun bangkit dari kursi. “Baiklah. Aku yang akan pergi.” Ia berlalu meninggalkannya namun baru beberapa langkah yang ia ambil, terdengar suara sesuatu yang jatuh. Dion segera menoleh dan mendapati wanita itu telah tersungkur tak jauh dari tempat ia berdiri sebelumnya.
“Hey. Jadi kau berharap aku akan ke sana dan membantu berdiri? Ayolah, ini bukan di film-film, Kau tidak cukup pandai berakting.” Ucapnya tanpa ekspresi.
            Ia tidak menjawab. Ia terus saja memegang lututnya dan ekspresi kesakitan tampak dari raut wajahnya. Tapi maaf saja, Dion tidak akan tertipu.
            Dion pun berjalan dengan langkah malas ke arahnya. Bukannya ingin peduli, ia hanya memastikan akting apa yang dia tunjukan.
            “Bisakah kau menangkapnya. Aku mencoba mengejarnya tapi–.” Ucapnya sembari terus memegang lutut dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menunjuk ke depan. Lantas ia coba bangkit dan Dion bisa melihat lututnya berdarah. Ia sedikit terkejut dan hanya bisa menunduk memandangi lututnya yang berdarah itu.
            “Hey! Apa kau tidak mendengar ucapanku.” Clarisa mengejutkan lamunannya.
            “Aku kira kau hanya wanita aneh, ternyata kau juga ceroboh. Mengejar kucing hingga tersungkur itu adalah hal yang memalukan.” Tandasnya ketus. Entah raut wajah seperti apa yang Dion tunjukan.
            Ia mengernyitkan dahi hingga kedua alisnya hampir bersentuhan. “Berhenti memanggilku wanita aneh. Aku punya nama dan namaku sangat bagus, Clarisa, ingat itu Manusia Es! Lututku hanya sedikit ngilu hingga aku jatuh.”
            Dion tersenyum simpul melihat bola mata Clarisa yang berbinar ketika sedang marah.  “Terserahlah.” Jawabnya singkat.
Dion pun berdiri di depannya dan segera menundukkan badan lalu memberikan punggungnya. Clarisa hanya terperangah melihat tingkah si Manusia Es. Bukannya Dion mencoba perhatian, hanya saja melihat raut wajah kesakitan itu mengingatkan Dion pada ibunya yang disakiti ayahnya. Ia tidak mau duka lama terus membayanginya, maka setiap ada kesempatan meski hanya sekedar mengingatkan luka lamanya ia berusaha untuk menjadi orang yang baik. Meski ia sangat tahu bahwa luka lama itu sulit untuk terhapus.
            “Ap- apa yang akan kau lakukan?” Tanyanya.
            “Naiklah. Aku akan mengantarkanmu pulang.”
            Clarisa menunjuk semak-semak yang ada di depan. “Tapi kucing itu belum makan malam.”
          Dion tertawa kecil. “Kau memang aneh. Aku yang akan memberikan makan setelah kau sampai di rumah.”
            “Tapi aku bisa jalan sendiri.” Ucapnya. Segera ia balikan badan dan melirik ke arahnya. Ia berusaha melangkah dengan langkah pincangnya. Namun tetap saja menyeret kaki yang terluka hingga sampai rumah itu adalah hal yang bodoh. Tapi begitulah perempuan, walaupun luka yang kecil, sudah kesulitan untuk mengatasinya sendiri. Mungkin itulah mengapa muncul filosofi tentang perempuan adalah bagian dari tulang rusuk laki-laki. Itu mungkin karena perempuan tak bisa apa-apa tanpa laki-laki.
            “Naiklah!” Tegasnya.
            “Ta-tapi… Baiklah jika kau memaksa. Rumahku dua blok dari sini.” Clarisa tersenyum kecil. Senyumnya kali ini lebih manis daripada yang biasa  Dion lihat.
            Ini adalah kali pertama bagi Dion menggendong seorang perempuan di punggungnya. Untunglah jalanan yang mereka tempuh tidak begitu ramai. Jika ramai, mungkin Dion sudah mati karena malu.
Dion terus menjaga gadis itu agar tetap di punggungnya dan tidak terjatuh. Rambut sebahu Clarisa bergerak-gerak di tiap gerakannya ketika angin malam menerpa mereka berdua. Clarisa lalu menengadah, memandang langit diatas sana yang dipenuhi oleh milyaran bintang.  Sesekali ia mengulurkan tangannya ke atas. Dalam hati Dion ia sudah menduga ia wanita yang aneh.
            “Kau tahu berapa jumlah bintang di dunia ini?” Tanyanya dengan suara yang lembut.
            Dion tertawa sakartis. “Orang bodoh mana yang peduli dengan jumlah bintang di langit?”
Clarisa menyunggingkan senyum simpul. “Kalau begitu betapa bodohnya langit yang mau menampung bintang-bintang itu.” Ucapnya sembari menatap langit.
Sudah ia duga, ia akan terjebak lagi dalam pembicaraan absurd. Dion hanya berusaha menebalkan telinga dari omongan tidak jelas itu.
Clarisa berdendang kecil sembari terus mengamati bintang dan orang yang lalu-lalang. Rambut panjang yang wangi jatuh di pundak Dion, lantas ia menepuk bahunya sekeras mungkin. Namun Dion tidak memperdulikannya. Ia merapatkan bibirnya di telinga Dion, bisa ia rasakan napas yang Clarisa hembuskan.
“Apa kau tahu betapa hebatnya langit?” Bisiknya pelan.
Dion berusaha untuk tidak memperdulikan pertanyaannya. Namun Clarisa seperti memiliki magnet yang menariknya dalam pembicaraannya. Ia berdengung. “Hm. Entahlah. Aku tidak pernah memikirkan itu.” Seketika listrik di otaknya seperti bekerja dan seketika pula puluhan intuisi berkelebat dalam pikirannya.
Clarisa tersenyum kecil dan menengadah memandang langit. “Langit adalah tempat pertemuan yang bisa menyatukan orang yang berjauhan. Karena semua orang menatap langit yang sama. Seketika mereka bisa saling terhubung dan sadar bahwa mereka ada di dunia yang sama. Maka dari itu langit bisa mengamati siapa saja dari atas sana. Bukankah itu hebat?”
Ah! Entah kenapa tiba-tiba otaknya berpikir keras tentang apa yang Clarisa ucapkan. “Langit adalah tempat pertemuan yang bisa menyatukan orang yang berjauhan. Karena semua orang menatap langit yang sama. Seketika mereka bisa saling terhubung dan sadar bahwa mereka ada di dunia yang sama. Maka dari itu langit bisa mengamati siapa saja dari atas sana.” Dion mencoba mencernanya lagi dalam otaknya. Langit? Saling terhubung? Entahlah, otaknya tak cukup hebat untuk menelaah filosofi yang dibuat gadis itu. Ia hanya mengangguk tanda bahwa ia mengerti.
“Itu rumahku!” Serunya sembari berusaha turun dari pundak lelaki itu. Maka segeralah ia raih tangan Clarisa dan ia naikkan ke bahunya. Ia lihat di depan rumahnya ada mata yang sama dengan Clarisa. Ia menyunggingkan senyum kecil ketika Dion sudah berada di depan rumahnya. Ia adalah orang yang telah melahirkan Clarisa. Terlihat pula ada seorang anak perempuan yang menemaninya berdiri menanti kepulangan Clarisa.
“Ada apa dengan kakimu, Clarisa?” Tanyanya. Pandangannya tak lepas dari lelaki dengan wajah datar  dan terus saja mengamatinya dari kaki hingga hingga ujung rambut.
“Aku tadi jatuh di taman. Tapi tidak apa-apa, kok. Hanya luka kecil saja.” Jawab Clarisa.
Ibu Clarisa berdeham. “Bolehkah kau memperkenalkan sahabatmu ini?”
Clarisa meraih bahu Dion dan merekahkan senyum lebar. “Dia Dion Mahesa. Teman sekelasku. Dia yang mengantarkanku pulang.” Clarisa menatapnya dengan penuh semangat. “Dion, ini ibuku. Anna.”
“Maafkan Clarisa. Ia anak yang kurang hati-hati.”
Dion hanya mengangguk dengan senyum kecut di bibirnya. Sedangkan Clarisa memanyunkan bibir.
Anna terkekeh lalu segera menyuruhnya masuk untuk makan malam. Ketika melihat Anna menghilang dari balik pintu, Dion mulai mundur dengan perlahan dan berniat untuk pulang saat itu juga. Namun tentu saja hal itu tidak dibiarkan oleh Clarisa.
“Tidak, Clarisa, aku harus–.”
“Apa kau mau mati kelaparan sebelum sampai di rumahmu? Masuklah, anggap saja ini ucapan terima kasih karena sudah mengantarkanku pulang.” Clarisa melempar senyum kecil itu lagi. Senyum yang dihiasi gigi gingsul itu sungguh lucu.
“Apa-apaan kau ini? Kau, kan baru mengenalku.” Bisiknnya pelan.
Clarisa tidak menghiraukan ekspresinya dan terus menarik tangannya. Namun Dion masih mematung tak bergerak dari tempat ia berdiri.
“Ayolah. Ajakan makan malam itu tidak boleh ditolak. Sudah kubilang kau akan mati kelaparan sebelum sampai di rumah.” Ia mengulang kalimat tadi namun kali ini sedikit ia pertegas.
Benar juga. Jika Dion menolak ajakannya, ia akan kelaparan sebelum sampai rumah. Lagi pula ia belum makan karena pertengkaran di rumah tadi. Baiklah, kali ini Dion mengalah.
Ruangan makan keluarga ini begitu nyaman. Ditambah lagi disejukkan dengan pendingin ruangan, meja yang luas dan suasana keluarga yang begitu damai. Ini suasana yang tak pernah ia dapati sejak keretakan hubungan dalam keluarganya. Meja makan itu terdiri dari lima kursi, namun karena kehadiran Dion malam ini, Erwin menambahkan satu kursi lagi di meja makan tepat di samping kepala keluarga itu. Keluarga yang ramah itu terdiri dari Erwin,  Anna, Clarisa, adik perempuan Clarisa yang bernama Angeli, dan adik laki-laki yang paling bungsu bernama Stanly. Ketika seluruh anggota keluarga terkumpul, suasana hangat pun muncul.
“Baiklah. Malam ini kita kehadiran tamu. Namanya Dion. Malam ini ayah juga ingin memberi selamat kepada Angeli karena ia mendapat rangking tiga pada lomba renang. Ia hebat karena bisa naik podium.” Ucap Erwin.
“Ah. Ayah berlebihan.” Angeli memanyunkan bibir. Ayahnya pun tergelak.
Suara mungil dari Stanly juga tak ketinggalan menghangatkan suasana. “Aku juga akan sama seperti kakak.” Ia menunjuk sebuah foto yang digantung di sudut ruangan, foto Angeli sedang menerima medali.
Nyonya Anna tertawa kecil. “Kau masih lima tahun. Giatlah berlatih bersama kakakmu..”
“Sudah pasti.” Ucapnya dengan senyum lebar.
Keluarga ini tertawa dengan ceria. Seperti tak ada beban yang hinggap di keluarga ini, dan entah kenapa, Dion bisa tersenyum dengan lepas ketika menerima kehangatan dari keluarga kecil ini. Ini adalah keluarga yang sejak dulu ia rindukan.
“Apakah kau sudah lama mengenal Clarisa?” Tanya Erwin di tengah makan malam sedang berlangsung.
Dion menelan makanan yang sedang penuh di mulutnya agar bisa menjawab pertanyaan itu. “Tidak juga. Aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu.”
“Bukannya kalian satu sekolah?  Masa baru saling kenal?” Tanya Erwin lagi.
Dion tersenyum kecut. “Iya, tapi aku adalah murid pindahan yang baru pindah tahun ini.”
Erwin menatap ia dalam-dalam namun Dion tidak mau membalas tatapannya. “Kurasa kau anak yang baik. Kalau begitu aku minta tolong agar kau menjaga Clarisa di sekolah, ya?”
Apa? Menjaga wanita aneh ini? Pikir Dion. Masih terlalu cepat seratus tahun baginya untuk terlibat lebih dalam lagi dengan Clarisa.  Dion hanya mengangguk pelan dengan senyum kecut terlukis di wajahnya.
“Ayah. Memangnya aku anak kecil yang harus dijaga.” Clarisa mendengus kesal.
Seketika keluarga itu tertawa melihat ekspresi Clarisa. Sudah ia duga ia benar-benar menginginkan keluarga yang seperti ini.





Fifth
THE PRINCE






Hari baru telah ditabuhkan. Hari ini ternyata lebih cerah setelah ia lihat sinar itu dari koridor yang menghubungkan ruangan kelas dengan aula ekstrakulikuler. Cahaya pagi seperti mengetuk semangatnya agar tetap membara. Suara-suara burung terdengar selaras–bertengger di dahan pohon di samping jendela koridor. Clarisa menatap sekitar dan mengamati semua orang yang sedang sibuk dengan urusan ekstrakulikuler. Beberapa murid kelas satu juga telah diberikan pengenalan di tiap ruangan. Ia yang telah lengkap dengan seragam tim voli segera bergegas ketika melirik jam sudah menunjukan pukul sembilan lewat lima belas menit. Lima belas menit lagi seluruh kegiatan ekstrakulikuler akan segera dimulai. Oh, ya, meskipun Clarisa telah duduk di kelas tiga, tapi pihak sekolah masih mengijinkannya mengikuti seluruh kegiatan ekskul, setidaknya sampai penghujung semester satu.
Aula yang biasanya dipakai untuk olahraga kini telah dipenuhi dengan murid-murid. Tampaknya murid kelas satu banyak yang memilih untuk mengikuti ekskul olahraga.
Meskipun tim voli tidak lebih banyak dari tim basket dan sepak bola, namun mereka lebih unggul kalau soal kekompakan. Buktinya dengan sekali komando, tim voli telah berbaris dengan rapi. Mungkin karena jumlah yang sedikit, mereka lebih mudah untuk diatur.
“Baiklah, ini adalah latihan perdana kita di tahun ajaran baru. Maka dari itu semangat baru juga harus kalian tunjukkan.” Suara yang begitu lantang dari kapten tim voli putri. Mereka biasa menyapanya dengan sebutan kapten Ellie. Gadis dengan rambut coklat yang di ikat membuatnya terlihat sangat cantik.
Dia adalah kapten yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Ia mampu mengangkat moral dan semangat tim voli putri dalam sekejap. Oleh karena itulah ia diberi julukan ratu tim voli di sekolah Bunda Pertiwi. Sejauh ini belum ada yang bisa mengganti posisinya sejak ia terpilih menjadi kapten
Jika ada ratu tentu saja ada rajanya. Dia adalah lelaki yang sangat luar biasa. Ia berperawakan tampan, berpostur tinggi dan tegak, berkulit putih, mata biru gradasi hitam, serta selalu memukau banyak orang di lapangan. Oleh karena itulah ia menjadi dambaan murid-murid perempuan di sekolah ini. Begitupun Clarisa, tapi tetap saja, ia hanya merasa  perempuan biasa yang tidak mampu bersaing dengan siswi cantik lainnya. Ditambah lagi, momen di mana Clarisa berbica dengannya hanya sebatas tentang tim voli, tidak lebih meski ia mau berbicara banyak dengannya. Namun begitulah situasi yang terjadi saat ini. Clarisa hanya bisa diam seribu bahasa kepada raja tim voli itu, ialah Justin.
“Clarisa.” Suara itu menyapanya ketika ia melangkah ke ruang ganti bersama Yuka dan Yuki.
Clarisa pun menoleh mencari suara yang menyapanya tadi.
Ia sangat kaget melihat orang itu berlari kecil ke arahnya seraya memeluk bola voli.
“Ya?” Sahutnya ketika Justin telah berdiri di hadapannya. Clarisa terus menunduk dan tidak berani menatap matanya. Kali ia benar-benar membatu.
Meskipun mereka sama-sama kelas tiga, tapi Clarisa sangat menghormatinya. Bukan karena ia kapten tim voli, melainkan karena kharismanya yang membuat gadis itu susah untuk berkata-kata.
“Sore ini apakah kau punya waktu?” Ucapnya dengan senyum manisnya.
Clarisa terdiam beberapa saat untuk mengecek daftar kegiatannya di hari ini yang ia simpan dalam otaknya. Lantas ia menyunggingkan senyum simpul. “Aku sedang tidak sibuk sore ini.”
Justin menarik napas berat, tak henti-hentinya ia tersenyum. “Maukah kau menemaniku sore ini untuk memperbaiki mobilku?” Ajaknya. “Mobilku ada masalah di bagian mesin yang harus segera diperbaiki. Ya, setelah itu kita jalan-jalan.”
Saat ini Clarisa merasa seperti mendapati mimpi indahnya terwujud.
Gadis itu mengangguk pelan. “Baiklah.”
Justin tersenyum lebar. “Ok. Aku akan menunggumu di gerbang sekolah setelah bel pulang berbunyi.” Ucapnya, lalu berjalan kembali ke aula.
Ini merupakan hari yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Menerima ajakan dari seorang idola bak disirami air surga. Ajakan dari orang yang begitu spesial, bukan seorang cover boy, bukan pula seorang artis, ia adalah kapten tim voli yang ia kagumi sejak pertama kali masuk tim voli putri.
Tiba-tiba seseorang memegang bahu Clarisa. “Apa? Sebuah date?” Tanya Yuka terkejut.
Yuki menarik kedua tangan gadis bergigi gingsul itu. “Kamu beruntung sekali, Cla. Ok, saatnya berjuang. Fighting!” Kedua saudara kembar itu menyemangatinya.
Clarisa mengangguk dengan senyum terus merekah.
●◙●
Baiklah, ini adalah kesempatan emas buatnya. Mungkin setelah ini ia akan mendapat banyak kesempatan untuk lebih jauh mengenal Justin.
            Kegembiraannya terus tergambar dari raut wajahnya. Ia melangkah kegirangan melewati koridor ekskul. Sepertinya ia dehidrasi karena terlalu meluapkan kegembiraannya. Ia memutuskan mengenyahkan dehidrasinya di kantin sekolah. Namun belum sampai di kantin, langkahnya terhenti karena mendengar alunan gitar akustik dari ruangan ekskul musik. Alunan melodi itu sangat menenangkan hati, bak alunan akustik yang dimainkan duo Depapepe. Ia penasaran siapa yang memainkan melodi seindah itu. Clarisa pun mengintip dari balik pintu.
            Tiba-tiba suara gitar itu berhenti.
            “Hey! Tak bagus menguping seperti itu.” Orang itu mengetahui keberadaannya. Baiklah, kali ini ia akan meminta maaf.
            “Maaf. Aku tidak se–” Clarisa terhenti ketika mengetahui orang itu adalah Dion.
            “Kenapa kau selalu mengikutiku? Dasar wanita aneh.” Ucapnya kesal.
Ia melihat lelaki itu sedang menyetel beberapa alat musik termasuk gitar yang ia mainkan tadi.
            Clarisa tergelak melihat ekspresinya. Lalu ia berjalan ke arah Dion seraya terus mengamati seluruh benda yang ada di ruangan itu.
            “Kenapa ruangan ini sangat sepi? Bukankah ini masih jadwal ekskul?” Tanya Clarisa.
            Dion tertawa sakartis, lantas menuju ke sebuah lemari dan mengambil beberapa kain. “Apakah kau suka musik?” Tanyanya. Sesegera mungkin ia menghilangkan senyum dari bibirnya.
            “Tidak terlalu. Aku tidak terlalu sering mendengar musik. Apalagi memainkannya.”
            Dion menoleh lalu menatap Clarisa dengan tatapan dingin. Tatapan yang selalu berbicara banyak tentang hidupnya. “Ya, begitulah situasi saat ini.”
            “Maksudmu?”
            Dion membalikan badan. “Entah mengapa sejak aku masuk ke dalam ruangan ini, tidak ada siapa-siapa. Lihat saja, semua alat musik di ruangan ini begitu usang tak terawat. Aku ragu kalau ada murid yang menggunakan semua benda ini.”
            “Jadi kau akan mengikuti ekskul musik?” Tanyanya cepat.
            Ia mengangguk pelan. “Kurasa begitu.” Lalu ia mengacungkan jari seraya berkata, “tolong buka jendela itu.”
            Clarisa menurut dan membukanya . Dengan cepat sekelebat cahaya masuk dan menyinari seisi ruangan.
            Ia mengamati dengan seksama cahaya-cahaya itu sembari menengadah ke langit. “Hari ini begitu indah, ya? Aku merasa hidupku semakin berwarna.”
            Dion mendengus pelan lalu berjalan ke arah jendela yang lainnya. Clarisa menatap lelaki yang berdiri tak jauh darinya. Lalu ia melempar pandangang lurus kedepan dengan tatapan kosong.
            “Kau tahu tujuan kau hidup?” Tanya Dion pelan.
            Clarisa mengernyitkan dahi ketika menerima pertanyaan itu. “Kenapa kau bertanya tiba-tiba seperti itu?”
Dion seperti tidak mendengar pertanyaan itu. Tampaknya ia ingin mendengar sebuah jawaban ketimbang pertanyaan yang balik kepada dirinya.
Baiklah, Clarisa sudah tahu apa yang akan terjadi.
Clarisa berdengung. “Apa ya? Mungkin tujuan aku hidup untuk menjadi orang yang berguna. Semoga saja. Karena pada dasarnya semua orang ini berusaha menjadi orang yang berguna.”
            Dion acuh dengan jawaban itu. “Kamu tahu letak persamaan kehidupan dan musik?” Dion masih sibuk melempar pertanyaan.
            Clarisa menggeleng pelan.
            “Keduanya akan sama-sama indah bila kita tahu memainkannya dengan baik dan benar.” Katanya sembari menengadah ke langit. “Namun keduanya adalah bahasa yang sukar dipahami dalam pengertian paling luar biasa. Maka pada akhirnya manusia akan berusaha ingin tahu apa tujuannya hidup dan mencari cara agar manusia berguna di dunia ini.”
            Clarisa tersenyum kaku sembari terus menelaah perbincangan ini di dalam otaknya.
            “Tapi di antara manusia-manusia itu, ada yang hanya mencoba memaksakan hidup dan terus memperlihatkan keserakahannya di muka bumi. Maka dari itu, aku benci dengan hidup ini. Aku lebih menghargai musik yang kudengar ketimbang hidup ini.”
            Bibir gadis bergetar. Orang ini memang benar-benar memiliki jiwa introver sampai-sampai membenci kehidupannya. Tapi apakah semua orang yang sama dengannya akan selalu seperti ini? Clarisa memang sadar bahwa yang ia katakan tak semuanya salah. Namun manusia tak punya hak untuk mengutuk kehidupannya sendiri. Apalagi kehidupan orang lain. Karena Clarisa percaya bahwa kehidupan itu suci.
            “Lalu kenapa kau membicarakan hal seperti ini? Dan kenapa kau bertanya padaku?” Clarisa bertanya tanpa henti.
            Dion terkekeh pelan lalu jongkok seperti sedang melihat sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah piringan berwarna hitam dari bawah kursi. “Entahlah.” Dion menggelengkan kepala. “Mungkin itu karena aku terlalu sering melihatmu menikmati hidup ini.”
            Memangnya itu salah? Gumam Clarisa.
Clarisa memfokuskan pandangan ke depan dan terus mengamati pohon ketapang besar yang berdiri tegak di depan sana. “Apakah kamu masih hidup?” Tanyanya.
            Ia tertawa. “Aku rasa begitu. Memang kenapa?”
            “Kalau begitu kau mati saja.” Ucapnya dengan nada datar meski terdengar seperti anak panah yang menghujam dada.
            Dion menyipitkan mata mendengar ucapan tadi. Namun ia mendengus meremehkan ucapan gadis itu.
            “Aku tak tahu apa masalahmu sampai-sampai mengutuk hidupmu sendiri. Seberapa besar masalahmu, kau tak perlu khawatir. Because you are alive, so, everything is possible. Namun tampaknya harus ada orang yang memukul kepalamu agar bisa menghargai hidupmu.”
            Dion tertawa sembari membalikkan badan – menatap seantero ruangan musik. “Andaikan di dunia ini ada mesin waktu, mungkin aku akan menghargai hidupku ini.”
            “Mesin waktu?” Clarisa mengernyitkan dahi.
            “Baiklah. Terima kasih karena telah menceramahiku.” Ucapnya tanpa menjawab pertanyaan gadis yang masih memakai seragam olahraga.
            Clarisa tidak lagi mengejar jawaban dari pertanyaan yang ia buat. Ia pikir itu bukan hal yang penting.
            “Bisakah kau membantuku hari ini?” Tanya Dion. “Kau pasti tahu aku tidak akan bisa membersihkan semua alat musik ini sendirian. Lagi pula kamu sudah menyita waktuku dengan perbincangan tadi.”
            Apa? Sore ini Clarisa sudah lebih dulu membuat janji dengan Justin. Tentu saja ia tidak bisa membatalkannya hanya untuk membantu manusia es yang ada di hadapannya. Jika harus memilih, Justin-lah yang layak ia pilih. Bukankah lelaki seperti itu adalah idaman?
            “Aku ada urusan saat ini. Jadi aku tidak bisa membantumu.” Ucapnya berusaha menolak.
            Dion tertawa sakartis. Lalu ia berjalan ke arah piano hitam dan menaruh jemarinya di atas tuts hitam putih. Namun ia tidak memainkannya.
            “Bukankah janji dengan orang itu nanti sore, kan? Ini masih jam satu siang. Kurasa kau bisa membantuku sampai satu jam kedepan.”
            Clarisa mengernyitkan dahi. “Kau mendengar percakapan tadi? Itu sungguh tidak sopan.” Ucapnya dengan nada yang sedikit naik.
            “Maaf, jadi?” Tanyanya mengonfirmasi ajakannya.
            Clarisa membuang muka seraya menggurutu. “Baiklah. Aku akan membantu.” Ia segera beranjak dari depan jendela. Namun baru beberapa langkah, ia mengerang kesakitan ketika rasa nyeri yang luar biasa menyerang tangan kirinya. Seperti ada yang mengganggu di tangannya. Sejenak ia tidak bisa merasakan keberadaan tangannya karena rasa sakit yang menyelimutinya.. Untunglah tak lama kemudian rasa sakit itu tiba-tiba menghilang. Suatu hal yang aneh dan jarang terjadi.
            “Apa kau baik-baik saja?” Tanya Dion, ia berjalan ke arah gadis itu.
            Clarisa mengangguk. “Ya. Kurasa aku terlalu keras berlatih voli.”
            Dion berdeham. “Kalau begitu tampaknya kau tidak bisa membantuku. Sebaiknya sekarang kau cepat pergi ke UKS.”
            Clarisa mengangguk dan meninggalkan ruangan itu.
Cih! Dion merasa bahwa itu adalah alasannya untuk kabur.
●◙●
Clarisa melirik jam tangannya, lalu memandang halaman sekolah yang begitu luas. Sudah hampir setengah jam ia berdiri di depan gerbang sekolah. Jam sudah menunjukan pukul 3.30 sore, namun batang hidung Justin belum saja muncul.
            Mata Clarisa terus bergerak mencari sosok Justin di tengah kerumunan siswa yang lalu lalang.
            Laki-laki itu sudah terlambat setengah jam. Meski begitu, Clarisa malu untuk menghubunginya. Jika tidak malu, ia sudah menghubunginya sedari tadi tanpa harus menunggu lama. Ia berharap Justin tidak berhalangan di sore ini.
            Ia berniat menunggu sebentar lagi. Setidaknya sebelum langit benar-benar memerah.
            Clarisa kembali mengfokuskan pandangan ke novel yang ia baca. Ia memang suka membaca novel, sampai-sampai ia punya mimpi untuk menjadi seorang penulis. Namun Clarisa terlalu banyak hobi dan belum bisa memfokuskan diri ke satu tujuan. Selain menulis, Clarisa memiliki potensi dalam seni menggambar. Ia begitu terobsesi dengan gambar-gambar dari komik.
            Tiba-tiba seseorang bersepatu hitam berdiri di hadapan Clarisa. Ia pun mengangkat kepala dan bertatapan dengan orang itu.
            “Kukira kamu sudah pergi.” Ucap orang itu. Ialah Dion.
            Clarisa tersenyum. “Justin belum datang. Jadi aku akan menunggunya sedikit lagi.” Jawabnya.
            “Ayo kita duduk di sana.” Katanya seraya melangkah tanpa memperdulikan gadis itu akan ikut atau tidak.
            “Seharusnya kau sudah pulang dari setengah jam yang lalu.” Kata Clarisa ketika mereka telah duduk berdampingan.
            Dion tersenyum. Sekilas sikap dingin yang biasa ditunjukannya hilang. “Ya. Tapi bisa kau lihat masih banyak siswa yang berkeliaran di sekolah. Lagipula tadi aku sedikit sibuk memainkan alat musik.”
            Clarisa mengangguk pelan.
            “Oh, ya, kau dan Justin akan pergi kemana?” Tanya Dion. Tak seperti biasanya, Dion kali ini sedikit ramah dan banyak bertanya. Clarisa bingung melihat sikap Dion yang tiba-tiba peduli dengan urusan orang lain. Clarisa pikir itu karena wejangan darinya di ruang musik tadi.
            “Entahlah. Yang pasti aku akan pergi menemaninya memperbaiki mobilnya. Lalu kita akan jalan-jalan.” Jawab Clarisa.
            “Apakah kau dekat dengannya?” Tanya Dion.
            Clarisa menggeleng. “Tidak juga. Selama ini kami jarang berkomunikasi. Aku bahkan ragu kalau dia mengingat wajahku. Tapi entah kenapa dia tiba-tiba mengajakku untuk menemaninya.”
“Itu dia.” Dion menunjuk seseorang yang ada di seberang jalan. Lalu ia mengangkat tasnya yang ia sampirkan di kursi dan berkata, “hati-hati.”
            Clarisa membalasnya dengan senyum lebar.
            Dion pun melangkah pergi dan menghilang di balik pagar yang tak jauh dari situ.
            Sesegera mungkin Clarisa menfokuskan pandangan ke arah lelaki yang ada di seberang jalan. Ia sedang menunggu warna lampu penyeberangan berubah menjadi hijau. Setelah lampu hijau menyala, lelaki itu menyeberang tanpa tergesa-gesa.
            Clarisa berdiri dan terus memandangi lelaki itu dengan senyum lebar, bak putri yang sedang melihat kesatria berkuda.
            Tanpa menyapa terlebih dahulu, lelaki itu bertanya.”Siapa orang itu?” Tanya Justin ketika sudah berdiri di hadapan Clarisa.
            “Oh, dia Dion. Teman sekelasku.” Jawab Clarisa seraya menyisir rambut dengan jarinya. Itu tampaknya sudah menjadi ciri khas seorang gadis ketika bertemu dengan lelaki yang disukainya.
            Justin tersenyum kaku. “Sudah lama menunggu?” Tanyanya.
            “Lumayan.” Sahutnya. “Kukira kau akan muncul dari dalam sekolah. Kalau boleh tahu kau dari mana?”
           “Aku tadi pulang ke rumah untuk mengambil ponsel. Takutnya Pak Pelatih menelpon sore ini.” Jawabnya.
            Clarisa tersenyum dan gigi gingsul muncul dari balik bibir tipisnya. Melihat Clarisa tersenyum, Justin juga ikut tersenyum. Sepertinya Clarisa memiliki senyum yang menular.
            “Ayo pergi.” Kata Justin.
            Clarisa mengangguk cepat. Lalu mereka segera menaiki taksi yang berhenti di depan mereka.
            Di ujung jalan, ada tatapan serius yang mengamati mereka berdua. Matanya terus terfokus pada kedua orang itu hingga sosok mereka menghilang.
            “Pulang mengambil ponsel? Hah! Kau sangat polos Clarisa sampai mudah di bodohi. Percuma saja kuberitahu.” Gumamnya.
●◙●
            Clarisa menatap sebuah patung di Taman Kebangkitan Bangsa. Ia tampak bosan karena sejak keluar dari bengkel mereka hanya duduk di taman itu tanpa melakukan apapun. Bahkan bicara sekalipun. Justin hanya sibuk memainkan ponselnya. Sesekali ia mengamati orang yang lalu-lalang.
Clarisa ingin memulai pembicaraan dengan lelaki itu, namun bibirnya beku dan sulit untuk mengeluarkan sepatahkatapun. Sesekali ia melirik jam tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 16.15.
            “Kenapa kau diam saja?” Tanya Justin tiba-tiba dan membuyarkan lamunan Clarisa.
            Clarisa merasa gugup seraya menggeleng. “Eh, tidak. Aku hanya bingung harus bicara apa.”
            “Apakah kau bosan?” Tanya Justin. Pandangan mereka terfokus ke arah yang sama. Ke sebuah patung di hadapan mereka.
            Clarisa tersenyum dan melipat kedua lengannya di dada. “Tidak.  Tapi mungkin sedikit.” Clarisa lalu melempar pandangan ke lelaki tampan di sampingnya. “Tapi tidak masalah. Bisa jalan-jalan sore ini saja aku sudah sangat senang.”
            Justin tertawa kecil. “Kalau begitu kita akan pergi ke tempat yang menarik.”
            “Kemana?” Tanya Clarisa cepat.
            Justin mengangkat bahu. “Karena mobilnya yang diperbaiki akan selesai besok, jadi kita bisa jalan-jalan dengan bebas.” Jawab Justin. “Kita akan ke festival komunitas di Megamas. Di situ akan ada banyak pemeran dari komunitas-komunitas lokal. Tapi pamerannya akan dimulai setengah jam lagi. Jadi kita akan menunggu di sini.”
            “Benarkah? Wah! Senangnya.” Ekspresi antusias tampak dari raut wajah Clarisa.
            Justin mengangguk dan berdeham. “Sembari menunggu, bisakah aku bertanya beberapa hal agar aku bisa mengenalmu lebih jauh?” Tanya Justin.
            Mata Clarisa terbelalak. Ia merasa sedang diistimewakan. Ia tak menyangka bahwa perjalanan rasa sukanya akan sejauh ini. Ia tak percaya bahwa lelaki yang banyak diidolai murid perempuan di sekolahnya ingin mengenal dirinya yang hanya gadis sederhana.
            “Mm. Tentu saja. Tapi aku takut kalau aku bukan orang yang menarik menurutmu.”
            Justin tetawa kecil lalu menarik napas berat. “Tak masalah. Aku rasa kamu orang yang menarik.”
            Clarisa hanya tersenyum kaku. Namun dalam hatinya membuncah.
            Justin berdeham dan mengubah posisi duduknya. Kali ini ekspresinya lebih serius. “Lelaki seperti apa yang kamu sukai?” Tanyanya.
            Clarisa membuang muka. Pipinya memerah. Nafasnya menjadi tidak beraturan setelah mendengar pertanyaan seperti itu. Mungkin ini adalah senjata andalan para kesatria yang ingin memenangkan hati wanita. “Mm. Entahlah, yang pasti harus berkepribadian baik. Terlebih lagi harus setia.”
            “Hanya itu?”
            “Ya.”
            Justin memandang gadis itu dengan senyum samar. Ia mencoba menebak apa yang Clarisa pikirkan. Yang ada di dalam benaknya, Clarisa memanglah gadis yang menarik, begitu sederhana. Namun ia tak pernah berpikir untuk lebih jauh mengenal Clarisa. Itu karena terlalu banyak murid perempuan di sekolahnya yang ia lewati. Ada pula yang ia singgahi. Oleh karena itulah ia sering disebut playboy. Namun dengan kharismanya yang begitu menyilaukan mata banyak gadis, ia tidak memperdulikannya, dan entah kenapa hari ini ia penasaran dengan Clarisa, si gadis pendiam yang kurang bergaul dengan murid lainnya.
            “Kalau begitu apakah kau sudah punya pacar?” Tanya Justin. Kharismanya seperti mendobrak hati para gadis yang mendengarnya.
            Clarisa terkesiap. Seketika sekujur tubuhnya menegang. Namun ia berusaha bersikap tenang. “Jangankan punya pacar, pacaran saja aku belum pernah.” Jawab Clarisa jujur, lalu mengangkat bahu dan menatap mata Justin.
            Justin memaksa seulas senyum di bibirnya. Namun dalam hati ia tergelak mendengar jawaban polos dari perempuan di sampingnya. Ia tak menyangka Clarisa sepolos itu sampai belum pernah mengenal cinta.
            Clarisa menunggu kata berikutnya yang akan diucapkan Justin. Namun tiba-tiba suara ponsel Justin mengacaukan perbincangan di sore yang temaram itu. Sesegera mungkin ia mengangkat ponselnya dan berdiri lalu berjalan beberapa langkah. Ia tak ingin Clarisa mendengar percakapannya dengan seseorang yang menelepon itu.
            Sekitar dua menit, Justin kembali ke tempat duduk sembari berkata, “Pak pelatih menelepon. Katanya ada pertandingan tim putri di hari minggu.”
            “Hari minggu? Syukurlah. Akhirnya aku bisa menonton lagi.” Ucap Clarisa seraya tersenyum.
            “Tidak. Aku meminta kepada pelatih agar kau dimainkan.” Kata Justin.
            Mata Clarisa terbelalak. “Benarkah? Jika aku ikut maka itu akan jadi pertandingan pertamaku.” Sahut Clarisa penuh suka cita. Itu wajar saja, karena sejak Clarisa bergabung ke tim voli putri, ia tidak pernah diikutsertakan dalam tim inti. Dia hanya bisa menonton dari bangku cadangan. Bisa dikatakan ia mengikuti ekskul voli hanya sekedar mencari nilai ekskul saja. Itu karena ia tak memiliki peluang untuk bersenang-senang di lapangan.
            “Baiklah. Ayo pergi.” Ucap Justin.
            Clarisa mengangguk.
            Mereka berdua menghabiskan  waktu bersama mengelilingi kawasan Megamas. Bak sepasang kekasih, mereka tampak bahagia menyaksikan pertunjukan spektakuler dari komunitas lokal. Clarisa tak menyangka akan sebahagia ini ketika berada di samping Justin. Ia lelaki yang baik, ramah, asik untuk diajak berbicara.  Senyumnya terus merekah di setiap langkah yang ia ambil bersama lelaki berlesung pipi itu. Ini sore yang indah untuknya.
            Begitulah cara Clarisa dan Justin menghabiskan waktu di sore yang temaram ini. Clarisa memang belum sepenuhnya mengenal Justin. Yang ia tahu hanyalah Justin adalah siswa terkeren dan digilai banyak gadis.
            Dan untuk pertama kalinya, ia memendam rasa kepada seorang lelaki. Selama ini ia hanya jatuh cinta pada karakter-karakter anime. Dia bahkan merealisasikan rasa cintanya lewat seni manga yang ia tempelkan ke dinding kamarnya. Namun Clarisa hanyalah gadis biasa yang suatu saat bisa merasakan apa itu cinta.










Sixth
MR. ICE





            Ia telah berlatih sangat keras ketika namanya masuk ke dalam inti. Gadis bergigi gingsul itu tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meski hanya berlatih sendirian selama empat hari, meski tangan kirinya sering sakit, ia tak menghiraukannya. Baginya itu adalah efek samping karena terlalu keras berlatih.
Clarisa sudah sering merasakan sakit di tangan kirinya belakangan ini. Tapi ia menganggap itu adalah bekas cedera yang pernah ia alami.
            Hari ini adalah hari minggu. Ya, hari dimana Clarisa akan mengikuti pertandingan persahabatan dengan sekolah Harapan Generasi. Clarisa tahu tidak akan ada banyak orang yang akan melihat pertandingan itu karena diadakan tepat di hari libur. Namun hal tersebut tak menyurutkan semangatnya.
            Siang ini Clarisa sudah lengkap dengan seragam tim voli putri yang berwarna biru. Ia menggunakan sepatu putih bercorak hitam.
Pertandingannya akan dimulai 15 menit lagi. Ia pun mencari tempat sepi untuk menghilangkan rasa gugupnya, dan tempat yang ia pilih adalah koridor dekat ruang ekskul. Selain karena sepi, tempat ini terhubung langsung dengan aula olahraga tempat pertandingan di adakan.
            Ia mondar-mandir dikoridor itu. Sesekali Clarisa menarik napas berat. Sesekali juga ia mengingat-ingat strategi pertandingan yang ditunjukan pelatih di ruang ganti.
            Tak lama kemudian suara alat musik terdengar dari ruangan musik. Suara dentingan piano yang mengalun dengan indah menyentuh telinga Clarisa.
            Ia menghentikan aktivitasnya dan terus menikmati suara piano itu. Dalam ia bertanya-tanya, siapa gerangan yang mempunyai jemari selentik itu dan menghipnotis pendengarnya?
            Ia penasaran. Setahunya sangat jarang ada orang yang masuk ke tempat itu. Yang ia tahu hanyalah Dion yang sering berada di ruangan itu. Ia pun melangkah penasaran ke tempat itu untuk memastikannya.
            Sepelan mungkin ia membuka pintu sampai-sampai tak terdengar suara.
            Ia mengerling ke arah piano ketika setengah kepalanya mulai masuk ke dalam ruangan. Ia mendapati seorang lelaki berkaos putih yang sedang duduk di hadapan piano. Mata orang itu terus mengamati not balok instrumen Kiss the Rain dari komponis hebat asal korea, Yiruma.
            Clarisa mengernyitkan dahi. Ia berusaha mengenali orang itu. Lantas tertawa kecil ketika mengetahuinya. Tidak salah lagi, orang itu adalah Dion. Ia memang sering menghabiskan waktu di ruangan musik meski hari libur sekalipun.
            “Dion.” Clarisa menyapa dengan hangat.
            Lelaki itu menghentikan permainannya dan menoleh dengan tatapan dingin. “Oh, kau.”
            “Kau sedang apa disini? Bukannya ini hari libur?” Tanya Clarisa.
            Dion menarik napas berat. “Setidaknya disini lebih nyaman ketimbang di rumah.” Jawabnya seraya berdiri dan beralan ke  arah jendela. Ia menengadah, menatap langit. Matahari masih berada di posisi 120 derajat. “Ada apa?”
            Clarisa berjalan ke sampingnya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya penasaran  dengan suara piano tadi. Ternyata kau pintar memainkannya.”
            “Kurasa begitu.” Jawabnya dengan yakin namun tak ada nada sombong di dalamnya. “Bukankah hari ini ada pertandingan?” Dion menatap gadis itu.
            “Ya, dan kau tahu? Aku akan ikut dalam pertandingan hari ini.” Ucap Clarisa penuh semangat. “Mau menonton?” Tanyanya. Senyum lebar terulas dari bibirnya.
            Dion hanya menggeleng dan melempar pandangan ke depan. Clarisa tersenyum kaku melihat ekspresi dingin lelaki itu. Ia seperti bicara dengan robot. Padahal beberapa hari lalu ia melihat perubahan dalam diri Dion. Tapi tampaknya perubahan sikapnya bisa luntur oleh waktu.
            “Kau agak kurus.” Kata Dion tiba-tiba tanpa menatap gadis itu.
            Clarisa tertegun mendengarnya, lantas ia tertawa kecil. Ia tidak menanggapi ucapan dion.
            “Apakah kau diet?” Pertanyaan aneh itu muncul.
            Clarisa semakin tergelak mendengarnya. Kali ini ia menanggapinya. “Tidak, tidak. Entahlah. Mungkin belakangan ini aku terlalu sering berlatih. Makanya banyak kalori yang terbakar.” Jawab Clarisa.
            Dion tertawa. Kali ini tawanya lebih lepas. “Kau gadis yang aneh. Tapi aku heran, mendengar suaramu aku merasa tak kesepian.” Ucapnya pelan lalu menunduk.
            Senyum manis terulas dari bibir Clarisa. Meski ia tak mengerti apa yang Dion katakan.
            “Kalau begitu, mulai sekarang kita perbanyak komunikasi. Kurasa itu akan ada gunanya. Aku kurang bergaul, dan kamu seorang introver.” Kata Clarisa.
            Dion tertawa, lantas sesegera mungkin ia mengenyahkan tawanya itu. “Introver, ya? Mm, bukannya aku tidak mau berkawan dengan seseorang, bukan juga tidak mau berbicara dengan orang-orang, tapi aku adalah tipe orang yang suka menyendiri. Aku nyaman dengan itu. Maksudku, bercengkramah dengan bayangan sendiri itu lebih menyenangkan.”
            Mata Clarisa bersinar-sinar jenaka mendengarnya. “Kau selalu bilang aku aneh. Ternyata kau yang lebih aneh.”
            Ia tersenyum masam.
Dion berdeham. “Bagaimana kencanmu dengan Justin?” Tanya Dion tiba-tiba.
            Clarisa melipat kedua tangannya ke depan dadanya. “Mm, berjalan lancar. Meski aku sempat bosan beberapa saat. Tapi dia berhasil membuatku senang.” Jawab Clarisa. Ia menyunggingkan senyum.
            Senyuman masam kembali Dion pancarkan. Ia lalu berbalik badan dan berjalan sembari membelakangi Clarisa. Matanya tertuju pada pianika yang berjejer rapi dalam lemari.
            “Kuharap kau berhati-hati. Aku rasa dia bukan orang seperti yang kau kenal.” Ucap Dion.
            Clarisa mengernyitkan dahi. “Maksudmu? Aku rasa dia benar-benar orang yang baik. Cara bicaranya sopan, lalu ia tampak ramah.”
            Dion tersenyum. “Ya, sudah. Kuharap juga begitu. Yang penting aku sudah memberitahumu.” Kata Dion lalu berjalan keluar tanpa memandangi Clarisa lagi.
            Clarisa membeku mendengar perkataan Dion. Ia menilai sejauh ini Justin adalah orang yang baik, dan ia nyaman dengan Justin.
●◙●
“Pertandingan yang sangat seru antara sekolah Bunda Pertiwi melawan sekolah Harapan Generasi. Keduanya saling mengejar angka. Kedua tim tampak tak mau mengalah!” Seru pemandu pertandingan di pinggir lapangan.
            Kedua tim kini telah memasuki set kedua. Untuk sementara Clarisa dan kawan-kawan unggul dua angka.
Clarisa adalah Spiker[1] yang piawai, beberapa kali smash kerasnya menghujam area bertahan lawan. Sampai-sampai ia sudah tidak peduli lagi dengan rasa sakit di tangan kirinya yang sering datang tiba-tiba lalu hilang begitu saja. Lantas rasa sakit itu kini mulai menjalar ke kakinya. Dan kini mereka memanfaatkan satu kesempatan timeout untuk menyegarkan pemain.
“Kau bermain dengan baik, Clarisa.” Ucap sang Libero[2], Ellie.
Clarisa mengangguk pelan. Ia berusaha menyembunyikan rasa kesakitannya.
“Baiklah. Berikutnya kami akan mengandalkan smash-smash kerasmu. Jadi bersiaplah untuk menerima passing.” Ucap Ellie. Wajahnya bersungguh-sungguh.
Bunyi terompet terdengar. “Timeout selesai.”
Kini ke enam pemain dari dua tim telah berdiri di lapangan untuk melanjutkan pertandingan. Clarisa berdiri di area serang sembari menunggu passing-passing memanjakan dari rekan-rekan. Ia tampak bersemangat karena pertandingan itu disaksikan oleh pujaannya, Justin.
Pukulannya keras seperti Jutarat Montrifilia dan keanggunannya didalam lapangan seperti Sabrina Altynbekova. Blocker[3] tim lawan kewalahan menghadapi smash keras yang menghujam bak roket. Semua orang terpukau melihat aksi Clarisa di lapangan. Pelatih juga menggeleng dan sangat menyesal baru memainkan Clarisa di saat ini. Ia merasa permainan Clarisa layak dikategorikan sebagai permainan tim inti.
Ellie dan rekan-rekan lainnya terus memberikan bola kepada Clarisa tanpa memperdulikan Spiker lainnya. Meski angka telah menjauh, mereka tetap memberikan bola kepada Clarisa.
Karena terlalu di paksakan, Clarisa terjatuh setelah melakukan lompatan yang tinggi.
Ia memegang kakinya dan mengerang kesakitan. Ia langsung dikerumini teman-teman setimnya dan pertandingan dihentikan sejenak. Justin yang melihat kejadian itu refleks berlari dengan kencang. Namun anehnya, seseorang berkaos putih telah sigap untuk membopongnya. Justin terdiam melihat aksi lelaki itu. Ialah Dion, si pemuda Introver.
“Kakimu terkilir parah. Ayo kita ke rumah sakit.” Ucap Dion sembari memberikan punggungnya agar Clarisa menaikinya.
“Kenapa tidak dibawah ke UKS saja?” Tanya Ellie, sang kapten tim voli putri.
Ekspresi Dion tiba-tiba berubah. Ia menatap dalam-dalam wajah gadis itu. Tatapan yang mengintimidasi. “Lihatlah dampak dari strategi bodoh dari tim kalian! Kalian memang menang karena strategi itu, tapi kalian membuat Clarisa harus berkorban. Kau kapten yang payah!” Bentak Dion, lalu segera berlari ke luar aula. Clarisa mencengkram erat tubuh Dion. Ia menahan kesakitan yang luar biasa.
Ellie hanya tertegun mendengar bentakan Dion. Sedangkan Justin hanya berdiri dan membatu tanpa melakukan apapun. Seperti ada es yang telah menyelimuti kakinya
●◙●
            Jam dinding di koridor rumah sakit terdengar begitu keras. Suara napas yang ia hembuskan seirama dengan suara jam dinding itu. Ia terus menengadah dan menatap papan yang bertuliskan ‘UGD’. Ia mengira itu hanya cedera ringan dan wajar-wajar saja, namun karena pedulinya kepada gadis itu, ia membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya refleks begitu saja tanpa berpikir-pikir panjang ketika melihat wanita itu terjatuh.
            Ia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Pikirannya tiba-tiba melayang dan  bertanya-tanya, mengapa ia tiba-tiba peduli dengan gadis itu? Padahal ia tidak pernah berniat untuk peduli kepada siapapun. Karena ia punya persepsi yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Menurutnya memperdulikan orang lain itu hal yang sia-sia dan bisa menjadi boomerang baginya. Karena ia muak ketika ada yang bergantung pada dirinya, apalagi ia tak mendapatkan balasan di saat ia membutuhkannya. Namun lagi-lagi raut wajah kesakitan dari wanita itu kembali terngiang di kepalanya dan segera membantah segala pendirian introvernya. Rasa peduli pada gadis itu kini benar-benar mekar di hatinya.
Menurutnya itu tak akan berlangsung lama. Karena yang ada di dalam kepalanya, jika seseorang peduli kepada orang lain, lalu orang itu membuat kecewa, sudah tentu kepeduliannya akan berakhir dengan rasa sakit. Ia memantapkan diri dengan pendapatnya sendiri. Sekali lagi ia bergumam, Dion adalah Dion!
            Dion menggigit kecil bibirnya dan terus menengadah, menatap langit-langit koridor rumah sakit. Ia berharap hari ini cepat berlalu agar ia benar-benar bisa melupakan kejadian di hari ini.
            Di ruangan lain, tepatnya di dalam UGD, dokter dan perawat telah melalukan penanganan yang cepat pada kaki Clarisa yang mulai bengkak. Terkilir parah seperti itu benar-benar membuatnya tersiksa. Kini kakinya harus diperban. Rasa sakitnya perlahan mulai meredah.
            Ia sempat menyesali keadaannya yang harus cedera di saat penting. Bukan untuk tim, tetapi untuk dirinya sendiri. Kali ini ia harus melewatkan kesempatan bermain full time dengan tim inti. Padahal waktunya bersama tim voli tidak lama lagi karena ada batas waktu dalam mengikuti ekskul. Ia mendengus kesal dan sekelebat penyesalan muncul di pikirannya. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang tidak hati-hati. Namun yang namanya kecelakaan, tak dapat dihindari.
●◙●
            Melihatnya terbaring, entah sedang tertidur, atau pingsan, membuat Dion sedikit cemas. Clarisa terbaring dengan wajah yang sedikit pucat.
Dion duduk di sebelahnya, menunggunya membuka mata. Tanpa sadar ia membelai rambut gadis itu. Entah kenapa gadis yang ada di hadapannya mengingatkannya pada ibunya.
            “Kau memang gadis aneh.” Ucapnya dengan senyum kaku ketika mata Clarisa mulai membuka.
            Clarisa menyunggingkan senyum kecil. “Terima kasih karena telah membawaku kemari. Tapi lain kali aku tidak mau membuatmu repot.” Ucap gadis itu dengan suara parau.
             Dion memandang gadis itu dengan senyum samar. “Tampaknya kau tidak terlalu suka meminta bantuan kepada orang lain. Tapi sesekali meminta tolong kepada orang lain tidak ada salahnya, bukan? Itu membuatmu terlihat lebih manusiawi.”
            Clarisa terkekeh pelan. “Ya. Kau benar.” Sahut Clarisa ringan.
            Dion terkejut dengan apa yang ia ucapkan tadi. Serperti bukan dirinya saja. Dion berbalik dan berjalan ke arah pintu. Ekspresi datar tampak lagi di wajahnya. “Tapi lain kali kau harus tahu, aku membantumu bukan karena aku peduli.” Ia membuka pintu perlahan dan berkata, “Aku hanya kebetulan ada di situ.” Ucapnya berbohong. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa peduli di balik kejadian tadi. Ia berusaha menanamkan pendapat bahwa ia tidak ingin peduli ataupun menolong orang lain. Ia berusaha untuk lari dari warna baru dalam hatinya.
            Clarisa menyunggingkan senyum lebar, lalu menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “Sesekali peduli kepada orang lain tidak ada salahnya, kan? Itu membuatmu terlihat lebih manusiawi. Bukankah begitu Mr. Ice? Mulai sekarang kau akan ku panggil Mr. Ice. Terserah kau akan marah atau tidak.” Ucap Clarisa.
            Dion tertawa kecil dan menunduk. “Terserah kau saja.” Terdengar suara setengah hati dari Dion. Ia lalu menutup pintu dan segera pulang.
















Seventh
CLOUDY






            Dion keluar dari rumah mewahnya. Rumah bertingkat dua itu lebih menonjol ketimbang rumah di sekitarnya karena kemewahannya. Hidung Dion langsung menyergap aroma hujan yang mulai turun. Musim hujan sudah mulai merentangkan sayap-sayapnya dan menyirami tanah kota Manado. Membasahi setiap sudut dan juga mencederai tempat-tempat di tepi sungai. Banjir terjadi di beberapa titik. Namun musim hujan kali ini, membuat langkah Dion lebih ringan. Entah dari mana munculnya perasaan senangnya saat ini.
            Ia mendongakan wajahnya ke arah matahari. Meski awan hitam berkelebat di langit, sinar keemasannya masih bisa menembus sela-sela awan hitam itu, hingga sisa-sisa cahaya itu menyambar Dion yang tengah melangkah dengan santainya.
            Dion merapatkan jaketnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberangi jalan menuju ke salah satu ruko yang bertingkat dua di seberang jalan. Ruko itu sejajar dengan ruko lainnya di kawasan perbelanjaan di jalan Piere Tendean. Dion berharap orang yang berada dalam ruko itu akan terkejut melihat kedatangannya. Tapi, sebenarnya tidak juga. Orang yang tinggal di dalam ruko itu bukan tipe orang yang mudah terkejut meski sebuah surprise sekalipun.
            Orang itu adalah pamannya. Anak termuda dari kakak-beradik di keluarga sebelah ibu.
            Dion yakin, Billy Prismatama pulang ke kota ini karena ada alasan tertentu. Setahunya Billy telah hidup nyaman di Australia dengan pekerjaan tetap. Dan semenjak ia  tinggal di Australia, ia sudah tidak pernah menelepon Dion ataupun mengirim sepucuk surat. Dion berusaha menelepon atau mencari tahu keberadaan Billy, tapi orang itu seperti menghilang ditelan bumi. Karena itulah Dion memilih untuk menemuinya langsung ketika mendapati surat di kotak pos, nama pengirimnya Billy Prismatama. Setidaknya ia pergi menemui Billy untuk memastikan pamannya baik-baik saja. Namun ada hal yang lebih penting yang harus ia perbincangkan dengan Billy.
            Billy Prismatama adalah satu-satunya orang yang mampu mengakrabkan diri dengan pemuda introver itu, karena semenjak keretakan dalam keluarga Dion, hanya Billy yang bisa mengerti perasaan Dion. Itu mungkin karena keduanya adalah musisi yang mampu memahami satu sama lain. Jiwa bermusik yang ada pada diri Dion memang diturunkan oleh keluarga ibunya.
            Dion berlari kecil ketika menaiki tangga ruko. Ia menyapa Merry yang sedang berdiri di depan meja kasir. Merry adalah rekan kerja Billy. Mereka awalnya sama-sama Violinist di Bandung. Tapi akhirnya Billy dan Merry memutuskan membuka ruko yang menjual alat musik dan peralatan olahraga. Wanita seumuran Billy itu tidak terlalu sibuk hari ini.
            Setelah menaiki beberapa anak tangga, Dion kini telah berdiri di depan pintu yang bercat merah dengan gagang keemasan. Tangan Dion terulur menahan gagang pintu. Ia berniat langsung membukanya. Namun ia tak jadi melakukannya. Meski mereka sangat akrab, ia lebih memilihi mengetuk pintu agar lebih sopan.
            Ia mengetuk tiga kali. Terdengar sahutan seseorang dari dalam. Setelah menunggu setelah dua puluh detik, seseorang membuka pintu dan Dion mendapati Billy Prismatama di ambang pintu.
            “Merry, sudah kubilang kalau mau masuk, tak harus menge –.” Kata Billy terhenti ketika menyadari keponakannya telah berdiri di hadapannya.
            Dion melirik jam tangan. “Jam 12 siang, dan kau baru bangun?” Dion menatap pria dengan tampang kusut itu. Rambutnya acak-acakan dengan mata yang masih menyipit. Bola mata itu sama dengan bola mata Dion. Mereka adalah keluarga dengan sel genetik yang kuat.
            Billy tertawa. “Hei, Dion! Lama tak jumpa, bung!” Sesegera mungkin ia menarik tubuh Dion dan memeluknya. Namun tak sampai 5 detik ia melepaskannya dan berkata, “Bagaimana Kabarmu?”
            Dion menyunggingkan senyum kecil. “Baik.” Sahutnya Ringan.
            “Syukurlah.” Pria jangkung itu melangkah ke samping membiarkan Dion lewat.
            Dion melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Billy tidak menyalakan lampu namun cahaya matahari yang sedikit redup masih bisa menembus jendela kaca di salah satu sisi ruangan. Ruang tamu itu dilengkapi Tv LCD ukuran dua puluh sembilan inch, sofa berukuran besar berwarna coklat muda, dan di depannya terdapat sebuah meja kaca berukuran kecil. Tepat di bawahnya terdapat karpet merah yang dialas dengan rapi. Di beberapa sudut dinding terdapat rak-rak buku yang dipenuhi buku musik karena Billy memang adalah seorang lulusan sarjana musik yang tentunya harus selalu dekat dengan materi-materi musik. Lalu di atas meja terdapat barang pusaka milik Billy yang menurutnya adalah barang yang paling berharga di dunia, yang telah ia bubuhi dengan keringatnya, yang tak bisa dibeli oleh Bill Gates sekalipun karena terdapat banyak pengalaman di benda itu, ialah biola coklat yang tampak berkilau. Tentunya biola itu ditemani bow dan beberapa helai kertas yang bertuliskan partitur.
            “Kau masih sibuk berkutat dengan hal ini, ya?” Tanya Dion seraya mengamati partitur yang dipegangnya. Dion biasa memanggil pamannya dengan sebutan ‘Kau’, memang terdengar kurang menghormati, tapi percayalah, mereka hanya terpaut 10 tahun karena Billy Prismatama lahir 28 tahun yang lalu. Mereka seperti sepasang teman yang akrab.
            Billy tersenyum seraya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. “Tidak juga. Sudah lama aku tidak membuat partitur musik. Partitur itu dibuat oleh Merry dan ia menyuruhku memainkannya.”
            Alis Dion terangkat. “Benarkah?” Ia lalu berjalan menuju sofa dan menjatuhkan diri diatasnya. “Dia adalah pencipta musik yang hebat. Tapi sayang sekali ia lebih memilih berhenti menjadi musisi.” Ucap Dion.
            “Ya, begitulah.” Sahut Billy ringan.
            “Lalu kenapa kau tidak memberi kabar sejak pergi ke Australia?” Tanya Dion tanpa memandang Billy. Matanya masih liar mengamati partitur yang dibuat Merry,
            Billy berbalik badan dan menghadap kaca di kamarnya. Pintu kamar itu terbuka sehingga mereka masih bisa berkomunikasi. “Aku terlalu sibuk sampai sulit mendapatkan waktu luang. Asal kau tahu saja, aku berpindah-pindah kafe untuk menghibur banyak orang. Sidney, Canberra, dan Brisbane telah kukunjungi, dan itu fantastis.”
            Kening Dion berkerut samar. “Kau selalu saja begitu padahal ada banyak hal yang –.”
            “Tunggu.” Sahut Billy menyela. “Kita tidak mungkin berbicara banyak di tempat ini.” Billy menoleh dan menatap ruangan tamu yang bagaikan kapal pecah.
            “Lalu dimana?”
Billy berdeham. “Ayo kita pergi minum kopi. Minuman panas sangat enak apabila diminum pada saat cuaca seperti ini.”
“Di luar hujan semakin deras. Mana mungkin kita akan jalan kaki.” Kata Dion.
Billy tertawa keras. Sebaris gigi yang rapi muncul dari balik bibirnya. “Sorry, bung. Aku tak sepertimu yang membiarkan mobil pribadi terbengkalai di garasi.” Sahut Billy mengejek. “Aku sekarang pakai itu.” Ia menunjuk sesuatu dengan dagunya ke arah jendela.
Dion segera berjalan ke jendela dan menatap mobil silver yang terparkir rapi.
“Itu memang hanya mobil bekas. Tapi setidaknya itu masih bisa berfungsi.” Ia terkekeh pelan.  Lalu menyisir rambut hitamnya di hadapan kaca.
“Kau pergi mandilah. Aku akan menunggu.” Dion kembali ke tempat duduknya.
Billy terkekeh dan alisnya terangkat. “Mandi? Ayolah, bung, aku hanya akan pergi dengan keponakanku, jadi buat apa mandi? Sebaiknya mandi itu dilakukan ketika ingin kencan dengan pacar.”
Dion mendesah. “Baiklah, baiklah. Setidaknya kau gosok gigi terlebih dahulu sebelum aku mati karena mencium bau mulutmu.”
“Sudah kulakukan.” Jawab Billy cepat.
Dion mengernyitkan dahi tanda tak percaya. “Kau berbohong?”
Billy berbalik badan dan menatap Dion. “Ayolah, bung, aku bisa memainkan biola dengan kecepatan 250 bpm[4] dalam waktu 50 detik,” Ia bergaya bak violinist terkenal. “Jadi aku cepat seperti kilat.”
Dion mendengus pelan. Sifat pamannya memang tak pernah berubah. Layaknya ABG[5] yang selalu bertingkah konyol. “Oke. Baiklah. Sekarang apa yang kita tunggu?”
Billy mengangguk. “Baiklah. Ayo pergi.” Billy berjalan ke arah pintu lalu berhenti. “Tunggu. Aku lupa menaruh kunci mobilnya.”
Dion tertawa kecil. “Kau sering melakukan ini ketika masih di Bandung. Ini.” Dion menyodorkan kunci yang dicari Billy.
Senyum kecil tersungging dari bibir Billy. “Dan seperti biasa, kau yang menemukannya.”
Dion tergelak seraya meraih bahu Billy.
“Sepertinya kita harus bicara banyak.” Kata Billy kepada Dion ketika menuruni anak tangga. “Aku ingin menceritakan Tour-ku di kafe-kafe terkenal di Australia.”
Dion mengekor dari belakang dan berkata, “tidak, tidak. Aku datang tidak ingin mendengar itu saja. Ada yang lebih penting yang harus dibicarakan.”
“Kau menemuiku kalau ada kemauan saja.” Kata Billy memberenggut. Kini mereka telah berada di depan pintu mobil. “Merry, kau bisa menutup ruko kapan saja. Jangan terlalu memaksakan diri.” Teriaknya lalu segera masuk ke dalam mobil.
Wanita itu hanya mengangguk lalu melambaikan tangan. Dion pun membalasnya. Merry memang wanita yang ramah.
●◙●
Mobil silver itu meluncur mulus di jalan raya. Hujan yang lumayan deras membuat Billy mengendarai mobil dengan hati-hati.
Hingga akhirnya mobil itu berhenti di parkiran salah-satu restoran mewah di dekat pusat alat elektronik. Kedua pemuda yang ada di dalamnya keluar seraya memakai jaket. Suhu di siang ini sedikit menusuk kulit karena hujan yang turun cukup lebat.
“Sudah lama aku tidak jalan-jalan di kota ini.” Kata Billy ketika mereka sudah berada di kursi yang terletak di samping kaca bening. Kendaraan yang lalu-lalang bisa disaksikan dari situ.
“Ya. Itu karena kau terlalu senang berada di Australia.” Sahut Dion. Matanya menatap keluar. Namun ia tidak benar-benar fokus mengamati sesuatu.
“Selain kopi, apa kau ingin makan sesuatu?” Tanya Billy dengan alis terangkat.
“Tidak. Kopi saja.” Jawab Dion.
            “Hari ini aku yang traktir . Jadi pesanlah sesuka hati.” Billy tersenyum. Sang pelayan telah siap mencatat pesanan kedua pemuda itu.
            Dion terdiam sejenak selama lima detik, lalu menghembuskan napas berat. “Tidak, aku tidak lapar.” Tegasnya lagi.
            Billy tersenyum. Sang pelayan segera mencatat pesanan mereka lalu beranjak dari hadapan kedua pemuda yang raut wajahnya mulai serius.
            “Aku penasaran dengan apa yang bisa kau ceritakan. Tapi aku akan menutup telinga jika kau menceritakan soal tour-mu.” Kata Dion. Ia menatap dalam-dalam wajah Billy.
            Billy berdeham dan mengatupkan kedua tangan di atas meja. “Aku rasa kau akan terkejut mendengarnya. Saat aku bermain di salah satu kafe negara bagian Queensland, aku –.”
            “Tidak, tidak! Sudah kubilang aku tidak mau mendengar cerita soal tour-mu.” Sela Dion.
            “Iya, iya. Aku tahu. Tapi ini ada hubungan dengannya.”
            Dion menatap Billy dengan serius. “Baiklah, lanjutkan.” Suasana perbincangan di siang itu berubah.
            Billy berdeham lagi. Lehernya mulai kering karena kopi yang dinantinya tak kunjung datang. “Saat aku perform dengan grup musik Rocky, aku melihatnya sedang duduk bersama dengan pria berambut kuning dan berkulit putih.”
            “Seorang pria?” Mata Dion terbelalak.
            “Ya. Mereka tampak mesra. Aku segera bergerak cepat. Selepas perform, aku membuntuti mobil mereka hingga terhenti di sebuah apartemen di kawasan Indooropolly.”
            “Lalu kau tahu hubungan mereka?” Tanya Dion, masih dengan wajah serius.
            Seorang pelayan menghentikan pembicaraan mereka. Ia meletakkan dua cangkir kopi panas lalu segera pergi.
            Billy melanjutkannya. “Setelah mengetahui lokasinya, aku tidak tinggal diam saja. Aku kembali keesokan harinya.” Billy menyesap kopinya. Kehangatannya terasa mengalir di tenggorokan. “Aku mencari informasi dari tetangganya di apartemen itu. Kebetulan temanku tinggal di apartemen yang sama. Jadi jika aku ketahuan menguntit mereka, aku punya alasan.” Ucap Billy lalu terdiam.
            “Lalu? Ayo langsung ke intinya saja.” Kata Dion tak sabaran.
            Billy melempar pandangan ke luar dan berkata, “Ibumu telah menikah dengan pria itu. Pria itu bernama Mark Davis. Dua tahun lebih mudah dari ibumu. Ia bekerja di perusahaan tekstil Queensland.”
            Dion terdiam. Ia melempar tatapan kosong ke cangkir kopinya. Bibirnya kelu seketika, lalu dengan ikhlasnya ia berkata, “syukurlah.”
            Alis Billy  mengkerut. “Ha? Syukurlah? Ayolah, bung, itu Bad News.”
            Dion tersenyum kecil lalu tangan kanannya menongkah dagu. “Bukankah di balik pernikahan ada kebahagiaan? Aku senang jika ibuku bahagia.” Ucapnya tegar. Meski dalam hatinya sendu.
            “Eh, ya-iya, m-mungkin. Tapi–.” Billy terhenti.
 “Lupakanlah, yang penting kau sudah mengatakan berita penting tadi.” Sela Dion, seketika ekspresinya berubah. “Sekarang aku yang akan bertanya. Bicara soal pernikahan, apa kau sudah menikah? Aku penasaran, mungkin hanya aku satu-satunya keluarga yang tak kau undang ke acara pernikahanmu.”
            Billy terkesiap, lalu tergelak. Tiba-tiba suasana menjadi lebih ringan. “Buat apa kau bertanya hal itu? Tentu saja belum.” Jawabnya
            “Umurmu sudah 28 tahun, sudah seharusnya kau berkeluarga. Aku kasihan kepadamu, bisa-bisa kau jadi bujangan tua.”  Ucap Dion dengan nada mengejek.
            “Belum dapat saja.” Jawab Billy singkat.
            Dion menyeruput kopinya. “Bagaimana kalau Merry?”
            Mata Billy terbelalak, lalu ia berusaha menahan tawa. “Merry, ya? Ia memang menarik. Tapi mana mungkin aku menikah dengan wanita yang mirip dengan robot. Kadang berbicara, apalagi keluar rumah, yang ia lakukan hanyalah berdiri di depan kasir, menulis partitur, dan menyiapkan sarapanku. Parahnya, masakannya tawar. Ia tampaknya tidak bisa melupakan kejadian dua tahun lalu. Ia belum bisa menerima kepergian adiknya yang meninggal karena penyakit mematikan itu.”
            Dion menunduk. “Ya. Aku juga berduka atas kepergian Letisha. Dan kau tahu? Aku teman kecilnya ketika aku masih di Bandung. Jadi mendengar ia meninggal membuatku terkejut.”
Billy mengangguk. “Ya, dia berubah karena itu.” Ia membuka jaketnya yang sedari tadi menutupi tubuhnya lalu menyampirkannya di punggung kursi.
Dion mendongakan kepala dengan mata disipitkan. “Dan saat ini, aku menemukan gadis dengan gejala yang sama.”
            Billy menumpahkan sedikit kopi yang ia minum. “Apa? Orang dengan penyakit yang sama?” Tanya Billy terkejut.
            “Tidak, tidak. Aku tidak tahu pasti apakah dia benar-benar sakit atau tidak. Tapi yang pasti ia sering merasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya seperti tangan dan kaki. Dia juga terlihat kurus. Gejala yang muncul persis dengan yang dialami Letisha.” Kata Dion.
            “Oh, kukira dia sudah menderita penyakit itu. Kalau begitu siapa namanya?”
            Sebelum mulut Dion membuka, sebelum Dion menjawab, tiba-tiba ada suara langkah kaki yang begitu keras di samping meja mereka, disusul suara lengkingan seorang perempuan dan bunyi dentingan benda kaca. Mereka berdua serentak menoleh ke arah suara itu. Semuanya terjadi di luar dugaan. Sampai-sampai Billy tak sempat mengantisipasinya.
            Secangkir kopi panas melayang dan jatuh membasahi baju Billy. Seketika hal itu membuatnya terkejut dan melompat dan kursinya.
            “Billy!”
            Billy mendengar suara Dion. Namun ia masih sibuk meniupi dadanya yang kini telah basah karena kopi tadi. Rasa panas seperti meliuk-liuk di atas kulitnya.
Meniupi, berteriak, telah ia lakukan namun rasa panas itu terus ada.
            “Billy! Billy, tenanglah!”
            Billy mendengar suara itu lagi. Tapi mana mungkin seseorang tenang disaat kopi panas mendarat di dada. Dion membantunya meniupi bagian kulit yang terkena kopi panas.
            “Clarisa?” Billy mendengar lagi suara itu untuk yang kesekian kalinya. Anehnya, kenapa bukan nama Billy yang disebutnya kali ini. Tapi ia tak memperdulikannya. Ia masih sibuk menempelkan es yang diberikan pelayan ke dadanya.
            Billy kemudian menundukkan wajah dan menatap seseorang yang sedang terbaring di lantai. Gadis berambut panjang, berkulit putih, berhidung mancung, tergeletak kesakitan.
            “Clarisa, kau tak apa-apa? Ayo kita ke rumah sakit, kita akan memeriksamu di rumah sakit.” Ucap Dion dengan nada khawatir. Terdengar berlebihan di telinga Billy.
            Billy hanya menatap heran keponakannya seraya menggurutu tidak jelas. Siapa gadis ini sampai-sampai ia begitu khawatir? Apakah teman? Pacar? Tidak, tidak! Mana mungkin Dion punya pacar.
            Clarisa bangkit dan berdiri di hadapan Dion. “Tidak.” Bantah Clarisa cepat. “Aku hanya…  aku tak apa-apa”
            “Tapi sebaiknya kita ke rumah sakit.” Kata Dion lagi. Kali ini dengan nada yang lebih cemas.
            “Tidak! Aku baik-baik saja.” Suara lembut Clarisa menampar wajah pria yang sedang menunjukan raut wajah kesal. Ia saling bertatapan dengan gadis bergigi gingsul itu. Clarisa juga balas menatapnya, dan seketika ia menahan napas saat melihat baju putih pria itu kini berubah menjadi hitam kecoklatan. Clarisa merasa sekujur tubuhnya berubah menjadi dingin. Pria itu hanya terdiam dengan ekspresi kesakitan, sesekali pria itu menggertakan gigi.
            “Sedang apa kau disini?” Tanya Dion, ia lalu memegang bahu Clarisa. “Baju kau basah.”
            Clarisa tersenyum kaku, ia tak berani menatap pria yang sedang bersama Dion. “Aku kehujanan. Aku berniat untuk ganti baju di toilet restoran ini, lalu menunggu hujan reda sambil minum. Aku belum bisa pulang soalnya jalan ke rumahku tergenang banjir.” Ia lalu memberanikan diri menatap Billy. “Maafkan aku. Aku tak sengaja.” Kata Clarisa, lalu menundukkan kepala lagi.
            Mata Dion beralih dari Clarisa ke pamannya. “Billy, kau tak apa-apa?” Tanya Dion khawatir.
            Billy tak menggubris. Pandangan tajamnya masih tertuju ke gadis itu, lalu menatap keponakannnya. “Ayo kita pulang.” Ucap Billy dengan setengah hati. Ia harus cepat-cepat ganti baju sebelum noda kopi itu benar-benar permanen di bajunya.
            Dion mengangguk, ia lalu menoleh ke arah Clarisa. “Ayo ikut bersama kami. Dia pamanku. Kau akan berteduh di rumah pamanku sampai banjir benar-benar surut.” Ucapnya seraya menunjuk Billy dengan dagu.
            Alis Clarisa terangkat samar. Ia lalu menoleh lagi ke  arah Billy. Dia? Pamannya? Ucapnya dalam hati. Tentu saja banyak yang heran. Wajah mereka tidak menunjukan adanya perbedaan umur.
            Billy menatap dengan tajam gadis itu. Ia memberenggut kesal lalu segera berjalan ke luar. Ia tidak peduli dengan gadis itu.
●◙●
            Mereka bertiga sedang menaiki tangga ruko. Merry sudah menutup ruko sejak tadi dan sekarang ia sudah pulang.
            Clarisa takut melihat tatapan tajam pria itu. Ia enggan melangkah masuk, namun Dion tetap memaksanya.
            Tanpa bersuara, menoleh, atau mempersilahkan masuk, Billy langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan tegas. Seketika itu membuat jantung Clarisa berdebar kencang.
            “Dion, sebaiknya aku pulang.” Kata Clarisa dengan wajah tertunduk. Perlahan ia mulai melangkah mundur.
            “Tidak-tidak!” Bantah Dion cepat. “Kau tidak akan benar-benar pulang ke rumah. Di luar sedang hujan deras.”
            Clarisa terdiam.
            “Kau dari mana sampai basah begini?” Tanya Dion. Ia lalu berjalan ke jendela dan mengambilkan handuk lalu menutupinya di kepala Clarisa.
            Bibir Clarisa mulai memucat. “Aku baru saja pulang dari rumah Yuka dan Yuki. Lalu Ayahku menelfon. Katanya semua jalan pulang terendam banjir. Makanya aku memutuskan untuk berteduh di restoran itu sekaligus membeli minuman hangat.” Jelas Clarisa pelan.
            “Baiklah. Kau bilang tadi ingin ganti baju, kan?”
            Clarisa mengangguk.
            “Dari sini lalu belok kiri, dan kau akan menemukan kamar mandi. Selagi kau mengganti baju, aku akan membuatkan minuman hangat.” Kata Dion kepada Clarisa.
            Clarisa benar-benar tak menyangka lelaki ini bisa berubah menjadi sangat perhatian. Seperti penjahat yang mendapat hidayah lalu menjadi kesatria berkuda putih. Tapi begitulah sifatnya, Dion tak pernah tega melihat perempuan yang kesulitan. Apalagi tersakiti. Setiap kali melihat perempuan seperti itu, pikirannya langsung terbayang wajah ibunya. Meski kini ia tahu ibunya baik-baik saja.
            Clarisa mengangguk dan pergi mengganti baju. Sekitar lima menit, ia kembali ke ruang tamu dan mendapati Dion dan pria menakutkan itu sedang duduk bersebelahan seraya menonton Tv. Wajah pria itu masih datar meski acara yang ditontonnya adalah komedi.
            “Minumlah, aku membuatkan teh hangat untukmu.” Ucap Dion.
            Clarisa membuka langkah lalu terhenti karena ponselnya berbunyi. Dengan segera, ia mengambilnya dari dalam tas lalu menekan tombol ‘jawab’ dan menempelkannya ditelinga.
            “Hallo, Bu… Aku baik-baik saja… Sudah surut?” Ia lalu menatap Dion. “Baiklah, aku akan segera pulang.” Clarisa mengakhiri pembicaraannya.
            “Kau akan pulang? Kalau begitu aku akan mengantarkanmu pulang menggunakan mobil pamanku.”
            “Tidak, tidak, aku bisa pulang sendiri, lagi pula hujan sudah berhenti.” Clarisa melangkah cepat namun terhenti karena Dion menggenggam pergelangan tangan kirinya. “Aw.” Seketika ia meringis kesakitan.
            Alis Dion terangkat. “Apa? Kenapa? Kenapa tanganmu?” Tanya Dion ketika menyadari ada benjolan di pergelangan tangan Clarisa. Namun ia tak bisa melihatnya secara langsung karena tertutupi sweater yang Clarisa gunakan.
            Clarisa menyunggingkan senyum masam. “Tidak apa-apa. Ini hanya alergi biasa.”
            Dion mengernyitkan dahi. “Beberapa minggu lalu kaki, sekarang tanganmu. Bukankah itu aneh?”
            “Tentu saja tidak. Kau tahu sendiri soal kakiku, dan bengkak di tangan kiriku hanyalah alergi biasa. Jadi tak perlu  dikhawatirkan.” Jawab Clarisa.
            Dion mengangguk pelan dengan senyum kaku di wajahnya. “Kalau begitu aku akan mengantarkanmu pulang.”
            Gadis itu menggeleng cepat.
            “Dion!” Suara Billy terdengar dari belakang. Lebih tajam dari biasanya. “Tak baik memaksa seperti itu. Biarkan saja dia pulang sendiri.” Kata Billy. Raut wajahnya masih kesal.
            Dion melepas gadis itu lalu melayangkan senyum tipis.
            “Maafkan aku, dan terima kasih.” Ucap Clarisa kepada Billy seraya menunduk, lalu segera menutup pintu dengan perlahan. Billy hanya diam dan memberenggut kesal.
            Kini di ruangan itu hanya ada Dion dan Billy.
            “Apa dia pacarmu?” Tanya Billy tiba-tiba.
            Dion tertegun, lantas tetawa pelan. “Bukan. Dia itu gadis yang kuceritakan tadi.”
            Mata Billy terbelalak, alisnya terangkat. “Apa?! Dia gadis itu? Kau cukup dekat dengan dia. Jangan-jangan –.” 
            “Tidak, tidak,” Sela Dion. “Aku tak mungkin suka dengan gadis itu. Aku hanya menganggapnya sebagai teman bicara yang asik.”
            Billy mengernyitkan dahi lalu mengetuk pelan kepala Dion. “Jangan sampai kau suka padanya. Aku tak ingin ada Merry kedua di kehidupanku.”
            Dion hanya terkekeh.







Eighth
HE IS NOT AN ANGEL





            Bunyi gaduh datang dari setiap sudut. Lemparan-lemparan kertas lalu-lalang di hadapannya. Ada beberapa yang mengenainya tapi ia tidak menggubris. Ia mendongakan kepalanya dan menatap langit-langit kelas. Kerajinan tangan siswa menggantung di sana. Sesekali ia mengetuk-ngetuk kepalanya dengan pulpen, lalu menunduk lagi mengamati deretan kalimat yang ia tulis. Di bagian kanan atas kertas itu bertuliskan “By:Clarisa”. Ia memang hobi menulis. Ia menulis semua kalimat itu dengan tangan kirinya yang bengkak.
            Akhir-akhir ini Clarisa lebih sering menghabiskan waktu luang dengan menulis cerita-cerita pendek. Ia sudah jarang menggambar karena kini tangan kiri yang menjadi dominannya, semakin tidak stabil. Memang bengkaknya tidak bertambah besar, masih berukuran seperti lateral malleolus di tulang kaki, namun rasa sakit yang Clarisa alami semakin sering datang, dan kini rasa sakit yang ia alami bukan hanya di tangan kiri, melainkan juga lutut kaki kanan. Oleh karena itu, kadang dirinya berjalan sedikit pincang, kadang pula tidak. Rasa sakit di bagian lututnya datang dan pergi begitu saja. Ia mencoba menahan rasa sakit yang ia derita. Namun semakin berjalannya waktu, rasa sakit itu semakin menyiksanya dan membatasi segala aktivitasnya.
Memang akhir-akhir ini Clarisa ditemani ibunya rutin melakukan Medical Checkup di rumah sakit Profesor. Kandou. Ia teringat lagi percakapan beberapa waktu lalu yang tak sengaja ia dengar di koridor rumah sakit antara ibunya dan Dokter Jhony.
            “Anda  tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan pada diri anak anda. Jika anda ingin anak anda sembuh, cepat pertimbangkan usulan program pengobatan. Karena mengoperasi pun tingkat keberhasilannya sudah sangat kecil.”
            Ketika mendengar penjelasan dokter, Clarisa hanya tertegun dan menelaah lagi maksud dari pria tua itu. Program pengobatan? Operasi? Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya. Dan kini ia sedang menyelidiki penyakit apa yang sedang ia derita.
            Tiba-tiba kegaduhan di kelas terhenti dan membuat Clarisa membuyarkan lamunannya. Lalu ia mengangkat kepala dan menatap seseorang yang muncul dari balik pintu. Yang muncul adalah seorang pria. Pria itu menggunakan kameja biru lengkap dengan dasi yang menggantung di dadanya Ia menatap pria itu dalam-dalam dan matanya melebar seketika pada saat mengingat pria itu. Saat pria itu menembakkan tatapannya ke Clarisa, seketika tubuh Clarisa mati rasa dan jantungnya berdebar kencang.
            “Selamat pagi. Perkenalkan, saya guru seni musik baru disini. Nama saya Billy Prismatama.” Ucap pria itu dengan nada yang ramah.
            Clarisa menahan nafas sesaat. Lalu ia mengangkat buku tulis di meja dan menutupi wajahnya.
            Oh, tidak! Pria menakutkan itu. Gumamnya dalam hati.
            “Baiklah, kita akan memulai pelajarannya.” Kata Billy lantas berdeham. “Saya tadi lewat di ruang musik. Ruangannya cukup luas. Tapi sayangnya kata wali kelas kalian, kelas kalian belum pernah memakai fasilitas itu. Maka dari itu kita akan belajar di sana mulai sekarang.”
            Serentak seluruh murid bersorak enggan. Namun Clarisa diam saja, ia hanya menoleh ke belakang mencari seseorang. Namun orang yang ia cari sudah lebih dulu pergi ke ruangan musik. Kali ini Clarisa dalam masalah.
●◙●
            Sekarang Clarisa semakin takut. Ia dan siswa lainnya disuruh untuk memainkan beberapa alat musik. Tapi tak ada satupun yang Clarisa tahu. Ia memang penikmat musik yang baik, tapi ia adalah pemain musik yang buruk.
Clarisa melangkah pelan ke arah Dion. Lelaki itu tampak sibuk memainkan kolintang. “Hey!” Panggil Clarisa.
            Dion tak mendengarnya karena suara alat musik memenuhi seluruh ruangan.
            “Hey, Mr. Ice!” Panggil Clarisa lagi, kali ini dengan nada yang tajam.
            Dion pun menoleh dengan pandangan dinginnya. “Ada apa?” Sahutnya.
            Walaupun sikap Dion pada Clarisa membaik, tidak berarti ia mendadak menjadi malaikat. Wajah datar dan gaya bicara dingin itu tetap awet. Mungkin sikap manis yang ditunjukkan Dion tiga hari lalu muncul karena melihat Clarisa basah kuyup. Tentu saja, melihat orang yang dekat denganmu basah kuyup dan kedinginan pasti kau akan punya rasa peduli.
            “Mr. Ice.” Panggil Clarisa lagi ketika ia sudah di samping Dion. Kini ia benar-benar memanggil Dion dengan sebutan itu. “Kenapa pamanmu bisa jadi guru di sini?” Tanya Clarisa dengan nada berbisik.
            Dion hanya terkekeh. “Entahlah. Katanya ia bosan di rumah. Makanya aku menyarankannya untuk menjadi guru honorer di sekolah ini untuk sementara waktu.”
            Mata Clarisa terbelalak. “Apa? Kau sudah gila.” Katanya sesekali ia menggigit bibirnya sendiri.
           Clarisa tidak mungkin lupa kejadian tiga hari lalu ketika ia menumpahkan kopi panas di dada Billy. Tidak, yang benar bukan dia, tapi pelayan, namun pelayan itu tidak mungkin melempar secangkir kopi ke tubuh Billy jika Clarisa tak menabraknya. Karena kejadian itu, wajah menyeramkan Billy terus terngiang di kepala Clarisa. Dan sekarang ini ia benar-benar tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.
●◙●
            Bel istirahat telah berbunyi menandakan jam seni musik telah berakhir. Clarisa menarik napas lega dan cepat-cepat keluar dari ruang musik. Tentu ia tidak mau berlama-lama di ruangan musik itu bersama pria dengan tatapan menakutkan.
            “Clarisa! Dion!” Suara itu terdengar dari arah belakang dan menghentikan langkah mereka. Dion menoleh, sedangkan Clarisa hanya membatu dengan napas tertahan.
            “Bisakah kita mengobrol sebentar?” Billy berjalan ke meja guru di depan ruangan. Ia terkekeh dalam hati ketika mendudukinya. Ia seperti tak percaya dirinya bisa mengajar.
            Dion sudah ada di hadapan Billy. Sedangkan Clarisa masih mematung membelakangi mereka. Ia benar-benar trauma dengan tatapan tajam pria itu, bak tatapan singa yang akan menerkam mangsanya.
            “Clarisa, ada apa?” Tanya Billy.
            “Dia takut padamu.” Sela Dion.
            Billy tertawa keras lalu mengembuskan napas panjang. “Ayolah, aku adalah pria paling ramah di dunia. Jadi tak usah takut begitu.”
            Clarisa menyipitkan matanya. Ramah?Apanya yang ramah?
            “Clarisa, tak usah takut. Kemarilah.” Ajak Dion menenangkan.
            Perlahan ia membalikkan badan dan berjalan ke arah Billy dengan enggan. Ia tersenyum masam ketika Billy melempar senyum lebar kepadanya.
            “Oh, ya, aku melupakan sesuatu.” Billy mengangkat setumpuk kertas lalu mengambil secarik map berwarna biru lalu memberikannya kepada Clarisa. “Bisakah kau mengantarkannya kepada sekretaris di kelasmu? Aku membutuhkan nama-nama siswa agar aku lebih mudah memberi nilai. Setelah itu bawa itu kemari.”
            Clarisa mengangguk, dalam hatinya masih ketakutan. Ia meraih map itu dan keluar dari ruangan. Tersisa Dion dan Billy di dalam ruangan.
            “Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Dion dengan ciri khasnya.
            “Ayolah, bung, kau tak perlu sedingin itu kepadaku.”
            Dion terkekeh lalu menatap Billy.
            “Bagaimana kabar ayahmu?” Tanya Billy.
            Dion membuang muka. Ia paling benci jika harus berbincang tentang ayahnya. “Dia baik-baik saja.” Jawabnya datar.
            Billy terseyum. “Tampaknya kau masih marah dengan ayahmu.” Billy berdeham. “Lalu bagaimana kabar saudara tirimu?”
            Alis Dion berkerut samar. Ia cukup kaget mendengar pertanyaan pamannya. “Kenapa kau tahu? Dari mana kau tahu?” Tanya Dion tanpa jeda.
            Billy bangkit dari kursinya dan berdiri di hadapan jendela seraya menarik napas berat. Aroma tanah basah menyergap hidungnya. “Margareth menceritakannya kepadaku.”
            Mata Dion terbelalak. “Ibuku tahu?”
            “Tentu saja.” Billy berbalik badan. “Ia tampaknya mengirim orang untuk mengamati keluargamu.”
            Dion tertegun. Seketika pikirannya kosong. Dion melempar pandangan lulus-lurus dan bibirnya terkatup rapat. Ia tak menyangka ibunya masih ingin mencari tahu kabar ayahnya. Bahkan mungkin, ibunya tahu bagaimana kehidupan Dion saat ini.
            “Biarkan saja, aku tak peduli dengan itu.” Kata Dion lalu bangkit dan berjalan ke pintu.
            Billy menatap punggung Dion dengan heran. “Hey! Kau mau kemana?”
            “Mau ke toilet.” Jawab Dion tanpa menoleh.
●◙●
            Tak sampai 10 menit, gadis yang di perintahnya kembali lagi ke ruangan musik. Clarisa berdiri dengan jarak yang begitu jauh dari Billy.
            “Ah, kau kembali.” Billy mengangkat alis dengan senyum kecil di bibirnya. “Silahkan duduk.”
            Clarisa duduk di hadapannya dengan enggan menatap wajah pria itu. Ia terus menunduk.
            “Ayolah, tak usah takut begitu.” Billy tergelak. “Aku sudah memaafkanmu dan melupakan kejadian itu.”
            Mendengar ucapan Billy, Clarisa menjadi sedikit tenang. Lalu ia menarik napas berat dan memberanikan diri menatap pria itu. “Ada yang bisa kubantu?” Tanyanya.
            “Aku hanya ingin bicara sebentar denganmu,” Billy berdeham. “Seberapa dekat kau dan Dion?”
            Clarisa menggeleng cepat dan tersenyum samar. “Tidak terlalu dekat. Hanya sebatas teman.”
            Billy mengangguk pelan. “Bukankah kau juga teman bicara Dion di ruangan ini?” Tanya Billy seraya menatap seantero ruangan.
            Clarisa tersenyum kaku. “Apa saja yang Dion katakan padamu?”
            “Tidak banyak.” Jawab Billy. Melihat senyum Billy, Clarisa tahu Dion telah bicara banyak hal tentang mereka berdua.
            Billy berdiri dan berjalan ke arah cermin. Ia benar-benar memperhatikan penampilannya.
            “Dion dulunya tak sedingin itu, namun sikap introvernya muncul ketika ayah dan ibunya bercerai, dan kini ibunya sudah pergi meninggalkannya.” Jelas Billy. Ia masih sibuk menyisir rambutnya.
            “Ya. Aku turut berduka cita soal ibunya.” Ucap Clarisa dengan nada sendu.
            Billy mengernyitkan dahi. “Berduka cita?” Tanya Billy dengan nada naik.
            Clarisa menatap Billy. “Ya. Dion bilang ibunya sudah meninggal.”
          Billy tertawa keras. “Tidak, tidak. Dia berbohong. ibunya masih hidup dan sekarang tinggal di Australia.”
            “Hah?! Dia berbohong?” Clarisa menatapnya dengan alis terangkat.
            “Begitulah sifatnya. Ia tidak menginginkan orang lain mengetahui keadaan keluarganya.” Billy mengkedikkan bahu. “Entahlah, mungkin ia tak mau orang lain terlihat peduli dengannya. Dia sekarang tinggal dengan ayahnya. Nicho Mahesa. Meski tinggal serumah, ia membenci ayahnya.”
            “Pasti sulit menjadi dia. Pantas saja Dion membenci hidupnya.” Kata Clarisa.
            Billy menarik napas panjang, lalu berkacak pinggang. “Kurasa sekarang kau sudah lebih mengenal Dion. Jadi kau harus terbiasa dengan sikapnya.” Ucapnya tersenyum lalu pergi.
            Clarisa mengakui sikap Dion adalah sikap yang ia benci. Tapi setelah mendengar cerita Billy, kini ia sadar bahwa semua orang juga akan bersikap seperti itu.












Ninth
THE AIR DOESN’T CARE ANYMORE







            Justin berdiri di depan gerbang sekolah seraya menatap tukang kebun yang sedang menyirami tanaman. Namun ia tidak benar-benar memperhatikan orang itu. Ia berusaha berdiri tegak meski sudah 15 menit ia menunggu. Menunggu seseorang yang akan muncul dari balik pagar gerbang sekolah. Tapi sayangnya gadis yang ia tunggu tak kunjung datang. Yang ada hanya siswi-siswi yang menatapnya dengan mata berbinar. Justin balik menatap mereka dengan kharismanya dan seketika menghipnotis kaum hawa. Apalagi lelaki berambut coklat bermata biru itu adalah kapten tim voli yang bertubuh atletis. Siapa yang tidak terpukau?
            “Mana dia?” Gumam Justin seraya mendengus pelan. Ia mengeluarkan ponsel dan menekan beberapa tombol. Ya, yang memiliki nomor itu adalah gadis bergigi gingsul, Clarisa. Telepon berdering berkali-kali namun Clarisa tidak menjawab. Tampaknya gadis itu benar-benar sibuk, pikir Justin.
            Akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Namun baru beberapa langkah, sosok gadis itu muncul bersama sahabat-sahabatnya.
            Mereka berjalan ke arah Justin, tetapi masih belum melihat Justin yang sudah keram berdiri lama. Clarisa mengatakan sesuatu sembari menunjukan sebuah kertas yang dipegangnya. Mereka sedang sibuk mengomentari sesuatu yang tertulis di kertas itu.
            Justin tertegun seraya berpikir, gadis itu semakin cantik juga.
            “Kurasa cerpen ini sangat menginspirasi.” Puji Yuki.
            “Ya,” Yuka membernarkan. “Kenapa tidak dikirimkan ke majalah saja?”
            Clarisa tersenyum malu dan menatap kedua sahabatnya secara bergantian. “Tidak, tidak.” Clarisa merendah. “Aku masih harus banyak belajar lagi.”
            Tepat pada saat itu ia melihat Justin dan ia merekahkan senyum. “Hai Justin!” Sapanya hangat.
Yuka dan Yuki ikut menoleh ketika melihat orang yang disapa Clarisa, mereka segera memperlambat langkah dan membiarkan Clarisa menghampiri lelaki itu sendirian.
Justin melepas senyum kepada mereka semua, lalu matanya terpaku pada Clarisa. “Hai, Clarisa. Kau dari mana? Kenapa baru keluar?”
“Aku tadi masih harus menyelesaikan cerpen.” Sahut Clarisa. “Untung aku ditemani Yuka dan Yuki sampai cerpen ini selesai.” Kata Clarisa. Ia melirik saudara kembar itu sekilas.
Justin menatap sehelai keras yang dipegang Clarisa. “Ternyata kau bukan hanya seniman yang hebat, tapi kau juga penulis yang piawai.” Puji Justin. Lalu ia membuka tasnya dan mencari sesuatu. Setelah mendapatkannya, ia menyodorkannya kepada Clarisa. “Ini.”
Clarisa menatap heran baju yang disodorkan Justin. Alisnya terangkat seraya memiringkan kepala. “Apa ini?”
Justin tersenyum. “Ini adalah kostum yang akan dipakai oleh tim voli putri di turnamen dua minggu depan.” Justin berdeham.”Nama-namanya sudah di umumkan tadi siang, dan kau masuk ke dalam tim.”
Clarisa hanya tersenyum kaku. Ingin ia berteriak kegirangan setelah mendengar kabar itu. Tetapi kondisi tubuhnya seperti membungkam mulutnya. Dengan setengah hati ia mengambil kostum yang berwarna biru itu. Ia tidak berkomentar soal turnamen yang disebutkan Justin, ia hanya bingung karena tim masih menginginkan kehadirannya padahal sudah sebulan ia tidak mengikuti latihan. Itu karena ia masuk rumah sakit dalam rangka pengobatan kakinya dan juga karena perban di tangannya. Memang tak banyak orang yang tahu, itu karena Clarisa berusaha menyembunyikan bengkak di tangannya di balik seragam lengan panjang.
“Bagaimana dengan kakimu? Sudah tidak ada masalah?” Tanya Justin seraya menatap kaki kanan Clarisa.
Clarisa menggoyang-goyangkan kaki kanannya. “Lihat, kakiku sudah sembuh diluar dugaan, hanya membutuhkan waktu dua minggu.”
Justin menyunggingkan senyum lalu ia mengusap ubun-ubun Clarisa dengan telapak tangannya. Semua gadis yang melihatnya langsung berteriak tertahan namun lengkingan-lengkingan masih terdengar.
Justin hanya terkekeh melihat situasi di sekitar. Ia kembali menatap gadis yang membeku di hadapannya seraya berkata, “Apakah kau ada waktu malam ini?”
Clarisa terdiam sejenak sembari berpikir, sesekali ia menggigit bibirnya. “Ya.” Jawabnya ketika mengetahui ia tidak akan sibuk malam ini.
Justin berdeham. “Maukah kau makan malam di rumahku?”
Mata Clarisa terbelalak. Rumah? Gumamnya. Ia sangat terkejut. Tentu saja, siapa yang tidak akan terkejut jika seorang pangeran mengajakmu makan malam? Apalagi di rumah sang pangeran.
Tanpa berpikir panjang, Clarisa mengangguk tanda setuju.
“Baiklah, aku akan menjemputmu di halte dekat rumahku.” Ucap Justin seraya melambaikan tangan.
Clarisa membalas lambaian itu sambil melempar senyum lalu pergi. Yuka dan Yuki mengekor di belakangnya. Mereka tampak kegirangan ketika mendengar ajakan Justin.
Di balik pembicaraan itu, ada seseorang yang sedang mendengarkan dengan seksama pembicaraan itu. Dia berdiri di balik pagar dan memasang telinga baik-baik. Dialah Mr. Ice, Dion Mahesa. Tak ada yang sadar hawa keberadaannya di tempat itu.
Dion tak bermaksud menguping, hanya saja ia sudah ada di situ sebelum pembicaraan itu dimulai. Ia menunggu Billy sampai habis mengajar.
Tiba-tiba terdengar suara perempuan sedang berbicara dengan Justin. Nama Justin terucap dari bibir perempuan itu. Dion pun bergeser dua langkah dan mengintip di antara lekukan pagar.
“Maaf, Jesica, aku tidak bisa. Aku punya janji dengan seseorang.” Ucap Justin dengan raut wajah kebingungan.
Gadis itu merayu manja. “Ayolah, Justin, Kau tak mungkin menolak undanganku, kan? Ini undangan ulang tahunku yang ke delapan belas. Dan sudah pasti pestaku takkan ramai tanpamu, Justin. Batalkan saja janjimu dengan orang itu, dan buat hari ulang tahunku menjadi benar-benar indah.”
Raut wajah Justin tampak ragu. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal seraya berkata, “baiklah, aku akan membatalkannya. Aku akan meneleponnya sebentar malam untuk membatalkannya.”
Gadis itu tersenyum lebar lalu mengelus pipi justin dan mundur beberapa langkah seraya berkata, “Jalan Wolter Monginsidi nomor 17.” Lalu gadis itu berbalik dan berjalan. Sesekali ia masih menoleh dan melempar senyum ke Justin yang membeku dengan senyum masam lalu berjalan ke arah yang berlawanan.
Dion menyipitkan mata seraya menatap punggung ke dua orang itu secara bergantian. Dion benar-benar telah mengetahui sifat asli Justin.
Selepas kepergian Justin dan gadis itu, Dion berlari secepat mungkin ke arah pertigaan yang berjarak seratus meter dari gerbang sekolah. Tentu saja ia akan memberitahu Clarisa soal pembatalan sepihak oleh Justin. Meski ia sempat ragu apakah Clarisa akan percaya atau tidak.
Dengan napas yang terengah-engah, ia berdiri di ujung jalan dan menoleh ke kiri dan kanan secara bergantian. Namun ia tidak menemukan sosok Clarisa. Dion yakin Clarisa telah pergi tanpa menunggu lama di pertigaan jalan ini.
Sial, ia terlambat beberapa menit.

●◙●
            Bunyi yang tak terlalu gaduh terdengar dari arah dapur. Clarisa yakin, ibunya pasti sedang sibuk menyiapkan makan malam. Tapi sayangnya ia tidak bisa meramaikan meja makan di rumahnya malam ini. Itu karena janji yang dibuatnya dengan Justin. Tentu saja ia tidak akan menolak ajakan Justin, meski ketika ia memberitahu kepada ibu dan ayahnya, mereka sempat melarangnya. Tapi orangtuanya sadar betul bahwa mereka tidak bisa melarang anak mereka untuk mengetahui apa arti ‘menyukai seseorang’. Mereka juga tahu betul Clarisa menyukai Justin karena Clarisa terlalu banyak menceritakan lelaki itu ketimbang teman-teman perempuannya. Clarisa terlalu sulit untuk menyembunyikan perasaannya.
            Setelah benar-benar siap dari segi penampilan, ia juga harus menyiapkan mentalnya. Ia lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan di depan cermin.
Clarisa membuka mata perlahan dan mendapati dirinya dengan penampilan yang anggun. Ia memakai baju putih berlengan panjang dan rok hitam melewati lututnya. Ia lalu menutup dirinya dengan jaket coklat agar terhindar dari udara musim hujan yang tak bersahabat. Matanya berkilat-kilat menunjukkan rasa gembiranya. Dengan senyum kecil, Clarisa bergumam, “aku siap.”
            Clarisa segera menuruni anak tangga dan berdiri di ambang pintu ruang makan. Ia menatap meja bundar. Baru kedua adiknya yang tampak sudah siap makan malam tapi tampaknya Anna belum selesai menyiapkan makan malam. Clarisa menatap lurus-lurus ke dalam dapur. Di sana ibunya sedang sibuk memotong wortel dan kentang. Mata Clarisa beralih lagi ke kedua adiknya yang sedang duduk di meja makan dengan wajah muram.
            “Kenapa kalian tidak membantu ibu?” Tanya Clarisa seraya berjalan ke arah kedua adiknya.
            “Kami terlalu lapar untuk mengeluarkan tenaga di dapur.” Jawab Angel dengan nada datar.
            Adik Clarisa yang paling bungsu, Stanly, mengangguk membenarkan ucapan kakaknya.
            Sebelum Clarisa membuka mulut untuk membantah alasan kedua adiknya, tiba-tiba terdengar suara lembut dari dapur dengan nada yang menenangkan. “Tidak apa-apa, ibu bisa menyelesaikan semuanya.” Anna berjalan ke pintu yang menghubungkan dapur dan ruang makan. Matanya melebar ketika mendapati anaknya dengan penampilan yang luar biasa. “Wah, kau cantik sekali, sayang.”
            Clarisa tersenyum dan berjalan ke sebuah lemari kecil dan mencari sebuah kotak putih seraya berkata, “Aku tidak mungkin membuat Justin malu di hadapan orangtuanya. Kuharap orangtuanya juga terkejut dengan penampilanku.”
            “Ya, tentu saja.” Kata ibunya. “Tampaknya ayahmu akan sedih melihat kursimu kosong.” Ibunya menatap kursi makan yang biasa diduduki Clarisa.
            Clarisa tertawa kecil. “Ya, aku minta maaf, tapi aku tidak sanggup melewatkan ajakan Justin.”
            “Mm.” Anna megangguk. “Sebelum pergi, kau harus meminum obatmu.” Anna kembali ke dapur.
            Clarisa mengangguk. “Ya, aku baru saja akan melakukannya.” Katanya seraya membuka laci satu per satu hingga ia mendapati secarik amplop putih berlabel RS[6]. Prof. Kandou di laci ke tiga. Itu tentu saja bukan obat. Melainkan sesuatu yang membuatnya penasaran karena ada label dari rumah sakit. Pikirannya langsung berkelebat. Ia tertegun menatap amplop itu. Dengan perlahan ia membukanya untuk mengetahui apa isinya. Matanya melebar ketika membaca nama pasien yang tertulis di kertas di dalam amplop itu . Clarisa Artayasa. Surat itu merupakan surat rekomendasi pengobatan kemoterapi. Clarisa bingung dan berusaha berpikir keras tentang apa yang ia temukan.
            Tiba-tiba suara Anna membuyarkan pikiran Clarisa. “Clarisa?” Panggilnya dengan lembut. “Ibu sudah menyiapkan air putih untukmu.”
            Clairsa cepat-cepat mengatur kembali posisi amplop di dalam laci dan segera mengambil kotak obatnya di laci ke dua, lalu segera bangkit dan berjalan ke dapur.
Ia menelan obatnya lalu meneguk segelas air sampai habis.
            “Ibu, aku boleh bertanya sesuatu?” Tanya Clarisa ketika ia sudah berada di dapur.
            “Apa?”
            Clarisa menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. “Aku… Sebenarnya aku sakit apa?”
            Ibunya terdiam dan menatap lurus-lurus tomat yang dipotongnya. Bibir Anna seperti membeku. Otaknya berpikir keras saat memikirkan jawaban apa yang harus diberikan kepada anak sulungnya. Wajah manis anaknya itu tak akan ia ubah meski ada badai sekalipun.
            “Bu?” Tanya Clarisa lagi, kali ini dengan nada yang mendesak.
Anna menoleh dan melempar senyum menenangkan kepada anaknya. “Bukankah Ibu sudah bilang kalau kau hanya alergi, dan alergi itu makin parah dan menyerang tulang karena kau kekurangan kalsium dan vitamin D. Dr[7]. Jhony sudah menjelaskannya kepada Ibu.” Jelas Anna lalu kembali sibuk dengan tomat yang dipotongnya. “Cepat pergi, kau hampir terlambat, sayang.”
            Clarisa tersenyum kaku seraya mengangguk pelan. Dalam otaknya ia sedang berpikir keras tentang kondisi apa yang menyerang tubuhnya. Memang terdengar masuk akal apabila seseorang kekurangan kalsium dan vitamin D, itu membuat seluruh tulang menjadi tidak sehat. Tapi apakah benar begitu? Sudah hampir dua minggu apakah belum membaik? Apakah kondisi tubuhnya akan benar-benar pulih setelah mendapat kalsium dan vitamin D juga beberapa obat anti alergi? Dan pertanyaan pamungkasnya, jika tidak, apakah aku akan sembuh?
            Semakin hari, tak ada perubahaan yang berarti pada tubuhnya. Setelah tangan kiri, kini kaki kanan yang sering terasa nyeri. Tapi untunglah ia masih bisa berjalan seperti orang normal. Karena jika tidak, ia tidak mungkin makan malam bersama Justin dengan kaki pincangnya.
●◙●
            Clarisa melangkah maju mendekati jalanan yang sepi. Sudah dua puluh menit ia menunggu tanpa bosan dan mendapati dirinya berada di pinggir jalan yang sunyi dan disinari cahaya bulan yag tak terlalu berkilau. Setumpuk awan menghalangi cahaya-cahaya itu.
            Udara dingin musim penghujan menerjangnya, tetapi perasaan yang membuncah dalam dirinya merampas udara dingin tersebut. Namun lama-kelamaan perasaan yang membuncah kini luntur dan berubah dengan perasaan bosan karena menunggu. Memang ‘menunggu’ adalah kata yang mengerikan bagi setiap orang. Tapi Clarisa mencoba mengabaikannya, ia berusaha menerbitkan bongkahan asa – berharap Justin datang dengan senyum manisnya. Akan tetapi semakin Clarisa berharap, kehadiran laki-laki itu semakin dibutuhkan.
Kini udara benar-benar menusuk dan memaksanya merapatkan jaket coklatnya.
            Ponsel! Pikir Clarisa sambil mengangkat kening. Ia membuka tas dan mengaduk-aduk isinya mencari ponselnya. Setelah mendapatkan ponsel putih itu, ia menekan tombol ‘panggil’. Ia sangat berharap lelaki itu mengangkat panggilannya. Tetapi ponsel lelaki pujaannya sedang berada di luar jangkauan. Ia tidak menyerah begitu saja. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Justin – berharap lelaki itu akan membacanya.
            Hingga lima belas menit berlalu, batang hidung Justin tak kunjung muncul. Pandangan Clarisa kini sulit untuk fokus dan dadanya tiba-tiba sesak. Ia menundukkan kepala dan merasakan ada sesuatu yang berputar di kepalanya. Ia memejamkan mata seraya mengerang tak tertahan. Sesekali ia memijat pelipisnya berharap hal itu bisa meredakan rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya, walaupun ia tahu itu sia-sia.
            Guyuran hujan akhirnya jatuh membasahi bumi di ikuti hembusan angin yang semakin mencengkram kulitnya. Ia berusaha menggerakan kakinya namun langkahnya seperti sulit menerima perintahnya. Ia meraih tiang pembatas di pinggir jalan berharap hal itu dapat membantunya berdiri. Ia berpikir ia akan benar-benar pingsan di tempat sepi ini, di tengah hujan, di tengah desiran udara dingin, tanpa ada yang menolong. Ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi padanya.
            Tepat disaat itu, seseorang memakaikan sebuah jaket ke kepalanya,  ia merasakan ada seseorang yang telah berdiri tegap di sampingnya.
            Clarisa mengerjap lalu senyum lebar terlukis di bibirnya. Ia pun menoleh dengan perlahan namun tak bisa mengenali orang itu karena pandangannya yang kian memburam.
            “Buat apa kau berdiri seperti orang bodoh di tengah hujan?” Tanya orang itu dengan nada datar.
Kini Clarisa benar-benar tahu siapa orang itu.
            “Dion, kenapa kau datang?” Tanya Clarisa dengan bisikan serak, tapi ia berusaha menyembunyikan kondisinya.
            Dion menatap lurus ke depan. “Justin tidak akan datang karena dia sudah pergi ke pesta ulang tahun Jesica. Kukira ia sudah meneleponmu?”
            Clarisa menundukkan wajah. Seulas senyum masam merekah di  wajah pucat pasinya. “Tidak, dia tidak meneleponku.” Clarisa melirik Dion. “Aku sudah mencoba menghubunginya namun dia tidak bisa dihubungi. Kuharap Justin tidak akan marah karena aku terlalu banyak mengirim pesan kepadanya.”
            Mendengar ucapan itu, Dion mendesah keras. “Seharusnya dia yang merasa bersalah karena membiarkanmu kehujanan!” Suara Dion terdengar naik namun ada sebersit perasaan khawatir kepada gadis itu. “Seharusnya ia tidak mencampakkanmu seperti ini.” Ucapnya kali ini dengan nada yang berbisik.
            Clarisa hanya tersenyum dan berusaha mengatur napas. Ia mencengkram pembatas jalan – berusaha menyeimbangkan diri. “Kau terlihat seperti orang baik.” Gumam Clarisa lirih tanpa menoleh ke arah Dion.
            Dion mengerjap heran dan mengernyitkan dahi. Apakah selama ini ia menganggap Dion sebagai orang jahat? Ia tidak berkomentar soal ucapan Clarisa. Entah itu pujian atau ledekan. Dion tidak berkomentar.
            “Kau tahu, saat pertama kali aku melihatmu pada saat bersama seekor kucing, aku merasa kau benar-benar peduli terhadap sesuatu. Hatimu gampang tergerak. Namun entah mengapa kau berusaha menyembunyikan kepedulianmu dengan sikap acuhmu. Tapi aku tahu, di dalam lubuk hatimu, kau benar-benar peduli dengan sekitarmu.” Clarisa menelan ludah yang tercekat di lehernya lalu ia melanjutkan, “dan sekarang aku benar-benar kagum padamu. Karena rasa pedulimu membawamu kemari dan berdiri bersamaku di tempat ini. Ya, kau bukan hanya terlihat seperti orang baik, tapi kau benar-benar baik.”
            Dion tertawa kecil seraya menundukkan kepala. Di saat yang sama, ada desahan kecil yang membelah udara dan menyambar telinga Dion. Tak sampai dua detik, suara sesuatu yang jatuh ikut terdengar.
            Dion segera menoleh berniat menatap orang yang sedang berbicara dengannya. Tapi orang itu tidak ada. Dion menurunkan pandangannya dan mendapati Clarisa telah terbujur kaku di atas tanah. Dion terkejut dan segera menjatuhkan diri – bertumpu pada lutut di samping Clarisa.
            “Clarisa?” Suara Dion kini semakin menampakkan kecemasaan. Sayangnya gadis itu tidak menjawab. Bibir Clarisa benar-benar telah memucat.
            “Clarisa? Clarisa, hei? Kau kenapa? Ayo bangun! Kau mendegarku? Clarisa!” Tak ada satu katapun yang dapat membuat mata gadis itu terbuka kembali.
●◙●
            Orangtua Clarisa mendesak Dion untuk pulang malam itu. Karena bagaimanapun besok bukanlah hari libur melainkan hari sekolah. Mereka berjanji akan menjaga Clarisa dan langsung mengabari Dion apabila Clarisa sudah sadarkan diri. Dr. Jhony juga berusaha meyakinkan Dion bahwa Clarisa akan baik-baik dan akan pulang dalam waktu dua hari.
Hingga akhirnya Dion pulang dengan enggan meski dalam hatinya ingin menjaga gadis itu hingga benar-benar sadar.
            Setelah sepeninggalan Dion, Anna dan Erwin melangkah bersama Dr. Jhony untuk menemani Clarisa yang sudah siuman beberapa saat lalu. Gadis itu masih tampak pucat meski berusaha melempar senyum lebar untuk meyakini Dr. Jhony dan orangtuanya kalau ia baik-baik saja. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, orangtua Clarisa berusaha membalas senyum Clarisa.
            “Syukurlah, kau sudah sadar.” Ucap Dr. Jhony. Lalu ia menatap hasil pemeriksaan yang baru saja didiskusikan dengan kedua orangtua Clarisa. “Sebaiknya besok Clarisa harus beristirahat total di rumah sakit. Dia hanya kecapekan dan terlambat makan lalu membuat tekanan darahnya turun. Obat dan istirahat akan membuat tubuhnya pulih. Dia sudah bisa sekolah kembali jika telah benar-benar sembuh.” Jelas Dr. Jhony kepada kedua orang tua Clarisa.
            Anna mengalihkan pandangan dari Dr. Jhony dan menatap Clarisa. “Kau dengar? Kau besok harus beristirahat total di rumah sakit.” Suara Anna terdengar serak.
            Clarisa mengangguk. “Ya, aku tahu.”
            “Baiklah, beberapa hari lagi, kalian silahkan menemuiku di ruangku sesuai diskusi yang kita bicarakan di ruangku tadi.” Kata Dr. Jhony sembari menatap Anna dan Erwin secara bergantian.
            Anna dan Erwin hanya tertunduk seraya mengagguk kecil tanda mengerti. Sesekali Erwin mengusap pelipisnya dan melirik ke arah istrinya, Perbincangan yang dilakukan beberapa saat lalu membuat mereka tidak bisa berpikir tenang apabila membayangkan hasil diskusi tadi benar-benar terjadi.
            “Kalau begitu saya permisi dulu.” Pamit Dr. Jhony lalu melempar senyum ke Clarisa dan segera pergi.
            Anna mengalihkan pandangan dari pintu dan menatap Clarisa. “Apa yang terjadi, sayang? Kenapa kau sampai telat makan? Bukannya kau berpamitan untuk makan malam dengan Justin?” Anna bertanya tanpa jeda dengan bongkahan kekhawatiran di nada bicaranya.
            Clarisa tidak menjawab, ia hanya membuang pandangan ke arah jendela yang ditutupi gorden biru langit. Ia juga tidak peduli dengan pembicaraan antara orangtuanya dan Dr. Jhony. Itu karena ia benar-benar tidak mau mengingat apa yang terjadi hari ini dan tidak mau menambah beban. Clarisa benar-benar marah kepada Justin karena tidak menepati janjinya. Tapi Clarisa berpikir, ia juga tidak punya hak untuk membenci Justin karena mungkin ada hal lain yang lebih penting daripada menepati janji dengan Clarisa.
            Erwin menggoyang-goyangkan tangan kanannya. “Sudah, sudah, kau tak usah banyak bertanya di saat kondisi Clarisa seperti ini. Biarkan dia istirahat.” Ucap Erwin kepada Istrinya – berusaha menenangkan.
            Clarisa memalingkan wajah kepada orangtuanya. “Dion mana?” Tanya Clarisa lirih
            Anna meraih tangan kiri Clarisa dan menggenggamnya sejenak. “Dia sudah pulang.” Sahut Anna. “Ini sudah larut, jadi sebaiknya dia pulang. Lagi pula dia harus sekolah besok pagi. Ibu dan ayah sudah berterima kasih kepadanya.”
            Clarisa tersenyum lebar lalu memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tampaknya aroma rumah sakit mulai tidak asing baginya.
●◙●
            Suara ayam jantan milik tetangga mulai terdengar meski matahari belum nampak. Dion yang mendengar suara itu hanya acuh dan menikmati kesendiriannya.
            Dion masih di situ, di atas balkon lantai dua rumahnya sepulang dari rumah sakit tempat Clarisa dirawat. Ia sedikit kecewa dengan keputusan pasangan Artayasa yang menyuruhnya pulang di saat ia benar-benar ingin berada di samping Clarisa.
Karena hal itu, kini Dion tidak bisa tidur dan menghabiskan malam di balkon rumahnya sembari menyesap coklat panas dan menyelimutkan punggungnya.
            Ia tidak bisa tenang. Setiap kali memejamkan mata, terbayang kembali kepanikannya ketika melihat Clarisa tergeletak di tanah tanpa menghiraukan teriakannya. Dion benar-benar takut jika hal itu kembali terjadi. Namun dibalik kekhawatirannya, ada sebuah tanda tanya yang menerobos masuk ke dalam otaknya. Entah kenapa dirinya sangat peduli pada gadis itu. Rasa peduli dan kekhawatiran kepada Clarisa kini telah berlipat ganda di batinnya. Kini hatinya telah memandang Clarisa dengan cara yang berbeda. Ada perasaan yang menggelitik hatinya.
            Pemuda itu menatap lurus-lurus dan masih berdiri sendiri ditemani temaram beberapa lampu biru khas zaman kolonial belanda yang berdiri di sisi balkon. Suara lantunan instrumen Richard Claydermen mengalun lembut dan terdengar dari meja kecil di kamarnya.
            Terlihat dari atas balkon, Nicho Mahesa turun dari Mercy hitamnya. Lalu Nicho Mahesa segera mendongakkan kepala mencari asal suara musik itu. Ia mendapati anaknya yang berdiri mencondongkan tubuhnya ke depan bertumpu pada pembatas balkon seraya menyesap secangkir minuman. Anaknya hanya menatapnya sekilas lalu membuang pandangan ke depan. Hanya sekitar lima menit, Nicho Mahesa kini telah berada di belakang Dion.
            “Kau tak bisa tidur?” Tanya Nicho.
            Dion tidak menoleh ataupun bersuara. Ia hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
            Nicho mengatur kacamatanya seraya berdeham lalu mensejajarkan posisi dengan anaknya. “Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanyanya. “Sangat jarang kau tidak bisa tidur. Apa ada masalah?”
            Dion sedikit menaikan pandangannya ke atas. Tatapan matanya kosong menerawang langit yang sedari tadi tampak gelap. Sesekali terlihat kilatan petir yang sahut-menyahut. “Tidak, tidak ada masalah.” Jawabnya datar.
            Nicho menelan ludah dan menghembuskan napas. “Wajahmu tidak bisa berbohong, nak. Ayah tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.”
            “Jangan sok tahu.” Jawabnya ketus. “Apa nyaman tinggal bersama mereka dan membuat ayah pulang sepagi ini? Kalau perlu, ayah tak usah repot-repot pulang saja.” Kini ia balik menyerang telinga ayahnya dengan sebuah penyataan yang bernada mengejek.
            Ayahnya terkekeh lalu menundukkan kepala. Nicho Mahesa sudah terbiasa dengan sikap anaknya. “Ayah pulang karena Diana sudah ada yang menemani.” Jawabnya. Diana adalah istrinya yang baru dinikahinya setahun lalu.
            “Oh, anakmu sudah pulang ya.” Gumamnya, namun bukan sebuah pertanyaan, karena ia benar-benar tidak menginginkan jawaban.
            Suasana tiba-tiba berubah agak sedikit kaku dan serius.
            Nicho menyeka dahinya. “Ya. Dia katanya akan mengajak makan malam seseorang dirumah. Tapi tiba-tiba pikirannya berubah dan pergi ke ulang tahun anaknya Pak Lucky. Aku lebih setuju dia pergi ke acara itu. Karena jika tidak, hubungan bisnis antara ayah dan Pak Lucky akan memburuk.”
            Dion hanya diam. Ia menyesap coklat panas. Kehangatannya mengalir melewati rongga dada, dan seketika hening. Kedua orang itu hanya menatap lurus ke depan tanpa berbicara. Keheningan terjadi selama tiga menit hingga akhirnya Dion angkat suara.
            “Justin benar-benar mirip dengan ayah.” Ucap Dion, ada sebersit nada menyinggung di sana. “Meskipun dia bukan anak kandungmu.” Lanjutnya.
            Nicho Mahesa menoleh dengan dahi berkerut samar. “Apa maksudmu?”
            Dion terkekeh pelan. “Entahlah. Kau tahu? Dia sangat mirip dengan ayah. Dia selalu melakukan sesuatu dengan sesuka hati tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Ia selalu menggunakan kepala ketimbang hatinya.”
            Nicho hanya terdiam. Ia masih menelaah ucapan anaknya.                      
            Dion berbalik menatap kamarnya. “Tolong ajarkan kepada dia untuk menghargai sesuatu. Sebagai ayahnya, kuharap kau tahu mendidik anak tirimu itu agar tak melukai lebih banyak wanita lagi.” Katanya. “Kalau tidak, aku akan benar-benar memberi Justin pelajaran.” Tegasnya lalu berjalan ke kamar dan menghempaskan dirinya di atas tempat tidur.
            Nicho Mahesa hanya terdiam seraya berpikir keras. Dalam otaknya ia menebak-nebak, apakah kedua anaknya menyukai gadis yang sama? Lalu Justin melukai gadis itu? Bagaimana bisa saudara tiri itu menaruh perhatian kepada gadis yang sama? Entahlah, Nicho Mahesa tidak benar-benar ingin ikut campur ke dalam urusan anak muda meskipun urusan anaknya.






****BERSAMBUNG****





[1] Pemain serang di depan net
[2] Pemain bertahan yang bertugas menerima/menahan serangan lawan
[3] Yang bertugas menghentikan bola di depan Net.
[4] Beat per minute
[5] Anak Baru Gede
[6] Rumah Sakit
[7] Dokter




[1] Preman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLLOWERS