MATA KETIGA
Ya. Aku memang tak setampan dia. Tak sekaya dia. Dan…
Tak seberuntung dia.
Aku hanya terus menapaktilas jejak
kakiku yang kian melebur di tengah hempasan air hujan. Aku tak mengerti mengapa
semua ini bisa terjadi. Mungkin keinginanku, atau memang hanya takdir yang
menistakan keadaanku sekarang dan seolah-olah menindih mimpi-mimpiku. Aku
melangkah seperti terombang-ambing di tengah kapal yang hampir tenggelam. Ingin
sekali kuberhenti. Meninggalkan semua dan segera menghentakan mata kameraku di
atas guyuran hujan nan lebat. Agar butiran-butiran bening itu tahu, aku sangat tersiksa
harus berdiri menatapnya dengan mikropon kecil di depan bibirnya yang tipis nan
halus. Merah, seperti buah jambu. Aku terpukau. Dan… Aku terlalu bodoh. Mataku
ini tak mungkin mengabaikan rekannya yang tampan dan begitu akrab. Aku tak
mengira akan selemah ini. Aku juga tak menyangkah mereka selalu menjadi patner
dalam menyampaikan sebuah berita.
Yuna. Begitulah rekan-rekan
memanggilnya. Tapi ia tampak bersinar ketika nama Hyuna Rebecca berkumandang di
depan TV. Ya. Aku yang merekamnya. Hatiku selalu tersenyum ketika mata ke
tigaku merekam segala aksinya di depan kamera. Dan sekali lagi, aku tampak
bodoh. Aku hanyalah kameramen yang kerjanya hanya merekam. Tak peduli seberapa
baik diriku dalam merekam, orang-orang hanya akan mengagumi reporternya.
Apalagi ketika reporter Kelvin Leo muncul di depan kameraku. Pria itu selalu menjadi idola para wanita dan mengalahkan pesaingnya.
Aku? Namaku hanya sesekali
disebutkan. Siapa yang peduli ketika orang-orang mendengar nama “Ben White”
diakhir laporan. Pria berkulit sawo matang yang biasa-biasa saja sepertiku tak mungkin bisa diingat oleh banyak orang.
Sampai dimana aku bisa berdiri menatap Yuna yang selama ini mengabaikanku. Dia terus saja memberikan punggungnya ketika mata asliku ingin menatapnya. Siapa yang tidak hancur ketika menatap punggung seseorang yang kita kagumi… yang tak sudi membalikkan badannya.
Ha! Aku bukan mendramatisir. Aku
merasakan semua kesakitan ini ketika semua pengorbananku hanyalah sebuah ucapan
terima kasih yang bagaikan sesuatu yang limited. Aku tertawa ketika menatap
bagian belakang tubuhku. Ada bekas jahitan disana. Aku juga tahu Yuna memiliki
bekas jahitan yang sama. Karena pada dasarnya begini, seorang kameramen tidak
akan mungkin membuat penampilan reporternya terlihat buruk. Maka dari itu aku
yang menjadi penghapus keluh bibirnya yang begitu pucat. Kini berganti merah
mudah nan halus. Aku yang menjadi perekat ketika tangannya sudah tak mampu lagi
menggenggam mikropon kecil itu. Kini tangannya yang putih bisa menggenggam
lagi.
Penyakit ginjal yang ia derita
beberapa bulan lalu telah mendorongku untuk membagi setengah nyawaku, ginjal.
Bukan karena dorongan penyakit itu, melainkan dorongan yang ada dalam hatiku.
Seperti ada yang menggelitik ketika aku mulai mencoba menyadarinya.
Cinta? What do you mean? Sejak
kekasihku meninggal 4 tahun lalu karena penyakit yang sama aku sudah tidak
pernah lagi mengenal kata itu. Katakanlah aku pura-pura bodoh. Namun tahukah
kamu bahwa yang namanya cinta sangat sulit untuk disembunyikan? Cinta itu
ibarat kenyataan yang susah untuk disembunyikan wujudnya. Ya seperti inilah,
kasusku, hidupku, ceritaku.
Mencintai seseorang yang mencintai orang lain. Ayolah, aku bukan sarang curhat bagimu, aku bukan tempat seseorang untuk mengucapkan kata-kata yang tak ingin kau ucapkan. “Keceplosan!” Menurutmu bagaimana aku harus menerjemahkan kata-kata itu? Ucapan tak sengaja yang tidak berasal dari hati? Atau..? Pikirkan sendiri. Otakku sakit untuk memikirkan hal gila itu.
Siapa dia?
Kadang perjuangan yang besar, harus
kalah dengan materi dan ketampanan seseorang. Aku bukan seorang pujangga yang
asal-asalan menciptakan sebuah kata. Aku hanya orang biasa yang terus berjuang
demi cinta buta yang kupendam selama ini.
Seperti saat ini. Aku berdiri seraya
menggenggam kameraku dan tanganku yang lain memegangi payung. Aku tak masalah
jika harus memegangi payung itu selama beberapa hari. Selagi ada kau
dibawahnya, aku tak masalah. Namun yang membuatku tersakiti ketika ada tawa
yang muncul ketika aku terdiam menatap air yang jatuh dari langit. Siapa yang
membuatmu tertawa selepas itu? Cih! Aku tak ingin menduga-duga. Karena aku
memang sudah tahu.
Aku harap kau bisa terlahir lagi
dengan wujud yang benar-benar mengharapkanku, Yuna. Itulah doaku. Doa yang
kuucapkan setiap malam.
Perjalanan lukaku tidak hanya sampai
disini,.
***
“Ben.” Ucap seorang wanita dengan
suara lirih. “Ben.”
Aku mendongakan kepalaku seraya
menatap wanita itu.
Tak kusangkah tangannya mulai meraih
tanganku yang kasar. Ia mencoba bangkit. Namun tubuhnya tak kuasa lagi. Ah! Aku
hampir gila melihat semua ini. Jutaan rasa iba tiba-tiba menghampiri diriku.
Ingin sekali aku banting pria itu yang tiba-tiba saja pergi meninggalkan wanita
berparas cantik ini.
Aku meremas tangannya dengan erat
seraya menatap kedua bola matanya. Bisa kulihat betapa rapuhnya diriku dari
pantulan bola matanya.
“Dimana Kelvin?”
Ah! Aku hampir saja mengangis.
Sayangnya aku seorang lelaki. Tak mungkin segampang itu menuangkan airmataku
didepan wanita yang kucintai.
“Dia akan kembali.” Jawabku berbohong.
Seperti ada yang terbakar di otakku. Padahal Kelvin sudah berpulang ke Australia bersama kakeknya. Ia sudah tidak akan kembali lagi meski tahu keadaan Yuna. Baginya Yuna hanyalah satu dari ratusan fansnya. Cih!
Yuna memalingkan wajah menatap
langit-langit rumah sakit. Aku tak menyangkah penyakit ginjal yang dulu ia
derita harus menderanya kembali. Dan kini lebih parah. Ia harus berulang kali
cuci darah dan hal itu membuat fisiknya tak secantik dulu. Namun hatinya tidak
berubah. Meski tangannya menggenggam erat tanganku, tapi bibir keluhnya masih
saja mengucap nama Kelvin.
Yuna, kenapa kau seperti ini?
Hingga di tarikan napasnya yang
terakhir, tiba-tiba ada namaku yang terselip diantara decakan lidah dan desahan napas
tipis. Aku terkejut. Seketika airmataku tumpah. Berharap gadis itu bangun kembali dan meyakinkanku
bahwa ia menyebut namaku. Bahwa ia mengakui keberadaanku. Bahwa ia benar-benar
menganggapku. Tapi sayangnya, aku tak bisa mendengarnya kembali.
Tiupan angin seperti mengakhiri
segalanya. Mengakhiri segala perjuangan dan pengorbananku. Dan juga mengakhiri
keceriaanku.
Ada satu doa yang sering kuucap. Kau
tahu? Aku ingin ia terlahir kembali dengan wujud yang benar-benar
mengharapkanku. Namun itu hanya tinggal mimpi saja. Aku mengitari seluruh dunia
dengan kamera ditanganku, namun aku tak bisa mendapati wajahmu di mata
ketigaku.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar