Welcome

Senin, 12 Mei 2025

Forgive, But Never Forget (Teaser)

 

Judul: Forgive, But Never Forget

Writer : Arif Akmal Palowa

Genre: Metropop

Setting:
1. Venice, Italia

2. Milan, Italia

3. Tokyo, Jepang

Tokoh utama: Lawrence Bianchi (laki-laki, peneliti) & Dayana De Luca (perempuan, juga peneliti)

Nuansa: Romantis, elegan, penuh intrik dan luka masa lalu


Intro

Pertemuan

Senja jatuh perlahan di atas kanal-kanal Venice, membiaskan warna oranye keemasan di permukaan air yang tenang. Di kejauhan, dentang lonceng dari Basilika San Marco bergema, melintas di antara labirin jalanan sempit dan jembatan batu tua.

Lawrence mendekap jaket tipisnya erat-erat, berusaha mengusir hawa dingin yang masih menggantung di udara. Di tangan kirinya, sebuah map cokelat bertuliskan Venetian Scientific Advancement Institute menandai awal babak baru dalam hidupnya — babak yang ia kira akan penuh kebanggaan, ambisi, dan lembaran bersih.

Ia salah.

Begitu memasuki aula utama institut, pandangannya tertumbuk pada sosok itu — Dayana De Luca.

Ia berdiri di bawah lampu gantung kristal raksasa, membolak-balik lembaran presentasi seolah-olah dunia di sekelilingnya tak berarti apa-apa. Rambut cokelatnya dikuncir asal, blazer hitam membalut tubuh rampingnya, dan mata itu — mata yang sama — dingin sekaligus rapuh.

Sejenak, dunia Lawrence runtuh tanpa suara.

Waktu memang bisa menghapus banyak hal. Tapi tidak dengan luka yang terlalu dalam untuk dikhianati oleh waktu. Mereka berpura-pura tak saling mengenal di ruangan penuh canda, jabatan tangan formal, dan ambisi muda. Tetapi saat Dayana akhirnya mendongak dan mata mereka bertemu, hanya butuh satu detik — Semua kenangan itu, semua kata-kata yang tak pernah sempat diucapkan, tumpah ruah tanpa ampun. Dan Lawrence tahu, sejak detik itu, jalan hidupnya di Venice tidak akan pernah semudah yang ia bayangkan.

 

Bab 1

Reuni yang Tak Direncanakan

Langkah kaki bergema di aula marmer yang luas. Di bawah lampu gantung megah, beberapa orang mulai berkumpul, mengenakan jas resmi atau gaun kerja sederhana. Lawrence menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam dentuman aneh di dadanya.

“Lawrence Bianchi, kan?” Sebuah suara ceria menyapanya. Seorang pria berambut pirang bergelombang mengulurkan tangan, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Marco Bellini. Kepala Tim Bioteknologi. Selamat datang di Venetian Scientific Advancement Institute.”

Lawrence membalas jabatan tangan itu dengan kaku. “Terima kasih, Pak.”

“Marco saja.” Ia tertawa ringan. “Kita semua di sini seperti keluarga. Nah, biar kukenalkan yang lain.”

Lawrence mengikuti Marco melintasi aula.

Di meja registrasi, seorang perempuan dengan kacamata bulat besar sedang sibuk mencatat sesuatu sambil sesekali merapikan kertas-kertas berantakan di sekitarnya.

“Ini Alessia Romano,” kata Marco. “Koordinator data kita. Dia ingat semua hal, termasuk siapa yang telat submit laporan,” tambahnya setengah bercanda.

Alessia hanya melirik cepat dan tersenyum tipis, lalu kembali fokus pada berkas-berkasnya.

Di sisi lain aula, Lawrence melihat seorang pria jangkung dengan raut serius tengah berbicara dengan beberapa kolega. Wajahnya kaku, postur tegap seperti militer.

“Itu Leonardo Santori. Penanggung jawab keamanan riset. Kelihatannya keras, tapi aslinya... ya, tetap keras,” gumam Marco dengan nada geli.

Lawrence mengangguk samar, pikirannya setengah memperhatikan, setengah masih tertarik kembali ke sosok Dayana.

Sementara Marco terus mengoceh tentang prosedur orientasi, Lawrence mencuri pandang ke arah Dayana. Ia kini berdiri bersama seorang wanita paruh baya berambut perak yang tampak berwibawa.

“Dan itu,” kata Marco lirih, “Profesor Beatrice Conti. Ketua program kita. Orang yang membawa Dayana ke sini. Salah-satu peneliti handal.”

Hati Lawrence mencelos.

Tidak hanya mereka berada di tempat yang sama lagi, tapi Dayana bahkan lebih dekat dengan pusat kekuasaan institut ini daripada yang ia duga.

Seketika, udara terasa lebih berat.

*************

Acara penyambutan dimulai.

Profesor Beatrice naik ke podium kecil di ujung aula. Suaranya tegas dan jernih, membelah keramaian. "Selamat datang, para peneliti muda dan para inovator. Venice bukan hanya kota bersejarah, tapi juga akan menjadi saksi lahirnya sejarah baru berkat kalian," ucapnya, diiringi tepuk tangan sopan.

Di sela pidato itu, Lawrence merasakan tatapan. Saat ia menoleh, Dayana sedang menatapnya. Bukan tatapan nostalgia. Bukan juga tatapan benci. Tatapan itu... kosong. Seperti dua orang asing yang tidak pernah punya masa lalu bersama. Seperti dua bayangan yang pernah saling berusaha menyentuh, tapi akhirnya saling melupakan.

Lawrence mengepalkan tangannya. ‘Forgive, but never forget’. Kalimat itu bergaung di pikirannya, lebih kuat daripada pidato apa pun yang disampaikan malam itu.

Dan saat acara berakhir, dan para tamu mulai membaur, Lawrence sadar satu hal. Ia harus berbicara dengan Dayana. Entah bagaimana pun sakitnya.

 

Bab 2

Percakapan yang Tak Pernah Selesai

Langit malam Venice menggantung rendah, diselimuti awan tipis yang memantulkan cahaya lampu jalanan ke kanal-kanal tenang. Aroma asin laut dan bunga basah dari taman kecil institut bercampur samar di udara.

Lawrence Bianchi berdiri di sudut aula, menatap gelas prosecco yang hampir tak tersentuh di tangannya. Sementara kolega-koleganya tertawa ringan, membahas proyek baru, pikirannya melayang jauh — ke masa lalu yang bahkan ia benci untuk dikenang. Dayana De Luca.

Nama itu, wajah itu, seharusnya sudah lama terkubur di arsip ingatannya. Tapi di sini, di tempat yang seharusnya menjadi babak baru hidupnya, masa lalu justru menunggu dalam wujud paling nyata.

Ia melihat Dayana melangkah perlahan keluar aula, menyusuri lorong kecil menuju taman. Tanpa berpikir panjang, Lawrence meletakkan gelas di meja dan mengikuti langkah itu.

Setiap gerakan Dayana — ayunan rambut, cara ia memeluk tubuh sendiri dari dingin malam — terasa terlalu familiar. Terlalu menyakitkan.

********

Di taman kecil itu, hanya ada mereka berdua, dikelilingi semak lavender dan deru pelan kanal yang mengalir tak jauh.

Lawrence menghentikan langkah beberapa meter dari Dayana.
Punggung perempuan itu tampak mungil dalam balutan blazer hitam, seolah mencoba melawan dunia sendirian.

"Aku tidak tahu kau akan di sini," ucap Dayana tanpa menoleh, suaranya seperti kabut — ringan, tapi penuh rahasia.

Lawrence menyelipkan tangannya ke dalam saku jaketnya, mencoba terlihat lebih tenang daripada perasaannya yang sebenarnya. "Kalau tahu, kau tidak akan datang?" Ia melemparkan kalimat itu lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Dayana menarik napas panjang sebelum berbalik. Tatapan mereka bertemu dalam kegelapan taman, hanya diterangi lampu taman yang remang. Wajah itu... tidak banyak berubah. Masih Dayana yang ia kenal — kuat, berani, sekaligus rapuh di sudut-sudut yang jarang orang lihat.

"Bukan begitu," jawab Dayana, suaranya nyaris berbisik.

"Kalau begitu apa?" desak Lawrence, nadanya lebih dingin dari suhu udara malam.

Dayana menggenggam ujung lengan blazernya, seolah mencari pegangan. "Aku datang untuk pekerjaanku. Kita di sini karena kita dibutuhkan. Bukan karena masa lalu."

Lawrence terkekeh pendek, getir. "Mudah untuk berkata begitu, ya?"

Mereka terdiam. Hanya suara air kanal yang mengalir, seolah dunia luar sengaja menjaga jarak dari percakapan mereka.

"Apa kau tahu berapa lama aku bertanya-tanya kenapa kau pergi begitu saja?" Lawrence akhirnya bersuara lagi.

"Tiga tahun, Dayana. Tiga tahun tanpa jawaban."

Dayana memalingkan wajahnya, menatap bunga lavender yang bergoyang pelan di tiupan angin. "Aku memilih keluargaku, Lawrence," katanya perlahan. "Mereka butuh aku. Aku... harus pergi."

Lawrence mengepalkan tangannya di dalam saku. "Dan aku? Apa aku tidak pantas mendapat satu pun kata penjelasan?"

Tatapan Dayana kembali padanya, lebih basah kali ini. Ada kilatan luka di sana, sama dalamnya dengan luka di dada Lawrence.

"Kau tidak akan mengerti," ucapnya lirih.

"Coba aku," balas Lawrence cepat.

Sunyi.

Dayana memejamkan mata sejenak, mengumpulkan keberanian.
"Ayahku terlibat dalam skandal finansial besar di Roma. Kami diancam, Lawrence. Aku harus memilih, tetap tinggal dan membiarkan keluargaku hancur, atau pergi... dan membiarkan kau membenciku."

Lawrence terpaku. Kata-kata itu menghantam seperti badai. Di otaknya, potongan-potongan kenangan berkelebat:  Dayana yang selalu tersenyum kecil saat mempelajari jurnal bersama. Dayana yang berjanji akan menemaninya hingga kelulusan. Hari itu, Dayana menghilang tanpa sepatah kata pun.

"Aku... tidak ingin menyeretmu dalam kekacauan itu," lanjut Dayana, suaranya patah. "Aku mencintaimu terlalu banyak untuk itu."

Untuk sesaat, dunia terasa beku. Bahkan gemericik kanal pun seolah menahan napas.

Lawrence melangkah lebih dekat, hanya tersisa jarak satu langkah di antara mereka.
"Aku bisa bertahan, Dayana," bisiknya. "Kalau saja kau memberiku kesempatan."

Air mata menggantung di sudut mata Dayana, tapi tidak jatuh.

"Aku takut, Law." Suara itu pecah. "Dan aku pengecut."

Lawrence memandangnya lama, sebelum akhirnya menarik napas panjang.
Matanya menatap jauh melewati Dayana, ke kanal gelap yang mengalir entah ke mana.

"Aku di sini untuk proyek ini," katanya akhirnya, nada suaranya datar, lelah. "Aku akan profesional."

Dayana mengangguk pelan. "Begitu juga aku."

Mereka saling menatap sekali lagi — bukan sebagai sepasang kekasih, bukan pula sebagai musuh. tapi sebagai dua jiwa yang pernah saling memiliki, dan kini, terpaksa saling menjaga jarak.

"Forgive me," bisik Dayana, hampir tak terdengar

 Lawrence menundukkan kepala, menyembunyikan segala rasa yang terlalu rumit untuk diucapkan dan malam Venice terus berputar, menghapus jejak langkah mereka perlahan-lahan. Tapi tidak pernah benar-benar menghapus rasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLLOWERS