Welcome

Sabtu, 11 Oktober 2014

Satu Nafas Dua Hembusan



Satu Nafas Dua Hembusan

      BAB 1

Kenalin, nama gue Rafa. Hobi gue adalah beatbox, nyanyi, dan nulis. Gue sangat suka sama cewek yang selalu dukung niat baik gue dalam bidang-bidang tersebut. Awalnya gue udah nemuin cewek yang selalu support gue dalam hal-hal itu. Tapi sangat disayangkan. Dia nyia-nyiain gue tanpa perduli gimana rasa sakit yang gue alami. nggak ada pilihan lain selain menatap dia bahagia walau pada saat itu nggak ada campur tangan dari gue.
Cerita ini berawal dari pada saat gue putus sama Meysin. Cewek yang udah gue idam-idamkan semenjak gue tinggal di rumah baru gue. Wajahnya yang oriental didukung sama kulitnya yang putih, membuat gue nggak bisa mikir dia manusia atau bidadari. Gue udah lama pacaran sama Meysin. Dan gue putus sama dia tepat pada aniv bulan ke-tujuh. Pas gue putus sama dia, gue kayak orang linglung, banyak mengkhayal,  pokoknya otak gue serasa kagak beres deh. Semua terasa indah banget. Sepintas lalu bagaikan sinar mentari yang selalu menghiasi hari. Tiap detiknya terasa manis dan nggak ingin cepat-cepat untuk gue akhiri. Itulah yang selalu di kenang gue. Gue kayak orang yang kehilangan arah dalam menempuh hidup yang penuh dengan kesendirian. Hari-hari gue sungguh terasa hampa. Nggak  ada lagi yang menghiasi terkecuali semua kenangan manis yang pernah gue rasakan. Memang pantas semua itu gue rasakan, Karena semua kebahagiaan yang dahulu pernah ada, belum pernah gue rasakan. Yaitu punya pacar tetangga sendiri alias dekat rumah. Orang tua gue juga udah setuju sama hubungan itu. Gue sih berharap bakalan sampe kawin. Tapi kayaknya Tuhan berkata lain. Gue udah usahain buat pertahankan hubungan itu. Tapi hasilnya sungguh sangat nihil dan sudah nggak ada harapan ibarat orang yang lagi sakarathul maut, nyawanya udah di tenggorokan. Kini gue hanya bisa tertunduk lesu. Itulah cara gue untuk melukiskan rasa kesendirian gue.
“Bro, sudahlah, belajar untuk ikhlas. Tuhan pasti kasih pengganti kok”. Ujar Santo sambil menghibur gue yang sedang di rundung piluh.
“Serasa nggak punya arti hidup, apa yang gue laluin sungguh manis, sampai-sampai hati ini takkan pernah ikhlas buat lepasin dia”. Gumam gue sambil menampakan wajah yang murung.
“Gue bisa rasain sih apa yang loh rasa, tapi jangan kayak big baby gitu dong, don't be sad men,you look so whine”. Ujar Santo.
“Alahh, loh temen lagi sedih hibur kek,apa kek”.
“Ia,ia entar gua beliin permen buat big baby”. Ejek Santo.
“Yaelah, udah, gua cabut dulu”. Ujar gue sambil berlalu pergi meninggalkan Santo.

Gue adalah salah seorang siswa yang baru naik ke kelas 12. 3 hari lagi gue akan masuk ke kelas baru gue. Gue di kenal sebagai siswa yang pintar. Kata orang-orang sih gitu. Tapi bagi gue, gue biasa-biasa aja. Nggak sedikit prestasi yang gue dapat dari luar sekolah maupun dalam sekolah. Gue berkali-kali mewakili sekolah gue di lomba-lomba yang bergengsi. Ketertarikan gue kepada dunia seni dan dunia menulis telah membuat gue terjun ke dalam kehidupan yang berhubungan dengan keduanya. Karena kegundahan hati yang gue rasakan saat ini, dentingan piano yang gue mainkan pun sudah nggak dapat menghibur diri gue sendiri. Rasa di hati gue pun sudah nggak dapat tersirat dalam sehelai kertas karena gue nggak mampu untuk menyiratkannya. Jika di pandang lebih dekat, semangat gue dalam menjalani hari sudah nggak membekas lagi. Arti kehidupan dalam diri gue sudah mulai tersengal. nggak mampu membasahi hari dengan warna yang dapat melunturkan kegundahan di hati gue. Itulah secuil isi hati yang bisa di lihat lewat raut wajah gue persis seperti benang yang kusut. Sedikit lagi mungkin gue berpikir buat bunuh diri. Untung pikiran gue nggak sependek itu. Astaga X_X.


BAB 2

3 hari pun berlalu, tepatnya pada hari dimana gue akan kembali ke sekolah sebagai siswa kelas 12. Sinar mentari yang menyinari hari seakan sudah nggak mampu untuk menghapus segala duka di hati gue.

“Apa kabar Rafa?”. Sapa Widya.
“Baik Wid”. Jawab gue dengan nada yang datar alias stay cool.
“Kayaknya ada yang beda, ada yang kurang deh kayaknya”. Ujar Widya.
“Hm, apa yang kurang?”. Tanya gue.
“Semangatmu Rafa, kamu kelihatan murung banget, padahal ini hari pertama di kelas 12. Mestinya kamu nggak kayak gini”. Jawab Widya sambil mencoba menebak apa yang gue rasakan.
“Hadeh, sok tau kamu Wid, gua cuma nggak enak badan aja”. Jawab gue sambil menyembunyikan kesedihan gue.
“Hm, yaudah, kamu ke UKS aja dulu, aku mau ke kelas dulu, eh iya, nama kamu ada di kelas 12 IPA 3. Sekelas bareng Aku sama Santo”. Ujar Widya sembari menyampaikan informasi.
“Oh ia, makasih yah Wid”.

Gue dan Widya pun mengakhiri pembicaraan. Sekilas tentang Widya, ia adalah seorang wanita yang sangat cantik dan banyak lelaki yang tergila-gila kepadanya. Pada saat gue masih kelas 10, gue sangat menyukai Widya. Namun Gue nggak pernah mengungkapkannya karena Widya dan gue adalah teman yang sangat dekat. Widya memang banyak yang suka. Itu disebabkan karena Widya adalah wanita yang sangat cantik, pintar, sopan, dan jago bernyanyi. Jika di bandingkan dengan gue, pasti sangat cocok, *ngarep. Tapi, apa boleh buat, gue sama dia sudah berteman sangat dekat.

Gue pun mulai melangkahkan kaki menuju kelas baru gue. Derap langkah gue seakan-akan terdengar seperti melodi kesedihan. Kegundahan hati gue membuat seluruh aspek dalam kehidupan gue terganggu.
“Hm, kenapa pas putus cinta kayak gini rasanya. Mau melangkahkan kaki aja susah banget”. Ujar gue dalam hati sembari mengayunkan langkah ke kelas.

Sesampainya dikelas, terlihat wajah-wajah lama dan sudah nggak asing bagi gue. Gue mengenal hampir seluruh siswa di kelas itu.

“Rafa mamen, Come here”. Ujar Santo sembari mengajak gue duduk disampingnya.
“Santo, wali kelas kita siapa?”. Tanya gue.
“Ibu Lani yang very-very happy”. Jawab Santo.
“Ha, semoga Ibu Lani nggak serem-serem amat”. Gumam gue.
“Yoi bro” Jawab Santo dengan ciri khasnya yang ngeces.

Dari semua siswa yang ada di kelas itu, ada satu siswa yang menarik perhatian gue. Siswa itu adalah Fika. Ia dulu adalah teman sekelas gue pada saat kelas 10. Kali ini Fika sungguh berbeda. Ia terlihat sungguh cantik dengan poni barunya. Gue pun nggak menyangka bahwa Ia akan secantik itu. Gue hanya menatap Fika tanpa mengajak ngobrol. Beberapa saat kemudian Ibu Lani masuk ke kelas. Seluruh siswa di persilahkan untuk saling mengenal satu sama lain.

Beberapa saat kemudian Bel pulang di bunyikan. Namun gue belum beranjak dari kelas karena gue sangat ngantuk.
Brak!!!. (Suara meja yang di hentak oleh Fika)

Gue pun sangat terkejut setelah mendengar suara dentuman meja.
“Eh Fika, kamu ngagetin aku aja”. Ujar Gue sambil mengucek-ngucek mata. Takutnya ada kotoran mata. :D
“Hehe, ia, kamu sih asik banget tidurnya”. Jawab Fika.
“Abisnya aku ngantuk banget, semalam aku susah tidurnya”. Sahut gue.
“Hm yaudah, kamu lanjutin aja tidurnya, Aku mau pulang dulu”.
“Yuk, bareng aku aja” Ajak gue biar dapet kesempatan boncengin cewek cakep.
“Hm, gimana yah, yaudah iya deh”. Jawab Fika.

Gue pun mengantar pulang Fika menggunakan motor hijau kesayangan gue. Di dalam perjalanan menuju rumah Fika, terjadilah percakapan singkat.

“Rafa, kamu tinggalnya dimana?”. Tanya Fika.
“Aku tinggalnya di perumahan indah permai”. Jawab gue.
“Aku kira pas masih kelas 10 kamu tinggalnya di jalan anggrek nomor 50?”. Tanya Fika.
“Sekarang udah nggak, aku udah pindah rumah”. Jawab gue.
“Oh, aku minta nomormu dong?”.
“Oke, silahkan catat. 08967689xxxx”
“Aku misscall yah”. Ujar Fika.

Beberapa saat kemudian, akhirnya gue sama dia sampai di rumahnya. Dengan wajah yang penuh senyuman, Fika pun mengucapkan terima kasih kepada gue yang sudah mau mengantarnya pulang.

Sepintas lalu, kejadian itu tersimpan di dalam memori gue. Sekilas kejadian itu dapat menghapus sedikit duka yang gue rasakan.

Sore hari pun tiba, pada sore itu hujan gerimis jatuh membasahi bumi. Gue berniat untuk jalan-jalan untuk sekedar mencicipi makanan khas yang ada di kota gue. Hal ini Ia lakukan sekaligus untuk menghilangkan stres dan kegundahan hati yang gue rasakan. Namanya juga anak muda, galau itu wajar. Walaupun hujan, gue nggak mengurungkan niat gue untuk pergi jalan-jalan. Dalam perjalanan, terlihat suasana kota yang sudah tidak asing bagi gue. Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang-orang berdagang dengan ciri khas duduk bersilah, namun ada pula yang berdiri. Langkah kaki gue pun terhenti di sebuah rumah makan yang menjual aneka makanan khas di daerah itu. Sambil menikmati kelezatan makanan, tanpa gue sadari ada sepasang mata yang memperhatikan gue dari sebuah meja yang berada nggak jauh dari tempat duduk gue.

“Eh, Fika disini juga?”. Sapa gue sambil tersadar ada Fika disekitar situ.
“Iya Rafa, boleh aku duduk disitu?” Tanya Fika.
“Kenapa tidak Fika?”. Sahut gue dengan percaya diri.

Gue sama Fika pun mengobrol dan terciptalah keakraban diantara gua sama dia,padahal selama 2 tahun lebih gue sama dia satu sekolah, tapi kita berdua jarang sekali bertegur sapa, dan entah kenapa hari itu gue dan Fika terlihat akrab.

“besok weekend ya. kamu ada planing kemana?”. Tanya gue sekedar basa-basi.
“gak ada rencana sih mau kemana. Ya paling jalan sama teman-teman” jawab Fika.

Kriing Kringg!!. Bunyi Handphone Fika pun berbunyi. Obrolan itu terhenti sejenak ketika bunyi Handphone Fika berbunyi. Dan Fika akhirnya pamit untuk pulang lebih dulu karena mendapat panggilan untuk menjemput adiknya. Selepas Fika pergi, gue pun duduk sendiri lagi sembari menikmati makanan yang ada di depan gue.

“Bosan ah, mending gua buka Facebook dulu”. Gumam gue sehabis menyantap makanan.

Gue pun meng-update status yang bertuliskan sebuah lirik lagu. Maklum, sisa-sisa keemasan anak alay masih ada di diri gue. :D
'Wajahmu mengalihkan Duniaku'.

Gue sudah mulai berniat untuk mencari pacar untuk menghapus segala duka di hati gue.
Beberapa saat kemudian, Fika yang baru saja pergi memberi komentar di status gue.

“Cie Cie, ada yang terpesona nih. Kayaknya lagi memendam rasa. Siapa sih yang mengalihkan duniamu?, mungkin aku bisa bantu :D”. Isi komentar Fika.
Gue mencoba mengelak dari pertanyaan Fika. Biar kelihatan sedikit gentle. :D

“Nggak kok, itu hanya lirik lagu aja”. Jawab gue sambil mengelak.

Tampaknya gue mulai memperhatikan gerak-gerik Fika. Untuk saat ini gua sama Fika hanya bisa mengobrol layaknya teman biasa.

“hai Rafa,,ujan-ujan gini mau pulang?” Tanya Fika saat ketemu gue di parkiran sekolah.
“nunggu ujan brenti sih lama, ujan kayak gini biasanya awet loh”. sahut gue dengan nada yang ramah.
“oh,ya udah.hati-hati ya.” pesan Fika.
Senyum mengembang di bibir gue karena baru saja berpapasan dengan Fika. Sesampainya dirumah, gue mulai membayangkan wajah Fika dan semua kejadian yang terjadi belakangan ini terlintas di benak gue.

“Astaga, apa sih gua pikirin dari tadi”. Gumam gue sembari membuyarkan pikiran yang berisi tentang Fika.
Tiba-tiba dering handphone membuyarkan lamunan gue. Satu pesan dari Ryan, teman satu sekolahan gue.

“Rafa, entar sore kita ngumpul-ngumpul di sekolah yah”. Isi pesan Ryan.

Gue pun mengiyakan ajakan Ryan. Beberapa saat kemudian tepatnya pada saat matahari sudah berada tepat di sudut 190 derajat, atau lebih tepatnya jam 4 sore, gue pun menuju ke sekolah dengan motor kesayangan gue. Sesampainya disekolah, gue langsung pergi bertemu dengan teman-teman gue. Seperti biasa, gue sama mereka membicarakan tentang dunia anime dan dunia beatbox karena itu adalah salah satu hobi kita. Sembari mengobrol dengan teman-teman, gue melihat Fika sedang duduk di pinggir lapangan voli. Fika terlihat sedang duduk sendirian tanpa di temani siapapun. Gue nggak tahu sedang apa dia disitu. Gue akhirnya mengayunkan langkah menuju Fika.

“Hai Fika, sendirian aja? Boleh aku duduk di samping kamu?” Tanya Rafa.
“Hm, boleh”. Sahut Fika.
“Sore-sore gini kenapa kamu kenapa ada di sekolah?”. Tanya Fika.
“Lagi ngobrol bareng temen-temen. Kalo kamu lagi ngapain Fik?”. Tanya gue bertujuan memulai pembicaraan.
“Aku lagi nungguin pacar aku. Tuh lagi main basket”. Sambil mengajungkan jari ke Arah Andriko.
Gue pun terdiam sejenak. Ternya Fika Sudah punya kekasih, padahal gue baru akan mulai menyukainya.
“Oh,  sip deh. Kalau gitu aku duluan yah”. Ujar gue.
“Oke, kamu hati-hati yah”. Jawab Fika.

Gue melangkahkan kaki menuju tempat parkir. Gue baru ingin memulai kisah baru melalui berbagai pendekatan kepada Fika. Namun karena mendengar hal itu, niat di hati gue pun mulai meredup.

Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu gue seakan tidak berhenti memikirkan Fika. Apa mungkin gue udah di jampi-jampi sama dia?, *maklum pede juta. :D
“Astaga, Ngapain gue mikirin Fika, buang-buang waktu aja”. Gumam gue dalam hati.
Beberapa saat kemudian Santo datang menghampiri gue. Dan terjadilah percakapan singkat.

“Weits bro, kenapa loh mamen?, murem aja muka loh?”. Tanya Santo.
Gue mendengar pertanyaan itu dan akhirnya gue menceritakan apa yang terjadi.

“Padahal gue baru aja mau move on, nah, target gue si Fika, tapi gue sial banget, ternyata dia udah pacaran sama Andriko”. Curhat gue.
“What?, yang breokan itu? Yang kalau berpakaian kayak salesman?, Oh My God, let's kill him, haha. Santay aja bro, gue punya cara yang jitu nih, mau dengar nggak?”. Ujar Santo.
“Apa tuh?, yang penting nggak aneh-aneh.” Jawab gue.
“Gini, loh PDKT aja terus sama Fika, loh cari tahu hal-hal apa saja yang dia inginkan, nah, kalau dia mulai jatuh hati, baru loh tembak, Door!!!”. Ucap Santo sembari memegang bahu gue.
“Secara logika, walaupun gua udah kasih apa yang dia mau, terus gua nyatain cinta, pasti dia tolak, karena dia masih punya pacar”. Jawab gue dengan nada yang membantah.
“What?, you very-very wrong bray!!. Kalau loh udah kasih apa yang dia mau, dia pasti nggak akan nolak karena dia udah terlanjur tahu kalau loh baik, kalau soal pacarnya dalam waktu dekat pasti dia putusin, yang penting loh harus rendah hati, dan mesti lebih baik dari pada pacarnya”. Ujar Santo.
“Gitu yah Santo, hm, gimana yah, gua usahain dulu deh, susah juga kalau cinta butuh perjuangan”. Ujar gue.
“So pasti bray, yang namanya cinta pasti butuh perjuangan, yaudah gua cabut dulu”. Jawab santo sembari melangkahkan kaki menjauh dari gue.

Gue pun terdiam sejenak, mencoba menelaah kata demi kata yang di ucapkan Santo. Namun yang pasti, gue adalah orang yang nggak mudah menyerah, semua terlihat dari semangat gue di sekolah yang selalu menjadi siswa yang aktif. Dan jika menengok kebelakang, setiap kali gue jatuh cinta kepada seorang wanita, pasti gue akan berjuang sampai gue bisa mendapatkan hati wanita yang gue idam-idamkan. Dan gue nggak perduli berapa lama waktu perjuangan sampai mendapatkan cinta yang gue cari.




BAB 2



Beberapa hari berlalu, sikap gue kepada Fika masih seperti biasa, bisa di bilang sikap yang hanya menonjolkan persahabatan. gue masih memikirkan saran Santo karena gue pada saat itu belum siap untuk melakukannya.

“Rafa, kita menang tingkat Provinsi, tanggal 27 november kita berangkat ke Bekasi”. Ujar Fahmi sembari memberitahu informasi kemenangan tim Nasyid di sekolahnya.
Gue, Fahmi, Santo, dan Andra tergabung dalam grup Nasyid mewakili sekolah mereka. Dan gue sebagai ketuanya. Kami ber-empat sudah pernah perform di berbagai acara. Jadi nggak heran jika kami berhasil maju sampai tinggal nasional mewakili provinsi Sulawesi Utara dan dalam beberapa hari lagi gue dan kawan-kawan akan segera berangkat untuk mengikuti lomba.

“Hey, kita latihan di ruang Rohis sekarang, gua tungguin yah”. Begitulah isi SMS yang di kirim gue kepada seluruh personil grup Nasyid gue.

Pada saat akan menuju ke ruang rohis, gue bertabrakan dengan Fika. Gue kagetnya minta ampun dan gue  langsung meminta maaf kepada Fika. Dan terlihat Fika terseyum dan memaafkan gue. Gue melanjutkan langkah menuju ruang rohis. Gue akhirnya memulai latihan bersama mereka.
Kring Kring!!!. Bunyi Handphone gue. Ada SMS masuk dan yang mengrim SMS itu ternya Fika.

“Rafa, kamu dimana? Aku boleh minta bantuan nggak?”. Isi SMS Fika.
Gue menghentikan sejenak latihannya dan segera membalas pesan dari Fika.
“Aku ada di ruang rohis, boleh, aku ke kelas sekarang yah”. Isi SMS gue.

Dengan tergesa-gesa, gue berlari ke arah kelas menghapiri Fika yang terlihat sedang ngobrol bersama teman-temannya. Gue pun berdiri di samping Fika, nggak lama kemudian Fika mengajak gue menjauhi keramaian. Gue langsung dek-dekan, gue curiga jangan-jangan dia mau sodomi gue lagi. :D
Setelah mendapatkan tempat yang sepi terjadilah percakapan singkat. Namun sebelum diantara kami mengeluarkan sebuah kata, Fika yang melihat wajah gue bercucuran keringat, Ia mengelap keringat gue dengan sapu tangannya. gue pun terkejut atas tindakan Fika. Namun gue membiarkan tindakan Fika. Pokoknya so sweet banget deh. Dan kejadian itu nggak bisa gue lupain. Beberapa saat kemudian, Fika mengatakan niat dan maksud mengajak gue ke tempat itu.
“Rafa, aku boleh minta bantuanmu nggak?”. Tanya Fika.
“Boleh kok Fik, mau minta bantuan apa?”. Ujar gue.
“Aku belum bikin tugas makalah PKN, kamu boleh nggak buatin punyaku, entar aku bayar deh”. Ujar Fika sembari memohon bantuan dari V.
“Oh, kebetulan aku juga belum bikin, entar aku bikin sekalian. Enggak usah bayar, aku bikinnya ikhlas. Entar aku buat malam ini makalahnya, eh Tapi besok aku nggak sekolah, Aku mau ikut lomba”. Jawab gue.
“Yah, terus gimana dong?”. Tanya Fika dengan ekspesi yang sedikit murung.
“Gini aja deh, besok pagi aku suruh antar tukang ojek, terus kamu antar sekalian sama makalahku yah?”.
“Oh, oke deh, makasih sebelumnya Rafa”. Jawab Fika tanda terima kasih.
“Iya sama-sama Fika”. Jawab gue.

Percakapan itu berakhir disitu. gue kembali ke ruang rohis untuk melanjutkan latihan yang sempat tertunda, dan Fika terlihat menuju kantin sekolah.

Hari esok akhirnya tiba. Hari itu gue , Santo, Fahmi, dan Andraakan berangkat dalam rangka mengikuti lomba di Bekasi. Namun, sebelum berangkat, gue sudah mengirim pesan singkat kepada Fika agar menunggu di depan gerbang untuk mengambil makalah yang dari tadi malam sudah gue buat.
“Pagi Fika, kamu tunggu malakahnya di depan gerbang sekolah yah. Bentar lagi tukang ojek yang aku suruh udah mau sampai”. Isi pesan gue.
“Pagi juga. Oh iya Rafa, aku segera ke gerbang”. Isi pesan Fika.
Karena hal tersebut, akhirnya gue sudah bisa menuruti keinginan Fika. Dan atas kejadian ini, Akhirnya gue sudah memutuskan untuk melakukan apa yang di sarankan oleh santo.

Beberapa jam berlalu, akhirnya gue dan ke tiga personil lain sampai di bandara soekarno-hatta. Dengan penuh rasa syukur, gue mulai melangkahkan kaki keluar bandara untuk melanjutkan perjalanan menuju bekasi. Dalam perjalanan gue melihat beranda Facebook. Akun Facebook Fika baru saja menuliskan sebuah status.

“Makasih udah bantuin aku, hati-hati di jalan yah”. Status Facebook Fika.
Gue yang membaca status itu sungguh bahagia, gue meluapkannya dengan cara tersenyum lebar dan seakan-akan ingin berteriak demi meluapkan kebahagiaan gue. Ternyata, di sisi lain status itu nggak di tujukan untuk gue, melainkan untuk kekasihnya, Andriko. Hal itu di buktikan dengan komentar dari Andriko.
“Sama-sama sayang, kamu hati-hati di sekolah yah. Doain aku agar bisa sampai rumah dengan selamat”. Isi komentar Andriko.
Gue pada saat itu sama sekali nggak membaca komentar di status Fika tersebut. Nanti gue baca setelah beberapa hari berlalu. Kata teman-teman di sekolah, pagi itu Andriko menjemput dan mengantarkan Fika ke sekolahnya. Dan akhirnya gue tahu tentang maksud status Fika tersebut. Udah jingkrak-jingkrak kegirangan ternyata miss komunikasi. X_X

Hari-hari gue lalui di kota bekasi. Kegiatan di sana banyak waktu lowongnya. Kami mendapatkan nomor urut 30 dan harus menunggu sampai esok hari karena dalam sehari hanya akan menampilkan 15 grup nasyid. Dalam penantian sebelum menjajaki panggung, gue membuka foto-foto Fika yang ada di Facebooknya. gue sungguh tertarik dengan kecantikan Fika. Kilau rambut dan senyumnya sungguh membuat hati gue luluh dan meleleh bagaikan es nyempung ke lava. Kerasnya hidup kini menjadi nyaman dalam diri gue karena kehadiran Fika. Beberapa saat kemudian, teman-teman gue mengacaukan lamunan gue. Mereka mengajak gue untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang nggak jauh dari situ. gue akhirnya pergi bersama mereka. Aroma lentera sore sudah akan meredup. Rembang senja sudah mulai menampakkan diri. Sore itu kota bekasi terlihat sungguh menawan. Lampu-lampu gedung pusat perbelanjaan terlihat kelap-kelip berirama seakan terikat oleh irama. gue melangkahkan kaki memasuki pusat perbelanjaan yang lengkap. Gue menuju ke sebuah toko pernak-pernik sembari mengotak-otik Handphone.

Brak!!!.
“Eh, maaf, aku nggak sengaja”. Ucap gue sembari meminta maaf karena keasikan main Handphone, sampai-sampai nggak melihat jalan dan menabrak seorang wanita.
“Iya, maaf aku nggak liat kamu tadi”. Jawab wanita itu.
“Eh, kamu nggak apa-apakan?”. Tanya gue.
“Iya nggak apa-apa, kenalin, nama aku Jenny. Kamu?”. Sahut wanita yang bernama Jenny sembari menyodorkan tangan kanannya ke gue.
            Gue heran sama nih cewek, Cuma gara-gara ketabrak sama gue, langsung ajak kenalan.
“Nama aku Rafa”. Jawab gue sembari menyambut tangan Jenny.
“Kamu tinggal di daerah mana?”. Tanya Jenny.
“Oh aku hanya tamu disini. Aku lagi ikut lomba, sekarang aku nginapnya di asrama haji”. Jawab gue.
“Oh, aku juga tamu disini. Aku lagi liburan ke rumah kakek aku. Eh aku boleh nggak minta nomor mu? Yah, hanya sekedar berbagi informasi daerahmu, soalnya aku pengen ikut lomba otonomi daerah”. Tanya Jenny.
“Oh, gitu yah, boleh, 08967989xxxx. Eh, itu lombanya buat anak SMA di seluruh indonesia kan?”. Tanya gue.
“Iya”. Jawab Jenny.
“Oh, kalau gitu aku boleh ikut dong. Eh, gini aja deh Jen, kamu entar sms aku yah tentang informasi lombanya”. Sahut gue.
“Boleh boleh. Hm yaudah, entar aku SMS ke kamu. Kalau gitu aku pergi dulu yah”. Jawab Jenny.

Jenny pun terlihat pergi ke pintu keluar, tampaknya dia sudah mau pulang. Beberapa saat kemudian ada SMS masuk ke handphone gue. Yang mengirim pesan itu adalah Jenny. Ia mengirim semua informasi lomba otonomi daerah yang ia sebutkan tadi. Gue memang sangat tertarik kepada lomba-lomba yang berhubungan dengan menulis.

Masih di tempat perbelanjaan. Seusai kejadian tadi, gue melanjutkan langkah kaki mencari teman-teman yang lain. Karena percakapan dengan Jenny, teman-teman gue ninggali gue. Gue akhirnya memutuskan untuk berjalan sendiri mencari oleh-oleh di tempat perbelanjaan itu. Pada saat akan menaiki eskalator ke lantai tiga, gue melihat toko sepatu, dan ada sepatu yang berwarna silver. Sepatu itu dihiasi dengan manik-manik yang berkilaun menambah ketertarikan gue kepada sepatu itu. Pada saat gue melihat sepatu itu, gue langsung teringat kepada Fika. gue ingin sekali menghadiahkan sepatu itu kepada Fika sebagai oleh-oleh. Namun, sebelum gue membeli sepatu itu, Ia terlebih dahulu menelpon Fika untuk menanyakan nomor sepatu. Akan tetapi, Fika tidak mengangkat telfon dari gue. Gue mencoba menelponnya berulang-ulang kali namun hasilnya masih tetap saja nihil. Gue pun berinisiatif untuk mengspekulasi ukuran sepatu Fika. Gue membeli sepatu dengan ukuran 38. Sesampainya di kamar asrama, gue lalu menelpon Fika, dan kali ini Fika mengangkatnya.

“Halo? Ada apa Raf? Sorry tadi nggak keangkat telefon kamu”. Tanya Fika.
“Iya nggak apa-apa. Eh, ini Fik, aku tadi beli oleh-oleh sepatu buat kamu. Tapi ukurannya 38. Muat nggak?”. Tanya gue.
“Oh, makasih banyak yah. iya muat kok, kaki aku memang ukurannya 38”. Jawab Fika.
“Syukur deh. Kalau gitu sudah dulu yah”. Ujar gue sambil menutup telefon.

Gue sangat senang karena gue sudah bisa memberikan hal-hal kecil kepada Fika. Hue berharap, Fika dapat membuka hati kepadan gue agar perjuangan gue tidak akan sia-sia dan akan terus berlanjut.
Hari esok pun tiba. Hari itu adalah hari dimana gue dan grup Nasyidnya akan menjajaki panggung untuk memberikan pernampilan terbaik demi maju ke babak final. Dengan sedikit pemanasan pita suara, Akhirnya  kami siap naik ke atas panggung.
Seluruh penonton tampak terhibur dengan penampilan kami. Suara-suara yang merdu dihiasi dengan iringan beatbox menjadikan penampilan kami semakin menarik. Sorak-soray penonton menandai berakhirnya penampilan kami. Beberapa saat kemudian, tepatnya ketika seluruh peserta sudah tampil, panitia lomba mengumumkan sepuluh grup yang melaju ke babak final. Persaingan sangatlah ketat. Bakat-bakat dari seluruh Indonesia hadir dan beraduh dalam lomba tersebut. Kualitas penampilan dalam berbagai aspek sangatlah seimbang sampai-sampai panitia sangat kesulitan untuk menentukan sepuluh finalisnya. Namun sayang, kami berempat harus terjunggal di babak penyisihan. Akan tetapi, kami nggak menampakkan wajah kekecewaan. Karena bagi kami, sudah sampai sejauh ini adalah hal yang nggak bisa dirasakan oleh segelintir orang.

“Kalah dan menang itu biasa, namun sportifitaslah yang luar biasa”. Ujar Udztad Sapri yang menjadi Pembina grup Nasyid mereka.
“iya Udztad. bagi kami, sudah sampai sejauh ini adalah pencapaian yang luar biasa”. Ujar gue penuh senyuman.
“Yoi Udztad, kita semua tetap harus keep smile and don’t be sad”. Ujar Santo.
“Apaan loh, ngomongnya yang jelas dong”. Ujar Fahmi. Dia terlihat marah karena mungkin nggak mengerti apa yang dikatakan Santo.
“Sudah sudah, Entar malam udztad traktir deh kalian semua”.
“Beneran Udztad?. Asik, makan gratis lagi deh kita”. Sahut Andra.
“Yaelah, kalau urusan makan loh yang paling depan”. Ujar Fahmi.
            Kami akhirnya bisa menghibur diri masing-masing. Nggak terlihat sedikit kekecewaan diraut wajah kami.
            Hari esok pun tiba, Adzan Subuh membangunkan seluruh peserta lomba  dari seluruh Indonesia. Hari itu kami akan kembali ke kota kami karena seluruh kegiatan disana telah selesai. Gue mulai membereskan barang-barang dan berangkat menuju Jakarta karena kami akan take off dari bandara Soekarno-Hatta.
            Ketika dalam perjalanan menuju bandara, ada pesan yang masuk di handphone gue. Dan yang mengirim pesan itu adalah Fika.
“Rafa, kamu cepat pulang yah, Widya tadi pingsan, dia nyebut-nyebut nama kamu”. Isi SMS Fika.
            Gue kaget setelah membaca isi SMS Fika. Gue sungguh nggak menyangka dengan kejadian itu. Gue malah menunjukan wajah kebingungan.
“Iya iya Fika, ini aku lagi dalam perjalanan menuju bandara”.  Isi SMS gue.
“oh oke, hati-hati yah”. Jawab Fika.
            Gue semakin nggak abis pikir atas kejadian itu. Gue sangat bingung. Entah apa yang harus gue perbuat. Bagi gue, hal itu akan memberatkan diri gue untuk mencintai Fika.
“Wid, wid, kita udah lama temenan, apa mungkin kamu suka sama aku?”. Gumam gue dalam hati.
            Santo yang berada disamping gue mencoba mencari tahu apa penyebab wajah gue tiba-tiba menampakkan ekspresi kebingungan. Akan tetapi, nggak nggak memberitahukannya dan memilih untuk mengelak.

Kami tiba dengan selamat dikota kesayangan kami. Semilir angin nan sejuk, menghantarkan keramahan situasi yang menghangatkan hati. Alunan nyiur melambai mendayuh bak melodi keindahan menabuh daun-daun. Semua ketenangan batin menghampiri diri gue, akan tetapi, karena terburu-buru, gue dengan cekatan mendatangi rumah Widya untuk memastikan keadaannya. Koper yang berisi pakaian nggak menjadi halangan bagi gue. Fahmi, Santo dan Andra kebingungan ketika melihat gue yang sedang tergesa-gesa meninggalkan bandara. Akhirnya gue sampai dikediaman Widya, terlihat beberapa teman dekat Widya sedang berada di depan rumahnya.

"Rafa, cepat jenguk Widya, dia kayaknya ngigo loh mulu". Ujar teman Widya yang bernama Sela.
Dengan cepat gue langsung pergi bertemu Widya. Ia terlihat sedang terbaring dengan wajah yang sangat pucat. Fika juga ada ditempat itu dan berada persis disamping Widya. Gue yang melihat Fika malah lebih kebingungan, mendekat atau nggak. Dengan perlahan, gue akhirnya duduk disamping Widya.
"Rafa, kayaknya kamu punya kemistri deh sama Widya". Ucap Fika sembari memegang tangan Widya.
"Aku juga bingung, semoga dia cepat sembuh". Jawab gue.
Beberapa saat kemudian, Widya terbangun dan langsung memegang tangan gue. Dinginnya minta ampun bray, kayak lagi di pegang sama mayat hidup.
"Rafa, makasih yah udah datang". Ucap Widya yang baru saja siuman.
"Iya, sebagai teman yang baik aku akan selalu ada buat kamu". Ujar gue.
Mendengan perkataan gue yang menyebutkan kata teman membuat Widya terdiam dan melepaskan genggaman tangan serta menolehkan kepala ke arah lainnya. Fika sadar dengan kejadian itu.
"Kamu kenapa ngomongnya kayak gitu. Dia drop lagi kan". Ujar Fika dengan suara yang membisik sambil mencubit gue.
"Aduh, aku harus gimana Fika?". Tanya gue.
"Jadilah pria dewasa dan ngertiin dia". Jawab Fika.

Atas kejadian itu, gue terjebak dalam dilema. gue sungguh mencintai Fika, akan tetapi Widya memberatkan keinginan gue untuk mendapatkan hati Fika dengan memberi isyarat bahwa ia benar-benar mencintai gue. Sambil mungukir langkah di pantai, gue berjalan dengan penuh kebimbangan. Apakah gue harus memilih Fika, yang membuat hatinya luluh dengan cepat disaat kegundahan hati menyerebak bak bunga sakura yang tumbuh di musim gugur. Atau Widya yang sedari dulu menjanjikan persahabatan namun menagih cinta kepada gue. gue sungguh nggak tahu langkah apa yang harus gue ambil.

Keesokan harinya, gue pergi ke sekolah seperti biasa. Sambil membawa oleh-oleh yang ia beli dari bekasi, gue pun melewati gerbang sekolah dengan penuh senyuman. Gue bertemu dengan Fika di depan perpustakaan. Tanpa berbasa-basi, gue  langsung memberikan kotak hadiah itu kepada Fika. Fika langsung membukanya. Senyuman manis terukir di wajah Fika ketika ia melihat sepatu silver yang berkilauan.
"Rafa, aku suka banget. Makasih banyak yah". Ujar Fika tanda terima kasih.
"Iya sama-sama Fika". Jawab gue.

Gue sangat bahagia karena bisa melihat Fika tersenyum manis dan menyukai hadiahitu. Gue kali ini benar-benar berharap, hati Fika akan luluh dan berpaling ke pelukkan gue. Di balik kejadian itu, tepatnya di samping ruang guru, ada sepasang mata yang menatap dan mencoba menelaah arti perbincangan antara Gue dan Fika. Orang itu adalah Widya. Walaupun gue sudah melihatnya, gue  nggak perduliin dia dan tetap fokus ke wajah Fika. Tampaknya Ia mulai menyadari kedekatan gue dan Fika. Entah apa yang ada dibenaknya, namun yang pasti, ia belum bisa menerima kedekatan antara gue dan Fika.







BAB 4
Lonceng istirahat dibunyikan. Widya duduk sendirian dikursi samping lapangan voli. gue yang baru akan menuju ke kantin terhenti karena melihat Widya yang sedang termenung dengan wajah yang murung menatap tabletnya. Gue sungguh penasaran terhadap situasi yang di menghampiri batin Widya. Gue pun melanjutkan langkah kakinya menuju kantin dan membelikan minuman buat Widya. Setelah dari kantin, gue menuju ke Widya hanya untuk sekedar mencari tahu kenapa kemurungan menghampiri wajah Widya.
"Nih Wid, kamu minum dulu". Ucap gue sambil menyodorkan minuman.
"Makasih Rafa". Jawab Widya.
"Kamu kenapa wajahnya kok murung gitu?". Tanya gue.
Ternyata Ia sedang melihat gambar seorang pria yang sudah kelihatan kebapak-bapaan. Ia pun menceritakan tentang wajah seorang pria yang sedang ia lihat. Ternyata itu adalah ayahnya yang sudah meninggal 3 tahun lalu. Hati gue bergetar setelah mendengar kisah yang diceritakan oleh Widya. Saat akan mengikuti UN waktu Widya masih SMP, ayah Widya meninggal. Ia sangat terpukul dengan kejadian itu. Gue pun mencoba mencari candaan untuk menghibur Widya. Dan akhirnya sedikit senyum tergambar di wajah Widya.

Hari demi hari berlalu. Gue sudah banyak membantu Fika dalam berbagai hal, mulai dari membantu membuatkan PR, membantu disaat ulangan harian, bahkan membantu menyelesaikan kesimpulan diskusi. Kebaikan gue kepada Fika ibarat benih yang sudah tertanam dan tinggal menunggu ia tumbuh. gue sangat berharap, dari semua kebaikan yang gue berikan, Fika bersedia untuk membuka pintu hatinya buat gue.

Setelah perjuangan-perjuangan gue demi mendapatkan Fika, tibalah hari dimana gue akan membulatkan tekad untuk mengungkapkan perasaan gue kepada Fika. Gue sama dia berpapasan di depan ruangan komputer. Saat itu adalah waktu yang paling tepat bagi gue untuk mengungkapkan perasaan yang udah lama gue pendam. Fika terlihat sedang jalan sendiri dan situasi ditempat itu hanya gue sama dia.
"Fika, ada yang pingin aku omongin". Ujar gue.
"Iya boleh, ngomong apa?". Sahut Fika.
Lidah gue seakan mati rasa dan sangat kaku untuk mengungkapkan bahwa gue benar-benar suka terhadap Fika. Gue mungkin siap untuk mengungkapkannya, akan tetapi, lisan terbataskan keberanian untuk melafadzkannya. Akhirnya gue mengurungkan niat gue dan mencoba menunda keinginan tersebut.
"Eh, entar aja deh Fik". Ujar gue dengan wajah yang sedikit gugup.
"Hm, iya deh kalau gitu. Aku mau ke kelas dulu". Jawab Fika sembari melangkahkan kaki menjauh menuju kelas.

Sesampainya dirumah, gue semakin gelisah karena udah nggak mampu untuk memendam rasa cinta gue. Gue mengotak-atik Handphone. Sesekali gue menampakan raut wajah yang penuh kegelisahan. Beberapa saat kemudian, Fika mengirim pesan kepada gue.
"Rafa, kamu tadi mau bilang apa?". Tanya Fika lewat pesan singkatnya.
Gue yang membaca pesan itu akhirnya mulai membulatkan tekad dan memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan gue.
"Ehm Fik, aku ngomong sesuatu nih sama kamu. Tapi aku minta maaf terlebih dahulu yah". Ujar gue.
"Iya, mau ngomong apa?". Tanya Fika penasaran.
"Aku sebenarnya suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?, tapi kamu punya pacar nggak?". Ungkapan hati gue melalui pesan.
Memang terlihat aneh jika ada seorang lelaki yang mengungkapkan perasaanya lewat SMS. Namun kali ini, gue benar-benar melakukannya.
"Ih, Rafa gimana sih, udah tau pake nanya". Jawab Fika.
"Udah tau apa? Kamu punya pacar?". Tanya gue dengan raut wajah yang tegang.
"Iya Rafa :-(." Jawab Fika.
Pada saat gue membaca SMS Fika, gue langsung tertunduk lesu sembari menampakkan ekspresi kekecewaan yang sangat mendalam.
"Hm, iya Fika, nggak apa-apa. Aku minta maaf yah karena udah sita waktu kamu". Ujar gue penuh kekecewaan.
Gue termenung dan nggak bisa menerima kenyataan bahwa Fika menolak karena Fika masih punya kekasih. Apa yang gue lakukan selama 3 bulan masa pendekatan, serasa nggak ada gunanya. Gue hanya mampu untuk menahan amarah dan rasa kecewa agar nggak nampak ketika bertemu Fika di lain waktu.

Sungguh ketidakberdayaan ini membuat gue hilang arah. Apa yang gue impi-impikan harus lenyap begitu saja. Serasa sudah nggak ada harapan lagi. Gue seperti sudah nggak ingin menatap wajah Fika. Raut wajah yang penuh emosional sedikit terpampang di wajah gue. Gue melangkah keluar kamar tidur dan akhirnya gue pun mencoba melepaskan duka lara dengan mencari suatu tempat yang sepi dimana gue akan merenungkan nasib dari akhir perjuangan yang gue rangkai selama ini. Itulah sifat gue, memang agak aneh. Tapi, hal itulah yang sering gue lakuin untuk membuang emosi dan kesedihan yang gue rasakan.

Mentari pagi mulai menampakkan diri. Hembusan udara pagi menghantarkan embun ke dedaunan. Kelopak bunga mulai membuka dan berani menampakkan diri. Hari itu gue memulai hari dengan penuh kegundahan. Langkah kaki gue sangat berat ketika ingin menuju sekolah. Kemerduan kicauan burung sungguh nggak ada artinya bagi telinga gue. Kesumbangan melodi di lubuk hati tergambar jelas di diri gue.
Tit. Tit.!!! Suara klakson motor milik Ryan.
"Oy bro, masih pagi, kenapa muka loh kusut amat?." Tanya Ryan saat bertemu dengan gue di tempat parkir.
"Nggak bro, lagi ngantuk aja". Ucap Rafa yang mencoba menutupi kegundahan hatinya.

Seperti biasa, gue berjalan menuju kelas dengan ekspresi lemas dan raut wajah yang menggambarkan kesedihan. Pada saat gue akan masuk ke kelas, tiba-tiba Fika keluar kelas. Kami berdua akhirnya berhadapan dan bertatapan mata. Dengan ekspresi yang nggak karuan, gue akhirnya mengucapkan selamat pagi. Salam itu pun langsung di jawab oleh Fika. Tanpa berbasa-basi, gue pun langsung menuju ke tempat duduk gue. Terlihat Fika sedang berjalan menuju ke kelas sebelah. Kegaduhan di kelas itu seakan nggak mengusik telinga gue. Gue hanya termenung, termenung, dan termenung. Tiba-tiba ada suara yang terdengar menyapa dari samping kanan gue.
"Hai Rafa". Sapa Widya.”
“Eh, Hai juga Wid". Sahut gue.
"Kamu ngelamun mulu, ada apa?, kayaknya kamu punya masalah deh. Cerita dong?". Tanya Widya.
“e, e, nggak Wid, lagi nggak mood aja. Pengaruh dompet yang lagi kosong kali yah?.” Canda gue sambil menyembunyikan luka di hati.
“Aduh, ada-ada aja kamu Raf. Yaudah, aku mau ke ruang guru dulu. Mau cari wali kelas”. Ujar Widya.
“Ok Wid”. Jawab gue.
            Gue akhirnya mencoba merubah ekspresi agar segala duka lara yang gue rasakan bisa terhapuskan.
            Dikelas sebelah, terlihat Fika yang sedang ngobrol bersama teman-temannya. Ia  terlihat biasa-biasa saja seperti nggak ada hal yang mengganjal. Karena hal tersebut, gue semakin ragu kepada Fika. Mulai detik itu pun akhrinya gue berikrar dalam hati bahwa gue akan mulai melupakan Fika dan hanya akan menjadi teman yang baik untuk Fika.
            Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, dan hari demi hari terlewati ibarat angin yang terus berhembus tanpa memberi tahu bahwa kapan ia harus berhenti. Itulah pengibaratan waktu yang menjadi saksi perjalanan hidup gue.

Kukuruyuk!!!. Suara ayam jago milik tetangga sebelah membangunkan gue. Gue mengucek mata setelah terbuka dari katup karena suara ayam tadi. Pada pagi itu gue membereskan kamar tidur gue. Sesegera mungkin gue siap-siap untuk berangkat ke sekolah. Baru 3 langkah keluar dari pintu kamar untuk mengambil handuk, rasa mengantuk datang mengganggu gue. Sebisa mungkin gue mencoba menghilangkan rasa ngantuk dengan cara terus berjalan keluar rumah untuk mengambil handuk. Selesai mandi dan pake baju, gue langsung menuju ke meja makan untuk sarapan. Sudah menunggu di meja makan ayah gue yang sedang memotong roti. Tanpa bercakap-cakap, gue langsung memakan roti dengan selai kacang dan meneguk segelas susu coklat gue tanpa sisa. Sambil melirik jam tangan gue, gue langsung menuju ke sekolah. Semilir angin nan sejuk menghantarkan gue di sekolah tercinta. Gue sampai tepat waktu. Karena pada saat gue sampai, bel tanda upacara akan dimulai sudah dibunyikan. Setiap hari senin sekolah gue selalu melaksanakan upacara. Dan gue selalu mengambil posisi dikelompok paduan suara atau biasa di sebut kelompok lagu. Pada pagi itu terlihat seluruh siswa sudah berbaris rapih dan sudah nggak ada suara riuh di tandai dengan dimulainya upacara bendera. Upacara berlangsung dengan hikmat. Nggak lama kemudian, tibalah sesi pengibaran bendera merah putih diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Yang menjadi dirigen adalah Widya karena jika dibandingkan dengan siswa lainnya, Widya punya suara yang merdua ditambah pengalamannya dalam bermusik. Widya pun berdiri di depan kelompok lagu membelakangi seluruh peserta upacara. Gue memperhatikannya dengan seksama. Ada yang aneh hari ini di diri Widya. Widya terlihat sangat pucat dan tampaknya kesehatannya sedang terganggu. Namun jika dilihat dari sikapnya, Ia terlihat baik-baik saja. Pada saat memimpin kelompok lagu pun nggak ada masalah. Makanya gue nggak menghiraukannya. Gue pikir mungkin pengaruh kulit yang putih menyebabkan WIdya terlihat pucat.
            Suatu ketika pada saat gue dan Santo akan menuju ke laboratorium untuk mengambil baju praktek, tiba-tiba pak saleh satpam di sekolah itu memanggil kami berdua. Pak saleh memberi informasi kepada kami berdua bahwa Widya ditemukan pingsan di toilet. Dengan cekatan gue dan Santo berlari menuju toilet. Di depan toilet sudah berkerumun banyak siswa dan terlihat juga beberapa guru-guru yang berusaha merangsek masuk ke dalam. Melihat gue dan Santo datang, mereka semua menyeruak ke samping untuk memberi jalan karena gue adalah mantan ketua Palang Merah Remaja(PMR) di sekolah itu. Di samping bak, di dekat wastafel, tergeletak sosok Widya. Gue berlutut di samping Widya untuk memeriksa keadaannya. Nadinya berdenyut kencang saat gue menyentuh lehernya dan terlihat dadanya kembang-kempis dengan cepat.
"Santo, loh lari ke uks siapin oksigen". Seru gue.
Dengan cepat, gue menggendong Widya menuju ruang uks. Pada saat menuju ke uks, gue yang sedang menggendong Widya bertemu Fika. Karena gue adalah seorang siswa yang paham sedikit mengenai medis, gue pun nggak memperdulikan Fika dan tetap terus melanjutkan langkah menuju uks.
Santo sudah mempersiapkan oksigen. gue meletakkan Widya di tempat tidur lalu gue memasangkan face mask untuk mengalirkan oksigen ke Widya. Akhirnya pertolongan pertama dapat di berikan. Beberapa saat kemudian, ibu lani, wali kelas gue masuk ke ruangan itu. Ibu lani memberikan informasi kepada gue dan Santo bahwa Widya punya penyakit Asma sedari kecil. Kata Ibu lani penyakit yang ia alami sudah lama nggak kambuh. Dan hari ini kembali kambuh sampai membuat ia tidak sadarkan diri. Gue sangat kaget dengan informasi yang disampaikan Ibu lani. Sedari dulu Widya adalah teman dekat gue, namun gue nggak pernah tahu bahwa Widya punya penyakit Asma. Widya juga nggak pernah memberitahu kepada siapapun, kecuali beberapa guru yang pernah melihat ia kambuh di ruang guru. Tidak lama kemudian, Fika masuk ke ruangan itu, dia di dampingi oleh temannya yang bernama Nada. Dia terlihat tampak kesakitan. Terlihat kaki kanan Fika berdarah. Gue yang melihat Fika sedang terluka agak ragu-ragu untuk mendekati Fika dan membersihkan lukanya. Sebenarnya Ini adalah dampak dari penolakkan yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Ya bisa dibilang masih ada sisa-sisa rasa sakit di hati gue. Namun gue sungguh nggak tega membiarkan Fika terluka sembari kaki yang berlumuran darah. Akhirnya gue mengambil beberapa alat medis dan membersihkan luka Fika.
"Kamu kenapa sampai kayak gini Fik?". Tanya gue sambil membersihkan luka Fika.
"Aku tadi jalan koridor, terus kaki ku nyangkut di pot bunga, jadinya kayak gini deh. Malah banyak yang ketawain lagi.". Jawab Fika.
"Lain kali hati-hati yah, aku nggak tega liat kamu kesakitan kayak gini". Ujar gue.
Fika yang mendengar Perkataan gue menampakkan wajah haru dan kagum terhadap ucapan gue. Sambil memegang bahu gue, Fika menyampaikan sesuatu kepada gue.
"Raf, kamu kenapa baik banget sama aku?". Tanya Fika.
"Kenapa enggak Fik?, bagi aku kamu spesial. Dan kamu pantas dapet semua ini". Jawab Gue dengan nada yang halus menandakan keseriusan ucapan gue.
"Untuk saat ini aku hanya bisa bilang makasih sama kamu". Ujar Fika.
Gue yang mendengar pernyataan Fika terkejut dan senyuman tergambar di wajah gue. Gue sangat bahagia karena gue menganggap bahwa Fika sudah memberi sinyal bahwa ia akan menerima gue suatu saat nanti walaupun gue nggak tahu kapan itu akan terjadi.

Senada dengan kejadian itu, gue mulai membiasakan diri untuk melanjutkan perjuangan gue yang sempat terhenti karena penolakkan beberapa waktu lalu. Dengan senyum kegirangan yang tertutupi oleh kaca helm, gue pulang dengan penuh keceriaan.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
Bel lonceng dibunyikan tanda jam pelajaran pertama dimulai. Di pagi itu kepala gue sibuk bergerak dan terus memantau ke arah luar kelas hampir tanpa berkedip. Gue sedang menunggu Fika yang sedari tadi belum datang. Gue sangat gelisah. Pikiran gue nggak fokus di papan tulis dan terus saja mengarahkan mata gue keluar kelas.
"Pagi bu". Ucap Fika sembari mengetuk pintu kelas.
"Kenapa kamu terlambat?". Tanya Ibu wenda yang mengajar mata pelajaran biologi.
"Saya telat bangun bu, maaf yah bu". Ujar Fika membela diri.
"Hm yasudah, silahkan duduk". Ucap Ibu wenda mempersilahkan duduk.

Karena melihat Fika sudah tiba dan nggak dimarahi oleh guru, senyuman manis terpampang jelas di wajah gue menandakan semua kegelisahan telah terhapuskan.
Tidak lama kemudian, Ibu wenda memberikan tugas untuk meneliti tentang asal mula kehidupan. Namun, waktunya sangat singkat. Bisa di bilang nggak ada waktu untuk searching di internet. Kali ini gue benar-benar unggul. Karena ketepatan gue dalam meneliti dan mengembangkan suatu topik sangatlah baik. Dengan leluasa pulpen gue mulai menulis kata demi kata. Hanya dalam waktu 7 menit gue sudah bisa menyelesaikan tugas gue. Gue pun langsung membawa tugas itu ke meja guru. Dan sangat luar biasa, gue berhasil mendapat nilai yang baik. Gue pun kembali ke tempat duduk gue. Terlihat Fika yang duduk dengan 4 kursi ke kanan dari gue, sedang kebingungan dalam menyelesaikan tugas itu. Gue pun berinisiatif untuk membagi jawaban kepada Fika.
"PING!!!". Pesan melalui BBM yang dikirim gue sampai ke Fika.
"Ya Raf?". Sahut Fika.
"Kamu mau jawaban nggak?". Tanya gue.
"Mau Raf". Jawab Fika.

Gue akhirnya memberikan jawaban kepada Fika sekaligus dengan penjelasannya agar Fika nggak terbata-bata ketika di tanya oleh guru. Setelah selesai mencatat, Fika membawa tugasnya di meja guru. Terlihat Fika tersenyum setelah mengantar tugas kepada guru. Gue kali ini benar-benar berhasil untuk membuat Fika tersenyum. Harapan gue semakin membumbung tinggi agar nantinya Fika dapat membuka hatinya dan melukiskan nama gue dihatinya.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

Siang itu panas terik menusuk kulit, keringat mengucur melintas kening gue. Dahaga menyelimuti diri. Siang yang panas itu mencoba merontah dan memaksa setiap manusia menikmati suhu di waktu itu. Bel pulang di bunyikan. Seluruh siswa berhamburan keluar gedung sekolah denan penuh keceriaan. Di kelas 12 IPA 3 ada gue yang sibuk membereskan buku-buku yang beserakan diatas meja. Di kelas itu sudah sepih dan tersisa hanya gue dan Fika. Sembari membereskan buku, mata gue sesekali di arahkan ke Fika. Pada saat itu Fika sedang menelpon seseorang. Entah siapa yang ia terlfon, yang pasti gue nggak berharap bahwa yang ia telfon adalah Andriko. Tidak lama kemudian, Fika berjalan di dekat gue dan berhenti di depan gue.
"Eh, Fika, kenapa belum pulang?". Tanya gue dengan raut wajah yang sedikit gugup.
"Boleh nggak aku tanya sesuatu sama kamu?". Fika malah balik bertanya ke gue.
" iya boleh. Tanya apa?". Sahut gue.
"Apa benar sampai saat ini kamu masih suka sama aku?". Tanya Fika sambil beradu pandangan.
"Jujur, aku masih sayang sama kamu". Jawab gue dengan pandangan tajam mengarah ke kedua bola mata Fika.
Tampak ekpresi terkejut di wajah Fika ketika melihat tatapan yang penuh keseriusan yang di tunjukin gue. Fika pun melanjutkan pertanyaan.
"Sampai kapan kamu bakalan sayang sama aku?". Tanya Fika melanjutkan obrolan dengan penuh keseriusan dan debaran jantung.
"Aku nggak tau sampai kapan, tapi jika aku jawab selamanya itu jelas hanya sekedar gombal". Jawab gue dengan mantap penuh keberanian menandakan keseriusan hati gue mempertanggungjawabkan ucapan yang keluar dari mulut gue.
Fika hanya terdiam membisu menampakkan sikap yang bungkam. Akan tetapi beberapa saat kemudian senyum merekah dibibir Fika namun ia berusaha mengulum senyum agar nggak ketahuan oleh gue.
Tiba-tiba keheningan itu pecah saat gue memulai untuk melanjutkan percakapan.
"Kamu udah mau pulang? yuk bareng sama aku? Di luar panas loh". Ucap gue mengajak Fika pulang bersama.
"Hm, terserah kamu deh, yang penting jangan ngebut yah". Ucap Fika mengiyakan ajakkan gue sambil merekahkan senyum di bibir manisnya.
Gue nggak menghiraukan panas terik yang menyengat kulit. Dahaga yang datang mengganggu nggak dapat menghancurkan kebahagiaan gue pada saat itu yang sedang cengar-cengir mengantar Fika pulang ke rumahnya. Terlihat Fika hanya menampakkan sedikit senyum kecil dengan uraian rambut tersapu semilir angin yang datang menyambar.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

Sampailah kami berdua di depan rumah Fika. Terlihat di depan rumah itu ada Oma Fika yang sedang duduk menjaga kedai makanan. Oma Fika sangat baik hati. Dulu, pada saat gue pertama kali melihat wajah Oma Fika, sungguh nggak bisa berkutik dan sedikit takut karena wajah Omanya yang terlihat garang.
"Makasih Rafa udah antarin Fika, mari masuk dulu". Ajak Oma Fika dengan sebuah senyum.
"Oh iya Oma, tapi Rafa mau langsung pulang aja". Jawab gue dengan senyum lugu dan penuh hormat.
"Udah makan? Kalau belum ayo makan dulu". Lagi-lagi Oma memaksa.
"Oh nggak usah repot-repot Oma, Rafa mau makan di rumah aja". Cakap gue.
"Oh yaudah, kamu hati-hati yah nak". Cakap Oma.
"Rafa, hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut yah". Ujar Fika menandakan sedikit sikap perhatiannya kepada gue.
"Iya Fika, aku jalan dulu yah". Jawab gue.
"Iya, hati-hati". Sahut Fika sambil melambaikan tangan.

Dengan penuh kebahagiaan, gue pun menampakkan senyum penuh kebahagiaan. Gagang stir motor gue genggam erat sembari meluapkan kebahagiaan karena bisa sedekat ini dan bisa memperpanjang perjuangan cinta gue kepada Fika.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

Pagi itu gue sampai di tempat parkir. Gue memarkir motor tepat di samping motor Ryan. Gue merapihkan rambut yang berhamburan karena pengaruh helm yang gue pakai. Setelah itu, gue langsung masuk melalui gerbang utama sekolah dengan ekspresi biasa-biasa saja. Terdengar beberapa sapaan dari adik-adik kelas dan langsung gue jawab  penuh dengan senyuman. Riuh di pagi itu sama sekali nggak terdengar karena pagi itu kesunyian masih menghampiri suasana disekitar. Gue mengayunkan langkah menuju kelas. Baru beberapa meter dari ruangan kelas, terdengar suara-suara siswa yang tampak gaduh di kelas gue. Ya, benar saja. Seluruh siswa sibuk mengerjakan tugas kimia yang sudah diberikan 2 minggu yang lalu. Untung saja, gue telah menyelesaikan tugas itu seminggu yang lalu. Mata gue langsung  mengarah ke Fika yang berada tepat di depan meja guru. Ia terlihat juga ikut tergesa-gesa dalam menyelesaikan tugas. Ia di temani oleh Nada. Terlihat mereka berdua sedang membahas soal. Namun ekspresi kebingungan selalu terpancar dari wajah mereka. Gue akhirnya mencoba memberanikan diri untuk memberitahu cara kerja tugas kimia yang sudah diberikan sudah cukup lama tapi bagi beberapa siswa nggak kunjung selesai. Hadeh, mungkin mereka pada lupa tugas itu, dan keingetnya sekarang. Maklum, anak muda. Gue juga sering gitu. :D
"Fik, susah yah tugasnya?". Tanya gue kepada Fika yang sedang berpikir keras menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
"Ia Raf. Dari semalam nggak kelar-kelar". Jawa Fika dengan ekspresi yang sedikit lesuh.
"Eh, Fik, kebetulan aku udah kelar. Nih catet aja punyaku, udah kelar kok". Ucap gue dengan percaya diri menawarkan jawaban tugas kimia yang dengan susah payah gue kerjain seminggu yang lalu.
"Beneran Raf? Takutnya aku ngerepotin kamu". Ujar Fika.
"Nggak ngerepotin kok, santay aja". Ujar gue sambil tersenyum. Senyumnya itu, mengesankan masbro.
"Makasih yah Rafa". Ucap Fika tanda terima kasih.
"Sama-sama Fik".

Perbuatan-perbuatan baik semakin gencar gue lakuin demi mendapatkan cinta dari Fika. Untuk saat ini gue nggak perduli seberapa jauh gue melangkah dan gue juga nggak perduli bagaimana akhirnya. Namun, dibalik kejadian itu ada sepasang mata yang memperhatikan nggak jauh dari posisi gue dan Fika. Yaitu Widya. Ia kayaknya menggurutu dalam hati dan sungguh nggak senang akan perlakukan yang baik dari gue untuk Fika. Dan semuanya nampak jelas di raut wajahnya. Nggak enak ngeliat wajah Widya yang cakep terus di penuhi amarah kayak gitu.






BAB 5

Malam itu gue  keluar rumah. Gue di suruh oleh Ibu gue untuk membeli bola lampu di mini market. Dengan memakai jaket berwana abu-abu, gue pun menaiki motor hijau kesayangan gue. Motor itu gue udah anggap istri ke 6 gue. Tapi pernah ada yang nanya, kalau dia yang ke 6, trus yang 1 sampai 5 siapa?, gue menjawab, “1 sampai 5 kan pancasila :D.
 Angin malam nggak menyurutkan keinginan gue. Gelap silih berganti menghampiri dan mengganggu penglihatan gue. Hanya cahaya dari lampu motor yang jadi teman gue menelusuri jalan yang gelap dan panjang. Sepanjang jalan, pemukiman warga menampakkan diri. Terlihat juga beberapa pedagang gorengan yang sibuk mengurus dagangannya.

            Akhirnya gue sampai disalah satu mini market yang nggak jauh dari sekolah gue. Setelah memarkir motor, gue pun langsung masuk ke dalam. Gue langsung mencari bola lampu yang disuruh beli ibu gue. Setelah membayar dikasir, gue langsung kembali ke tempat parkir untuk langsung pulang ke rumah. Sesampainya di tempat parkir, di kejauhan gue ngelihat seorang wanita yang dari perawakannya persis dengan Fika. Ia memakai baju berwarna biru langit dengan celana selutut berwarna hitam. Degan rambut di urai, terlihat wanita itu juga sedang berbicara dengan seorang laki-laki dengan janggung tipis di dagunya. Gue menatap wanita dan pria itu dengan durasi yang cukup lama sambil gue bersembunyi dibelakang sebuah mobil. Tidak lama kemudian mereka beranjak dari tempat mereka berdiri menggunakan motor berwarna putih. Dengan cekatan, gue langsung menaiki motor gue dan berusaha mengikuti kedua orang tersebut. Sungguh disayangkan, kendaraan yang gue kejar menghilang di perempatan dekat sekolah. Gue awalnya nggak ingin mengejarnya. Namun, Rasa penasaran dalam diri gue kepada wanita yang gue lihat mirip dengan Fika, memaksa diri gue untuk mengikuti sampai diperempatan jalan tersebut.
“Sial, kemana tuh orang. Ngilang kayak setan aja”. Gumam gue sambil berbalik arah dan kembali ke rumah.
            Dalam perjalanan, Rasa penasaran masih hinggap dalam pikiran gue. Mungkin karena wanita itu mirip dengan Fika, wanita yang gue idam-idamkan. Selepas kejadian itu, ternyata rasa penasaran masih ada di kepala  gue walaupun saat gue sudah mau tidur.
“Cewek itu siapa yah?. Mirip kayak Fika. Tapi ngapain malam-malam di jalan. Sama Cowok lagi”. Gumam gue dalam hati saat kejadian itu hinggap dikepala gue.
            Tidak lama kemudian gue membuka Recent Update di BBM di Handpone gue. Dan terlihat Fika baru saja menulis status di BBMnya. Dan isi statusnya cukup singkat yaitu “Sampai Rumah”. Gue sangat kaget dengan apa yang gue baca. Lalu gue mengucek-ngucek mata untuk memastikan bahwa apa yang gue baca memang benar. Namun, itu semua belum bisa membuktikan apa yang gue sangkah.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
           
Sore itu cukup merah dihiasi dengan awan-awan yang melengkapi keindahan dilangit. Kicauan burung masih terdengar. Di iringi dengan suara-suara ayam di dekat rumah Rewus. Sebenarnya, namanya bukan Rewus, melainkan Siswanto Sajarewus. Nama yang cukup aneh ditelingah banyak orang. Nama itu diberikan oleh Santo kepada Rewus karena sesuai tampaknya yang Rada aneh dan menakutkan. Rewus adalah salah satu teman baik gue. Dia tinggal disebuah tempat kos nggak jauh dari sekolah. Sore itu gue, Ray, Andra, Santo, dan Ryan, ngumpul bersama di kamar Rewus.  Kami  menamakan diri dengan sebutan Geng Suram. Geng ini sudah sangat terkenal di kalangan siswa dan guru di sekolah kami karena keanehan kami dalam bersikap. Namun kami sebenarnya nggak seaneh yang dipikirkan oleh banyak orang. Melainkan masih sedikit bersifat kekanak-kanakan. Sore itu kami sedang ngemil kacang yang di beli oleh Ryan. Awalnya kami sedang menonton anime. Namun karena lampu padam memaksa kami untuk memendam keinginan untuk nonton anime,*Hidup PLN. :D.
 Sambil menikmati kacang yang kami santap, terjadilah perbicangan di antara kami.
"Raf, gimana pedekate loh sama Fika?". Tanya Ryan.
Santo pun nggak mau kalah dengan menambahkan sebuah pertanyaan.
"Yoi Raf, udah sampe tahap mana bro? Jangan bilang kalo loh nggak ada kemajuan". Sambung santo.
"Hadeh, gue juga nggak tau kayak gimana nasib gue. Dia keras banget kayak batu. Cowok yang breokan kayak kambing masih aja dipertahanin". Jawab gue dengan wajah yang lemas.
"Loh kali bro yang kurang usaha". Ujar Rewus.
"Kurang usaha dimana bray? Loh aja yang pada nggak tau". Jawab gue dengan nada yang keki.
"Atau jangan-jangan sih andriko pake pelet lagi". Sambung Andra dengan wajah misterius.
"Mungkin aja tuh". Jawab gue.
"Gimana kalo pada saat kita ketemu sama Andriko di jalan, kita langsung cukur breoknya. Gue curiga, jangan-jangan breoknya itu yang jadi peletnya". Ujar Rewus.
"Ah, gila loh. Ada-ada aja". Jawab Ryan.
"Gua sih stuju-stuju aja yah, tapi bayangin dulu kalau dia tanpa breoknya. Pasti kayak kambing tanpa bulu". Ujar gue.
Kami semua pun tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai Rewus tersedat karena pengaruh kacang yang ia makan. Namun bukan malah menghilangkan kelucuan, tapi malah menambah kelucuan. Setidaknya, temen-temen gue sedikit dapat mengatasi beban-beban di otak gue. Rasanya gimana gitu. Mau menyerah, udah tanggung. Mau maju, takutnya nggak bakalan dapat apa-apa. Namun gue selalu nunjukin sama semua orang bawah gue tuh nggak mudah menyerah hanya karena sebuah batu kecil yang menjungkal langkah kaki gue.


☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

Bel lonceng istirahat telah dibunyikan. Saat itu gue sedang duduk dibawah tangga. Tiba-tiba jerry datang dan duduk disamping gue. Jerry adalah mantannya Fika. Mereka berdua jadian kira-kira hanya sebulan, lalu putus. Gue nggak tahu penyebab putusnya apa.
"Raf, gue denger-denger, loh lagi pedekate sama Fika yah?". Tanya Jerry dengan ekspresi serius.
"Hm, bisa dibilang gitu deh. Tapi nggak apa-apakan Jer?". Respon Gue.
"Iya nggak apa-apa. Semua anak-anak IPA tau kok loh lagi pedekate sama dia. Bahkan ada yang udah nganggep loh berdua udah jadian". Ujar jerry sambil menggesek-gesekan kaki dilantai. Kayaknya dia baru habis nginjek kotoran. :D
"Astaga, kalo gue gagal bakalan rumit nih ceritanya". Ujar gue sambil menampakkan wajah khawatir.
"Nggak apa-apa bro, usaha aja dulu. Hasilnya bukan loh yang tentuin". Nasehat Jerry sambil merangkul bahu gue.
"Hm, thanks yang Jer. Doain gue yah".
Tiba-tiba Fika lewat di hadapan kami berdua tanpa ditemani siapapun.
"Oke, oke, tuh Fika. Cepat ajak ke kantin. Loh traktirin minum kek, apa kek". Saran Jerry.
Gue nurutin saran Jerry. Dengan cekatan gue langsung berdiri tepat di hadapan Fika. Tanpa berbasa-basi, gue langsung mengajak Fika ke kantin.
"Fik, ayo ke kantin, aku traktir". Ajak gue dengan wajah penuh senyuman.
"Yah Raf, aku mau ke ruangan tata usaha dulu". Ucap Fika.
"Hm, aku temenin yah? Kalau udah kelar dari situ langsung bareng gue ke kantin yah?".Ajak gue.
Fika pun menggangguk tanda dia mengiyakan permohonan gue. Gue pun pergi bareng dia. Kami berdua menjadi bahan perhatian banyak orang disepanjang koridor yang kami lewat. Tapi gue nggak perduli. Gue tetap stay cool sambil menegakkan langkah agar terlihat tegap dan maco.
Sesampainya di depan tata usaha, gue pun menyuruh dia masuk dan gue lebih memilih nunggu di luar. Sekitar 10 menit, Fika akhirnya keluar sambil membawa sebuah map berwarna biru. Gue nggak perduli apa isi mapnya yang pasti gue langsung ajak Si Fika menuju kantin. Sehabis dari kantin, gue sama dia langsung menuju ke kelas. Rasa senang dalam hati gue semakin menggebu-gebu. Ingin rasanya untuk meluapkan rasa senang gue. Tapi karena ada Fika di samping gue, jadi gue stay cool aja. Gue sama dia berjalan menyusuri koridor dekat kelas IPS menuju kelas kami. Sesampainya di kelas, gue pergi duduk di kursinya Sela karena gue ngelihat dia duduk di kursi gue lagi ngobrol sama Widya. Dan nggak disangkah, Fika duduk di samping gue. Air mineral yang gue minum hampir muncrat. Karena pengaruh senang kali yah. Nggak jauh dari situ, gue ngeliat Widya yang kayaknya mata dia sesekali ngeliatin gue dan Fika dengan tatapan sinis. Gue mah nggak perduli, yang penting untuk saat ini gue bisa sama-sama dengan FIka.
Pada saat itu gue yang memulai pembicaraan biar suasana pada saat itu nggak garing.
"Fik, kamu mau kuliah dimana?". Tanya gue.
"Aku juga belum tau Raf, tapi rencananya pengen kuliah di IPDN". Jawabnya.
Aduh gila, pada saat itu wajahnya cantik banget. Gue sampai terperanga dibuatnya.
"Oh gitu yah, ada rencana ke perguruan tinggi negeri nggak?" Tanya gue sambil menatap matanya dengan penuh keseriusan.
"Hm, kalau PTN yang deket-deket aja Raf. Biar dekat sama Oma. Kasian Oma, papa sama mama aku jarang dirumah". Jawab Fika.
"Oh, iya de". Jawab gue.
Gue berharap dia nanya balik dan akhirnya sesuai harapan gue.
"Kalau kamu mau kuliah di mana, Raf?". Tanya Fika.
Gue akhirnya menceritakan tujuan hidup gue setelah gue lulus dari SMA. Dan gue seneng banget, Fika akhirnya bisa pasang ekspresi serius saat mendengar cerita gue.
"Aku rencananya mau sekolah di Yogyakarta. Dari dulu bapak aku kepengen aku sekolah disana. Tapi aku sedikit takut, kalau nantinya aku nggak lulus tes, Rugi uang pesawat nantinya". Jawab gue.
"Coba aja dulu Rafa. Kamu kan Pintar. Tapi seandainya kalau kamu ragu, yaudah, kuliah di manado aja". Ujar Fika.
"Iya Fik, nanti tunggu persetujuan dari bapak aku". Ujar gue.
Tidak lama kemudian Handphone gue berdering menandakan ada SMS masuk. Sial banget, lagi asik-asik ngobrol malah ada yang gangguin. Dan yang mengirim pesan itu adalah Santo. Dia ngajak gue ke kelas sebelah. Kata dia sih penting. Whateverlah penting atau nggak. Dengan berat hati,  gue akhirnya mengakhiri obrolan gue dengan Fika. Dan berpamitan untuk ke kelas sebelah. Gue mengayunkan langkah menuju kelas sebelah untuk memenuhi panggilan Santo. Terlihat semua anggota geng suram sudah berkumpul dan yang nggak ada disitu cuma gue. Gue akhirnya gabung dengan mereka dan duduk disamping Andra. Seperti biasa, kami membicarakan hal yang aneh dan bisa dibilang nggak masuk akal tapi kadang-kadang bisa menjadi mungkin buat di lakukan. Kami merencakan untuk membuat sebuah novel biografi tentang geng suram. Gue sih stuju-stuju aja sama mereka. Jujur sih, pikiran gue sedikit lebih dewasa dibanding mereka. Namun karena mereka baik dan gokil, gue akhirnya memutuskan untuk jadi sahabat dan teman akrab mereka. Waktu istirahat pada saat itu sangatlah panjang. Karena guru-guru setiap hari rabu mengadakan rapat dengan durasi yang cukup lama. Setelah berdikusi beberapa saat, akhirnya Santo yang bertugas sebagai notulen novel mulai mencatat kata demi kata dari pemikiran seluruh anggota geng suram. Genre novel itu adalah komedi. Di situlah menjadi awal kemunculan keinginan menulis gue. Gue terpikir untuk membuat sebuah novel tenlit yang berendingkan sedih. Gua pun langsung browsing di internet untuk melihat penerbit buku yang nggak ribet alias nggak ngerepotin sang penulis. Dan akhirnya gue dapat penerbit yang menerbitkan buku secara online. Gue sih nggak kepengen royaltinya, tapi gue harapkan yaitu gue bisa punya buku, dan dibaca bisa banyak orang serta bisa jadi kenang-kenangan di masa tua nanti. Gue akhirnya punya ide untuk membuat novel dengan judul Tatapanmu Bahagiaku. Dari judulnya sih kayaknya sudah bisa bikin orang penasaran. Setiap kali gue pulang sekolah, gue langsung menghadap laptop dan mulai mengetik kata demi kata menjadi sebuah kalimat, kalimat demi kalimat menjadi paragraf, paragraf demi paragraf menjadi sebuah halaman, dan halaman demi halaman menjadi buku agar bisa dinikmati oleh para pembaca. Awalnya terasa mudah merangkai sebuah novel. Tapi pada saat di pertengahan, pikiran gue udah macet dan susah mencari inspirasi. Akhirnya gue putusin buat nonton FTV. Walaupun terdengar alay dan nggak pernah gue lakuin, namun demi novel gue, gue tetap nonton. Setelah beberapa judul FTV yang gue tonton, gue mendapat sedikit inspirasi dan mulai gue tulis di novel gue. Namun, dari semua judul FTV, ada satu judul FTV yang mirip banget sama kisah gue dan Fika. Dan yang bikin gue senang, FTV itu happy ending. Gue berharap FTV itu mirip bahkan bisa sama seperti kisah gue dengan Fika. Novel yang gue tulis alurnya agak aneh, lalu di bagian pertengahan agak ngebosenin. Maklum itu novel pertama yang gue tulis dengan cucuran keringat gue sendiri. Tapi gue tetap optimis, bahwa kebosanan yang timbul pada saat di pertengahan cerita bakalan terbayarkan oleh ending yang sangat memukau.





BAB 6

Sabtu itu, setelah bel lonceng pulang dibunyikan, gue langsung memanggil Andra dan Sela buat ambil foto mereka. Gue pengen jadiin mereka berdua model di novel gue yang bentar lagi kelar. Setelah itu gue langsung cepat-cepat pulang kerumah buat nyelesein novel gue. Tapi pada saat menyusuri koridor dekat gerbang, ada suara seorang wanita memanggil gue dari belakang. Gue akhirnya menoleh. Wanita itu adalah Fika. Karena dia yang manggil, keinginan gue buat cepat-cepat pulang tertunda.
"Ada apa Fik?". Tanya gue dengan senyuman.
Fika terlihat malu-malu dan senyum-senyum dan tampaknya ingin bilang sesuatu.
"Eh, Raf, kamu pulang bareng siapa?". Tanya Fika.
Pada saat gue mendengar pertanyaan dia, gue langsung tahu keinginan dia.
"Gue pulang sendiri Fik, mau bareng?". Ajak gue.
"Hm, boleh de, tapi jangan ngebut yah". Jawabnya.
Udah nggak salah perkiraan gue, cewek kalau ada maunya pasti tingkahnya kayak gitu. Tapi bagi gue, apa sih yang nggak buat dia. Yang penting masuk akal dan terutama bisa bikin dia bahagia. Tujuan gue itu. ☺
Dengan penuh semangat, akhirnya gue anter sih Fika pulang kerumahnya. Menyusuri keramaian siswa yang berhamburan keluar, gue pun gembira menunggangi motor gue dengan membonceng seorang wanita cantik bernama Fika. Rasa syukur nggak henti-hentinya gue panjatkan atas anugerah yang Tuhan berikan walaupun hanya sebatas, pulang bareng, ngobrol, jalan bareng ke kantin, dan lain-lain.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

Akhirnya gue sampai dirumah dengan selamat. Sehabis makan, gue langsung lanjutin pembuatan novel yang sudah 4 hari ini gue garap. Mungkin novel ini akan lebih cepat kelar karena minggu depan libur. Kata demi kata mulai gue rangkai. Tinggal beberapa halaman lagi novel gue kelar.
2 hari berlalu, dan novel gue sudah sampai di finishing watermark alias sudah 95% kelar. Selesai finishing watermark, akhirnya novel yang gue idam-idamkan sudah kelar. Waktunya pembuatan cover. Gue mengedit foto Andra dan Sela yang kemarin gue jepret pake kamera Ray. Sementara proses pembuatan Cover di lakukan, tiba-tiba Handphone gue bunyi. Ada SMS yang masuk. Ternyata dari Widya.
"Rafa, loh dimana, ini hari ulang tahun gue, bentar lagi acara mau dimulai, kenapa loh belum datang?". Isi SMS Widya yang mulai keki.
Gue beneran lupa bahwa hari itu adalah hari ulang tahun Widya. Gue udah lupa bahwa hari jum'at lalu dia ngasih sepucuk surat undangan ke gue. Gue jadi bimbang banget, cover novel gue udah tanggung untuk di tinggalin. Akhirnya gue putusin untuk melanjutkan pembuatan cover dan nggak respon SMS dari Widya. Tidak lama kemudian, cover novel gue udah kelar. Di dominasi warna hitam, cover itu terlihat sungguh menawan. Apalagi posisi model-modelnya yaitu Andra dan Sela, semakin menambah nilai tersendiri di cover itu. Gue akhirnya bisa tersenyum lebar karena bisa membuat sebuah novel dengan ending yang bagus.
Hari esok pun tiba. Gue langsung upload naskah di salah satu penerbit yang menerbitkan buku secara online. Setelah dapat konfirmasi pembelian profread atau contoh novel yang akan diedar, gue langsung menuju ke atm untuk mentransfer sejumlah uang untuk pembelian contoh novel yang akan diedarkan. Gue sebagai penulisnya, nggak tanggung-tanggung langsung membeli 5 profread sekaligus agar nantinya bisa gue pinjamkan ke teman-teman yang minat membacanya.
Beberapa hari pun berlalu, gue masuk ke kelas dengan wajah semeringa mengumbar senyuman karena kemarin paket 5 buah novel yang gue pesan udah sampai. Teman-teman sekelas sudah tahu bahwa gue sedang membuat sebuah novel. Gue akhirnya mengeluarkan novel itu dan membacanya sendiri. Pada saat sedang asik membaca, Tiba-tiba Fika mengirim pesan lewat BBM.
"Raf, pinjem novelmu dong?". Isi BBM Fika.
Sudah kuduga, dia ternyata memperhatikan gambar cover naskah yang gue upload di Facebook. Dan pada saat gue membaca novel itu, dia memperhatikannya dan dia tahu bahwa itu adalah novel karya gue. Gue akhirnya melangkahkan kaki menuju Fika sambil membawa satu buah novel. Dia tersenyum pada saat melihat cover novel yang gue bikin selama 4 jam. Gue pun berlalu pergi meninggalkan dia, dan dia pun mulai membaca novel karya gue. Satu kebanggaan dan kebahagian tersendiri buat gue, karena nggak disangkah, Fikalah yang menjadi orang pertama yang membaca novel gue. Tanpa dia sadari, gue sesekali mencuri pandang untuk melihat ekspresi dia pada saat membaca novel gue. Fika terlihat tampak serius saat membaca novel itu. Dan kira-kira 3 jam kemudian, ia menitihkan air mata. Nggak disangkah, ending novel gue saking sedihnya bikin dia nangis. Gue langsung berjalan ke arah Fika. Pada saat gue berdiri di depannya, dia mulai menghapus air matanya.
"Fik, kamu kenapa? Kok nangis?". Tanya gue khawatir.
"Gara-gara novel kamu nih, endingnya sedih banget. Tapi sumpah, novelnya bagus banget". Ujar Fika sambil menghapus air matanya.
Gue pun akhirnya tersenyum lebar. Dan akhirnya teman-teman sekelas berebut untuk meminjam novel gue. *cielah minjem, beli kek. :D.
Dan sungguh nggak disangkah, semua orang yang membaca novel gue, mengatakan hal yang sama. Yaitu endingnya sedih banget, tapi bagus. Gue akhirnya bisa tersenyum lebar. Dan gue cek di toko online tempat novel perdana gue di jual, ternyata novel gue udah laku 40 eksemplar. 10 diantaranya gue yang beli. Dan berita baiknya, novel gue berhasil masuk 10 besar novel terlaris di toko online itu. Gue sangat senang, karena ini novel perdana namun berhasil memukau hati banyak orang. Mulai hari itu gue berprinsip. 'Menulis bukanlah hobi bagi saya, melainkan menulis adalah sebuah kewajiban'.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
            Esok hari pun tiba. Pagi itu semua siswa sibuk ngehias kelas mereka masing-masing. Tak terkecuali kelas gue. Gue awalnya malas buat ngias kelas. Tapi karena di kelas yang tersisa hanya 3 orang laki-laki, jadi mau nggak mau harus gentle. Siswa pria yang lain pada kabur, memang mereka nggak mau ngerepotin diri sendiri. Pagi itu gue di suruh sama wali kelas buat beli cat warna putih di tokoh bangunan yang jaraknya nggak jauh dari sekolah. Gue pergi bareng Santo. Dengan style yang sok-sok england gitu, membuat telinga gue dipenuhi suara riuh dari mulutnya. Sehabis membeli cat, gue pun langsung balik ke sekolah. Karena gue yang bawa motor, gue biarin sih Santo megang 2 ember cat yang beratnya kira-kira kalau di total 10 kilo. Urat di lehernya mulai bermunculan. Hahaha, untung jarak tokoh bangunan itu nggak jauh dari sekolah. Sesampainya di sekolah, gue sama santo langsung membuka cat itu Dengan sebilah pisau yang.
Setelah cat itu kebuka, gue pun mulai melapisi bagian dinding dengan perlahan. Gue menaruh sehelai kertas kalender bekas di bawah dinding agar catnya nggak jatuh ke lantai. Keringat yang mungucur nggak mematahkan semangat gue karena banyak cewek-cewek di kelas yang merhatiin kerjaan gue. Serasa kayak tukang beneran deh. -.-'
Kira-kira 15 menit kemudian, Fika menghampiri gue. Gue kaget dan bertanya-tanya dalam hati, apa maksud dan gerangan si bidadari ini datang mendekati gue?. *Cielah :D.
"Raf, gantian dong, aku juga pengen ngecat". Ujar Fika sambil memohon.
"Entar tangan kamu kena cat, nggak apa-apa?". Tanya gue dengan ekspresi bingung. Ngapain nih cewek pengen ngecat.
"Ya nggak apa-apalah. Aku dulu sering ngecat kamar aku sendiri". Jawabnya.
Gila, gue kaget banget. Si Fika ternyata sering ngecat kamarnya sendiri. Gue aja ogah ngecat kamar sendiri.
"Iya deh, kamu ambil kuas yang itu, ember cat yang ini kita pake berdua". Ujar gue sambil mengacungkan jari ke arah kuas lalu ke ember cat.
            Gue sama Fika akhirnya ngecat bareng. Rasa senang gue sudah stadium 7 alias kayak gunung yang sudah mau meletus. Tapi ada yang aneh dari aktifitas gue sama Fika. Pada saat itu, gue sama dia nempel terus. Alias ngecatnya bareng terus dan nggak saling mencar. Gue juga nggak tahu kenapa dia nempel terus. Yang pasti gue ngecatnya sesuai naluri gue, dimana yang belum kena cat, itu yang gue cat. Tapi nggak apa-apalah. Udah rejeki gue kali yah. :D
            Dengan semangat penuh senyuman, gue menjajaki setiap sudut dinding di kelas untuk melumurinya dengan cat berwarna putih. Sesekali gue sama Fika saling bertatap mata menandakan ada sedikit kemistri. Dan nggak disangkah, Fika nyoret tangan gue pake kuasnya. Nah, disitulah perang cat terjadi antara gue sama Fika. Gue balas coretannya di tangan kanannya yang mulus. Terlihat, dia ngelepas jam tangannya menandakan bahwa kayaknya dia serius dan mau lagi dicoret-coret -_-‘. Dia semakin menjadi, gue aja sampe heran, mungkin nih anak masa kecilnya nggak bahagia, pake acara coret-coret badan gue lagi. Yang bikin gue keki, dia nyoret dimuka gue. Mau dibalas, takutnya dia marah. Jadi gue biarin deh dan nggak ngebalas perbuatannya. Tangan gue sampe dipenuhi dengan cat. Tapi bagi gue, no problem. Yang penting senyumnya bisa keluar karena campur tangan dari gue. Kejadian ini adalah salah satu peristiwa yang paling membahagiakan dalam hidup gue.
            Orang-orang dikelas pada merhatiin gue sama Fika yang begitu mesra. Sesekali gue sama dia kejar-kejaran karena gue pengen ngebalas perbuatannya. Kira-kira satu jam kemudian, akhirnya kelas bisa di cat secara keseluruhan. Untung gue pake alas di lantai. Kalau nggak, mungkin lantainya sudah pada putih semua gara-gara gue sama Fika main cat. Gue sama dia akhirnya istirahat sejenak untuk melunturkan kelelahan. Fika duduk persis di depan gue. Tidak lama kemudian, wali kelas masuk untuk mengecek pekerjaan murid-muridnya. Dan dia kaget pada saat melihat gue sama Fika yang sudah berlumuran cat nggak karuan.
“Astaga Rafa, Fika.!!! Kenapa pada putih gini badan kalian, kayak lagi pake bengkoang”. Ujar Ibu dengan ekpresi terkejut.
“hehe, nggak bu, tadi kita nggak sengaja main cat”. Jawab gue sambil cengengesan.
“Haduh, yaudah. Gimana udah kelar?”. Tanya Ibu leny.
“Sudah dong bu, kita ngerjaainnya cepet kok bu”. Jawab Fika percaya diri.
“Hm, okelah. Fika, kamu kan bendahara kelas. Kamu beliin sapu ijuk yang murah yah. Sapu ijuk yang kemarin udah rusak”. Pinta Ibu lani kepada Fika.
            Gue pun langsung ambil kesempatan.
“Fik, gimana kalau pulang sekolah ini gue temenin kamu buat beli sapu?”. Ajak gue tanda memohon.
“Tapi mau beli dimana?. Tanya Fika.
“Beli dipasar. Disitu murah-murah kok”. Saran gue.
“Hm, okedeh. Tapi kita nyuci tangan dulu. Liat tuh, cat di wajah kamu udah kering. Ujar Fika.
“hehe, okedeh”. Jawab gue.
            Akhirnya gue sama Fika pergi ke bak besar di wilayah kelas 10. Di perjalanan gue malah diketawain sama adik kelas karena wajah gue berlumuran cat. Gue sih enjoy aja, soalnya gue jalan bareng Fika. Sesampainya di bak, gue sama Fika mulai bersihin tangan dan wajah kita masing-masing. Tiba-tiba, teman-teman Fika lewat dari arah koridor belakang. Gue sama dia langsung malu-malu gitu deh. Yang parahnya lagi, kita berdua di teriakin sama mereka.
‘CCCCIIIEEEEEE’
            Ini nih yang gue nggak suka. Kenapa sih harus ‘Cieee’. Kenapa nggak ‘Cuiii’ atau ‘Ceuuu’ biar istilahnya nggak mainstream gitu. Tapi biarlah, mulut mereka kenapa gue yang sewot yah.
            Gue dan Fika tampak malu-malu karena umat-umat tadi yang baru lewat. Sampai-sampai pipih Fika yang putih kelihatan merah karena pengaruh malu. Tapi gue ada satu kekhawatian. Gue khawatir nantinya kedekatan gue sama Fika selama ini bakalan munculin image bahwa gue udah jadian sama dia. Tapi kenyataannya nggak. Entar bakalan bikin gue malu kalau sampai ketahuan gue sama Fika nggak pacaran.
            Gue dengan Fika akhirnya selesai cuci tangan. Gue sama Fika balik lagi ke kelas buat ngambil tas lalu ngunci kelas karena Santo yang biasa ngunci kelas udah pulang duluan. Setelah kelas telah terkunci, gue sama Fika akhirnya pergi bareng buat beli sapu ijuk yang di suruh oleh wali kelas. Gue sama Fika pergi ke pasar yang nggak jauh-jauh amat karena kebetulan gue belum punya SIM. Saat di perjalanan menuju pasar,gue sial banget. Gue ketemu mantan gue yang bernama Meysin. Mantan yang paling gue sayang :’(. Dia pada saat itu masih lengkap dengan seragam batik warna hijau. Gue yang udah ngeliat dia pura-pura nggak liat. Kayaknya dia mau naik angkot dari pasar, mungkin pada saat itu dia punya keperluan dipasar sehabis pulang sekolah. Gue jadi nggaj enak gimana gitu. Walaupun sudah 6 bulan putus, tapi gue masih ada rasa bersalah karena sering bohongin dia demi organisasi Rohis yang gue jalanin. Setiap kali gue ada kegiatan Rohis, selalu dia larang dan ngebatasin gerak-gerik gue di organisasi itu. Maklum, gue sama dia beda agama.
            Kembali ke cerita gue sama Fika. Sehabis parkir motor, gue sama Fika langsung masuk ke pasar  buat beli sapu ijuk. Setelah beberapa kios yang kami lewatin, akhirnya gue sama Fika nemuin sebuah kios yang menjual alat-alat rumah tangga.
“Bang, berapa sapu ijuknya?”. Tanya gue ke pedagang itu.
“25 ribu de”. Jawab si pedagang.
“mahal amat bang, 20 ribu deh bang”. Ujar gue menawar harga.
“waduh de, nggak dapet de”. Jawab si pedagang dengan wajah memelas.
“bang, ayo dong 20 ribu, kita kan pelajar nih, kebetulan uang kita hanya segitu”. Ujar Fika menawar harga.
            Sadis banget si Fika. Dia ternyata berani menawar. Gue sampai terperanga mendengar penawarannya.
“hm gimana yah, yaudah deh”. Jawab si pedagang tanda menyutujui harga yang di tawakan Fika.
            Gue langsung kayak orang bloon pada saat Fika berhasil menawar harga. Memang fakta itu nggak pernah salah, bahwa perempuan pintar dalam hal negosiasi. -_-“
            Akhirnya gue sama Fika keluar dari pasar sudah dengan membawa sebuah sapu ijuk. Gue akhirnya mengantar pulang si Fika. Dalam perjalanan, terjadilah percakapan singkat.
“Rafa, sapu ijuk ini taruh dirumah aku aja, tapi besok pagi kamu jemput aku. Aku soalnya malu nentengin ni sapu”.
            Hati gue sontak bergetar. Ternyata masih ada momen dimana gue sama Fika bisa dekat. Tanpa berlama-lama gue pun mengiyakan pinta Fika.
            Hari ini seperti ada jutaan keberuntungan datang menghampiri gue. Karena dari pagi sampai siang, gue bisa dekat sama Fika dan ngehabisin waktu berdua. Gue berharap, ini adalah sinyal bahwa gua sama Fika akan dipersatukan sebagai sepasang kekasih.
            Hari esok pun tiba. Pagi itu sangatlah cerah. Bias mentari masuk ke kamar gue menembus sela-sela ventilasi. Kicau burung terdengar jelas.  Hari ini adalah hari dimana gue harus jemput Fika. Dengan cekatan, gue langsung mandi dan siap-siap lalu langsung melahap sarapan di meja makan tanpa belama-lama. Namun sebelum gue pergi, gue SMS dulu ke Fika bahwa gue sudah akan menuju kerumahnya. Dia pun merespon SMS gue. Tanpa berlama-lama, gue akhirnya tancap gas menuju ke rumah Fika.
            Akhirnya gue sampai dengan selamat. Akan tetapi, gue nggak ke rumahnya. Namun hanya menunggu di perempatan jalan karena gue malu ke rumahnya. Kata Fika bapaknya lagi ada di rumah. Jadi gue mutusin buat nunggu di perempatan jalan. Gue SMS si Fika biar kalau dia udah kelar bisa langsung pergi ke gue.
            Gue berdiri di samping sebuah warung. Sumpah, si Fika lama banget. Ngantuk gue balik lagi gara-gara dianya lama banget. Kira-kira 15 menit kemudian. Dia muncul dengan membawa sapu ijuk yang kemarin gue sama dia beli di pasar. Wajahnya bikin gue ngiler, gue hanya mampu terperanga dan melotot melihat wajahnya. Rambutnya yang masih basah membuat kecantikannya semakin terpancar. Dan nggak bisa di pungkiri, dia nggak kalah cantik sama mantan gue yang bernama Meysin.
“udah lama nunggu yah, Raf?”. Tanya Fika sambil memegang sapu ijuk.
“Eh, ee nggak kok. Yuk naik”. Ucap gue sambil mempersilahkan Fika naik ke motor gue.
            Jam tangan gue sudah menunjukan waktu 07.00 menandakan bahwa gue sama Fika datang tepat waktu. Pada saat menyusuri koridor, gue sama Fika berpapasan dengan kepada sekolah. Dan beliau melontarkan sebuah pertanyaan.
“kalian berdua pacaran?”. Tanya beliau.
            Gua kaget bray, bisa-bisanya dia menilai hubungan gue sama Fika padahal hanya datang bareng. Gue pun menjawab.
“enggak kok pak, kita hanya temenan doang”. Jawab gue.
“Oh yaudah, sana masuk kelas”. Ujar beliau.
            Mau jadi apa ceritanya kalau semua orang sudah menganggap gue sama Fika pacaran. Gue malah jadi nggak enak sama Fika. Mungkin aja dia nggak suka sama penilaian orang-orang tentang kedekatan gue sama Fika. Namun di sisi lain gue senang banget bisa dekat sama Fika yang pandai membuat hati gue klepek-klepek.




BAB 7
Detik demi detik terasa sangat indah ketika waktu gue diluangkan buat Fika. Kebahagiaan selalu hinggap ketika Fika berada di sisi gue. Gue berharap, Fika bisa merasakan kenyamanan ketika bersama gue. Ibarat bunga yang nggak pernah layu meski jarang disiram. Mungkin itu pepatah yang pantas. Segala harapan melintasi benak gue agar Fika benar-benar merasa senang saat disamping gue. Obrolan antara gue dan Fika juga nggak pernah garing dan selalu nyambung. Dan kemistri di antara gue sama Fika sudah semakin dapet. Orang-orang disekita pun sudah nggak kaget ketika melihat gue jalan bareng Fika. Dan gue sungguh nggak peduliin rasa cemburu Widya yang selalu ia umbar lewat gerak-gerik dan status di media sosialnya.
Setiap senin sampai dengan kamis, seluruh kelas 12 diwajibkan untuk mengikuti bimbingan belajar persiapan ujian nasional yang tinggal satu bulan lagi. Setiap harinya, gue nganter si Fika pulang ke rumahnya ketika waktu istirahat sebelum bimbel tiba. Habis gue antar, gue juga jemput dia karena gue nggak mau liat dia kepanasan pada saat dia jalan ke sekolah. Gue juga kehilangan banyak waktu bersama teman-teman di geng suram. Dan waktu itu gue habisin buat Fika agar dia bisa benar-benar membuka hatinya buat gue. Sampai-sampai gue bisa akrab sama Omanya Fika. Gue benar-benar nggak bisa bayangin jika perjuangan yang selama ini gue lakuin bakalan menemui sebuah kata yang lebih menyakitkan dari pada sebuah kegagalan. Akan tetapi, gue selalu optimis. Karena gue tahu dan yakin, Tuhan nggak mungkin memberikan celengan yang kosong ketika kita sering menabung uang di celengan itu.
Satu bulan pun berlalu. Hari itu adalah hari yang paling mendebarkan bagi seluruh siswa kelas 12 diseluruh Indonesia. Karena hari itu adalah hari pertama Ujian Nasional. Di mulai dengan mata pelajaran biologi lalu disusul mata pelajaran biologi. Pagi itu gue belum ketemu sama Fika karena hari itu dia datangnya agak terlambat. Bel tanda ujian nasional mata pelajaran biologi dimulai. Tahun itu cukup berat bagi seluruh kelas 12. Karena setiap siswa mendapatkan soal yang berbeda. Untung saja Handphone kami semua nggak dikumpul. Dan memudahkan kami untuk berkomunikasi lewat BBM group. Gue terpikir untuk cepat-cepat bantuin Fika setelah gue kelar menjawab semua soal. Memang sih, soal gue sama Fika beda. Tapi gue yakin pasti gue bisa bantuin dia walaupun hanya beberapa nomor saja. Fika akhirnya mengirimkan gue beberapa soal. Sebisa mungkin gue menjawab dengan soal yang diberikan Fika. Gue sangat berharap, nilainya bisa bagus karena belakangan ini gue mendengar kabar bahwa dia akan ikut tes kepolisian. Pantas dia belakangan ini sering ke ruang tata usaha dan keluar membawa map-map yang gue nggak tahu isinya apa.
Hari pertama UN akhirnya selesai dan berjalan dengan lancar. Kelas gue keluar duluan mendahului teman-teman karena mata pelajaran terakhir pada hari itu adalah biologi. Gue berdiri di depan kelas Fika karena pada UN kali ini, nomor absen 1 sampai dengan 20 berada di kelas yang berbeda dengan nomor absen 21 sampai 33. Kebetulan jumlah siswa di kelas gue ada 33 dan Fika terdapat di nomor absen 27. Jadi gue sama Fika beda kelas pada UN itu. Kira-kira 10 menit gue berdiri di depan kelas itu, tiba-tiba Fika keluar dengan penuh senyuman dan mengucapkan terima kasih karena gue udah mau bantuin dia. Rasa bahagia dalam hati gue semakin menjadi-jadi karena gue sudah bisa membuat dia tersenyum berulang-ulang kali. Dan untuk saat ini, nggak mungkin dia bakalan nolak gue yang sudah menjadi teman dekat buat dia. Gue tulus ngelakuin semua ini dan hanya berharap Fika bakalan nerima gue lagi ketika gue nembak dia untuk yang kedua kali. Sesampainya di rumah, keinginan gue buat nembak Fika untuk yang kedua kali semakin menggebu-gebu. Gue gelisa banget. Sampai-sampai nggak bisa tidur. Karena nggak bisa tidur, gue akhirnya ambil buku buat belajar untuk ulangan besok. Tapi malah lebih parah, gue semakin kagak bisa konsen. Akhirnya gue minta bantuan sama seorang guru yang bernama pak Ruly. Beliau sudah sangat akrab sama gue. Jadi gue nggak malu-malu buat minta bantuan ke beliau. Gue minta bantuan supaya si pak Ruly mengajak ngobrol Fika dan memberitahu bahwa gue suka sama Fika serta pak Ruly menyampaikan seluruh sifat baik gue. Pak Ruly akhirnya mengiyakan permintaan gue. Kata beliau, sekarang dia akan mencoba menghubungi Fika melalui BBM dan besok akan bertemu langsung dengan Fika. Gue sih berharap semuanya akan berjalan lancar sesuai keinginan dan kemauan gue.
Hari esok pun tiba. Hari itu gue sangat deg-degan soalnya pak Ruly akan menemui Fika serta hari itu mata pelajaran UNnya cukup parah yaitu matematika dan kimia. Gue sih sedikit anti sama matpel yang namanya matematika. Ujian pun dimulai, kepanikan dan tergambar jelas di wajah seluruh siswa. Gue juga nggak bisa bergerak banyak buat bantuin Fika. Setiap kali dia ngirim soal, gue coba bikin sekuat tenaga dan akhirnya gue bisa jawab beberapa soal darinya.
Bel tanda istirahat pun dibuyikan. Tiba-tiba santo datang ke meja gue.
“Raf, loh dipanggil sama pak Ruly tuh”. Ujar Santo.
“Emangnya ada apaan san?”. Tanya gue.
“i don’t know. Cepetan gih, dia nunggu di depan ruang tata usaha”. Jawab Santo.
            Gue pun bergegas menuju ke ruang tata usah untuk menemui pak Ruly. Terlihat beliau sedang berdiri sendirian di depan pintu. Gue pun menghampirinya.
“ada apa pak?”. Tanya gue.
“Semuanya udah berjalan dengan lancar. Dia bilang kalau dia udah putus sama pacarnya. Jadi harus cepat-cepat nembak dia sebelum terlambat”. Jelas pak Ruly,
            Gue yang mendengar informasi dari pak Ruly sangat bahagia sampai-sampai gue jingkrak-jingkrak kegirangan. Gue pun kembali ke kelas gue buat siap-siap matpel ujian berikutnya. Jam istirahat itu gue nggak samperin sih Fika soalnya gue ngeliat dia lagi sama teman-temannya. Gue takut ganggu, lagian waktu bareng teman-temannya sudah sering terpotong gara-gara gue. Hari itu pun berlalu tanpa ada banyak perbincangan antara gue sama Fika.
Malam hari pun, keinginan gue buat nembak Fika balik lagi. Gelisah banget, kayak orang mau sakaratul maut. Sungguh nggak tertahankan. Akhirnya gue memberanikan diri buat nyatain cinta untuk yang kedua kali walaupun hanya lewat telefon. Setelah 2 kali panggilan tak terjawab akhirnya Fika mengangkat telefonnya.
“halo. Ada apa Rafa?”. Tanya Fika.
“eh, ada yang pengen aku omongin Fik”. Jawab gue.
“ya, mau ngomong apa?”. Tanya dia kembali.
“tapi, kamu jangan marah yah?”. Ucap gue.
“iya, aku nggak bakalan marah kok”. Ujarnya.
“Fik, kamu mau nggak nerima aku jika aku nyatain cinta untuk yang kedua kali?”. Tanya ku sambil menampakan wajah yang tegang dan penuh kekhawatiran.
“hehe, masa lewat telefon?, nanti dibicarain aja besok Raf, soalnya aku baru sampe rumah nih. Capek banget”. Jawab Fika
“hm yaudah deh, selamat istirahat Fika”.
            Gila bung, rasa gugup gue selangit pada saat ngungkapin perasaan gue. Terus malah digantungin gini sama si Fika. Pokoknya detik-detik yang mendebarkan datang melanda.
            Malam itu pun gue mulai merangkai kata-kata dan bicara sendiri kayak orang gila di depan kaca.
“De, ngapain kamu di kamar?”. Tanya Ibu gue dari balik pintu kamar.
“nggak kok ma, aku lagi nelfon sama santo”. Jawab gue mengelak.
            Kalau ketahuan sama Ibu gue entar dikirain gue gila beneran lagi. Gue akhirnya mengurangi volume biar nggak kedengeran sama orang rumah.
            Hari yang mendebarkan pun tiba. Hari itu adalah hari terakhir UN atau bisa dibilang hari terakhir gue pake seragam putih abu-abu. Hari ini gue juga akan ngungkapin perasaan gue secara langsung ke Fika. Sumpah, gue paling anti kalau bicara soal perasaan di depan cewek. Pagi itu terlihat biasa-biasa saja namun ekspresi semua siswa tampak bahagia karena last day in the senior high school.
“Good morning Rafa, wajah loh hari ini tampil beda. Yang lain pada senang loh malah tegang gitu”. Ucap Santo.
            Ternyata ekspresi tegang diwajah gue nampak jelas.
“Nggak kok San, gue lagi eh, lagi eh, eh, hafal rumus”. Jawab gue sedikit gugup.
“Yaudah bro, gue masuk kelas dulu”. Sahut Santo sambil berlalu menjauh dari gue.
            Bel tanda jam pertama usai pun dibunyikan. Gue melewati jam pertama tanpa hambatan. Sekarang waktunya istirahat. Dan sekarang juga adalah momen gue nembak Fika dengan kata-kata maut yang gue udah rangkai dari semalam. Gue nyamperin si Fika di kelasnya. Namun dia udah nggak ada. Kata temannya dia udah pergi kantin. Gue akhirnya nyusul dia ke kantin. Eh, nggak disangkah, ternyata dia udah balik dan akhirnya gue ngajak Fika ke kelas gue buat belajar bareng. Modusnya gitu sih biar gue punya kesempatan buat ngutarain perasaan gue. Kelas pada saat itu terlihat sunyi karena masih jam istirahat. Gue melirik jam tangan gue dan waktu istirahat masih lumayan lama. Fika duduk persis di samping gue. Gue mulai ngajarin Fika latihan-latihan soal Fisika UN tahun lalu. Fika pun memperhatikan dengan seksama. Setelah kira-kira 10 menit, gue akhirnya mulai buka suara.
“Fika, ada yang pengen aku omongin”. Ucap gue sedikit gugup.
“Ya boleh, ngomong aja”. Jawab Fika ramah.

“Sebenarnya sih lanjutan dari omongan kita semalam”. Ujar gue sambil berusaha menghilangkan rasa gugup.
“ Emmm, emangnya apa yang kita omongin semalam?, aku udah lupa Raf”. Jawab Fika.
            Asemmm, nih cewek pura-pura lupa atau pengen gue ngungkapin lagi perasaan gue secara detil di hadapan dia. Dengan penuh keberanian gue akhirnya memulai kata demi kata
“Fik, kita kan udah lama dekat, ya bisa dibilang kamu orang yang selalu ada buat aku. Aku minta maaf sebesar-besarnya apabila omongan aku bakalan bikin kamu marah. Jujur, aku sayang sama kamu, dan aku sangat berharap kamu mau nerima cinta aku”.  Ungkapan perasaan gue.
“aduh, gimana yah.,”. jawab Fika.
“Kalau mau terima aku, aku bersyukur, kalau nggak, nggak apa-apa”.  Ujar gue dengan wajah yang gugup.
“Gini deh Raf, aku kasih tahu jawabannya entar kalau udah mau pulang yah”. Jawab Fika.
            Gue akhirnya mengangguk dan gue harus menunggu sampai UN kelar. Sumpah, deg-degan parah. Karena gue nggak biasa nembak cewek langsung. Gue biasanya berani lewat SMS. Gaptek deh pokoknya. X_X
            Bel tanda jam kedua atau UN matpel terakhir dibunyikan. Fika akhirnya pamit ke kelasnya.
            Gue ngejain soal-soal itu rada nggak konsen gara-gara tegan nungguin jawaban dari Fika. Tapi gue coba tetap fokus sama ulangan gue. Jangan sampai dapat pacar terus nggak lulus, yang lebih parah lagi kalau ditolak terus nggak lulus. Bisa-bisa jadi gila gue. Tapi semoga semua itu nggak balakan terjadi.
            2 jam pun berlalu. Bel panjang menandakan UN telah berakhir membawa seluruh siswa dalam situasi kegembiraan. Semuanya kelihatan pada jingkrak kegirangan. Ada juga yang pada selfie. Maklum, anak lebay alias alay -_-“. Gue pada saat itu hanya menunggu di depan kelas Fika sambil ngobrol bareng geng suram. Setelah Fika merapikan peraltan ujiannya, akhirnya dia keluar kelas. Fika langsung menatap wajah gue. Gue langsung deg-degan parah. Cinta gue serasa digantung mati-matian.
“Raf, kamu belum mau pulang kan?, kalau belum ayo kita ke lapangan dulu”. Ajak Fika yang semakin membuat gue gugup.
            Gue sama Fika akhirnya menuruni anak tangga dan menuju ke lapangan. Gue sama Fika akhirnya mendapat tempat yang teduh. Dan Fika mulai melontarkan beberapa pertanyaan.
“Rafa, apa benar kamu beneran suka sama aku?”. Tanya Fika dengan tatapan keseriusan.
“aku beneran suka Fika, kalau nggak, nggak mungkin aku senekat ini”. Jawab gue dengan percaya diri.
“Hm, apa sih yang bikin kamu suka sama aku?”. Tanya Fika lagi.
“Aku suka sama kamu Karena kamu selalu apa adanya, lalu aku sangat merasa nyaman ketika ada disamping kamu. Dan aku kepengen buat ngebahagiain kamu”. Jawab gue dengan percaya diri.
“Tapi aku sama kamu nggak akan ketemu dihari jum’at sama minggu”. Ucap Fika.
            Pernyataan itu sontak membuat gue kaget. Jujur, gue paling anti kalau ada cewek yang ngomongin soal perbedaan agama yang berhubungan dengan gue. Tapi gue coba ngontrol emosi. Namun, gue bingung mau jawab apa.
“Biarkan nanti waktu yang menjawabnya”. Jawab gue kepada Fika. Jawaban itu juga sering gue bilang kepada cewek yang sering bahas soal perbedaan agama sama gue.
“oke deh, iya”. Jawabnya dengan wajah penuh senyuman.
            Gue senang banget, rasanya pengen teriak dan jingkrak-jingkrak dilapangan. Tapi gue coba tetap kontrol emosi dan tetap stay cool. Nggak lama kemudian, Fika ngajak gue buat foto bareng. Karena nggak ada orang yang mau fotoin akhirnya selfie pun nggak terhidarkan -_-‘. Untung baru mau dijepret tiba-tiba pak Ruly lewat dan akhirnya gue minta tolong sama pak Ruly buat fotoin gue sama Fika. Sumpah, berasa kayak serasih banget gue sama Fika. Setelah itu, gue sama Fika nyamperin beberapa guru buat foto bareng sebagai kenang-kenangan. Rasa sedih juga sedikit ada dalam hati gue, karena bentar lagi gue udah mau ninggalin masa-masa SMA yang begitu manis. Setelah sesi foto, gue akhirnya pulang bareng Fika. Hari itu adalah hari yang paling manis bagi diri gue karena di penghujung sekolah, gue nemuin cinta yang udah berbulan-bulan gue incar. Dan hari itu, gue bisa menaklukan hatinya. Dalam benak gue, mulai tergambar rencana-rencara buat ngebahagian Fika. Mulai dari ngedate, sampai lari sore karena gue tahu dia bakalan ikut tes kepolisian.
           








BAB 8
Sore itu gue terbangun karena suara BBM yang silih berganti. Pas gue cek, eh ternyata hanya orang broadcast doang. Sore itu gue ngirim SMS ke Fika nanya kabarnya. Namun dia nggak kuncung bales SMS gue. Gue telefon, nggak diangkat juga.  Hadeh, lagi-lagi gue harus bersabar.
            Malam hari pun tiba. Akhirnya Fika ngerespon dengan cara dia nelfon balik. Gue langsung cepat-cepat angkat.
“Halo Raf, sorry, gue tadi lagi di polda, lagi ngurusin tes polwan. Maaf yah”. Ujarnya menjelaskan.
“Oh, iya nggak apa-apa. Tapi kamu udah dirumah kan?”. Jawab gue sambil bertanya.
“iya, baru aja sampe. Kamu udah makan Raf?”. Tanya Fika tanda perhatian.
            Sumpah, gue senang banget pada saat tahu bahwa Fika sudah perhatian sama gue.
“Udah kok, kamu mandi aja dulu, aku tahu kamu dari siang disana dan baru pulang sekarang. Abis mandi kamu langsung makan yah”. Jawab gue sambil balik perhatian.
“Iya Rafa, aku mandi dulu yah”. Sahut Fika mengakhiri pembicaraan.
            Rasa syukur nggak henti-henti gue ucapkan. Perjuangan gue selama ini nggak sia-sia.
            Hari demi hari pun berlalu. Gue mulai ngerasa aneh karena Fika setiap kali mau pergi ikut tes, handphonenya di tinggalin. Sampai-sampai gue nggak bisa hubungi dia. Tapi gue tetap sabar dan menanti. Mungkin aja di tempat tes nggak boleh bawa handphone. Namun setelah Fika pulang ke rumah, dia selalu respon dan nanya kabar gue tanda bahwa dia benar-benar perhatian. Fika pun sering cerita tentang kegiatan di tempat tes kepolisian. Jika gue telaah memang Fika beneran sibuk sih disana. Jadi gue ucapin kata-kata support yang bisa bikin dia semangat lagi.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

Siang itu gue lagi ngumpul bareng teman-teman Rohis sekota manado disalah satu tempat makan cepat saji. Gue siang itu sangat gelisah karena pengen ketemu sama Fika. Gue akhirnya nelfon si Santo karena kebetulan dia juga lagi ikut tes kepolisian. Gue dengar suaranya kayak udah lemas. Katanya seluruh calon polisi lagi menuju ke SPN. Yang gue tahu SPN itu kepanjangannya Sekolah kepolisian Negara. Karena Santo kedengarannya udah lemas, gue akhirnya beli belasan bungkus roti sama belasan botol air mineral buat gue bawa ke Santo. Gue akhirnya pergi bareng teman Rohis gue yang bernama Wahab. Wahab lebih memilih bawa motor sendiri dari pada boncengan sama gue. Gue niatnya kesana buat nengok Fika sama nganterin makanan buat dia sama Santo.
Siang itu terik matahari menusuk kulit, kemacetan yang begitu panjang membuat polusi udara merajalela dimana-mana. Namun demi keinginan buat bertemu Fika, gue nggak peduli sama situasi disiang itu.
Akhirnya gue sampai di pintu gerbang SPN. Kerumunan orang-orang yang akan mengikuti tes kepolisian menghalangi jalan masuk. Akhirnya gue mutusin buat parkir motor di luar saja. Sambil membawa dua tas yang dipenuhi roti dan air mineral, gue masuk dengan percaya diri. Dari kejauhan gue ngeliat Santo sedang bersama teman-teman satu sekolah yang ikut tes polisi yang sedang duduk di bawah pohon pinang. Namun anehnya, nggak ada sosok Fika diantara mereka. Gue pun bertanya-tanya dalam hati. Dimana  Fika?.
Akhirnya gue nyamperin mereka semua. Gue meletakkan barang bawaan dan langsung di sambar oleh mereka. Kayaknya mereka pada kelaparan. Tiba-tiba teman sekolah gue yang sedang ikut tes polwan melontarkan sebuah pertanyaan.
“Raf, mana pacar loh?”. Tanya Ani.
            Dan sungguh tak disangkah. Penglihatan gue memang menunjukan sebuah kebenaran yang sangat membuat hati gue terasa tertusuk jarum yang mampu menyayat gunung. Nggak jauh dari tempat gue berdiri, ada sosok wanita yang paling gue cintai sedang bersama Andrico. Gue terpaku dan terperanga menatap kemesraan mereka. Gue sungguh nggak menyangkah bahwa akhirnya seperti ini. Gue lalu menjawab pertanyaan dari Ani.
“hm, gue juga nggak tahu, handphonenya di tinggalin dirumah”. Jawab gue dengan nada yang biasa-biasa menandakan bahwa gue sok tabah dihadapan mereka.
            Gue menjawab pertanyaan itu dengan bohong. Padahal gue sudah melihat Fika sedang bersama Andrico. Gue akhirnya berpamitan pulang dan kembali kerumah dengan kepala tertunduk serta penuh kekecewaan.
            Satu hari itu, gue nggak berkomunikasi sama Fika. Gue akhirnya bertanya kepada teman-teman cewek yang sedang ikut tes polwan bersama-sama dengan Fika. Mereka semua menjawab dengan jawaban yang sama. “kami nggak ingin masuk campur di urusan kamu sama Fika. Lebih baik dia yang jujur sama kamu”. Gue sungguh kecewa dan sangat malu. Karena teman-teman satu sekolah yang ikut tes kepolisian, tahu apa saja yang terjadi di sana, dan mereka sama sekali nggak ngasih tahu ke gue.
            Keesokan harinya gue putusin buat ngakhirin hubungan yang nggak jelas itu.
“Cukup Fik, makasih”. Isi pesan singkat gue.
“Cukup apa?”. Tanya Fika yang pura-pura nggak tahu.
            Memang pada beberapa hari yang lalu, Fika nggak sadar bahwa gue ada disitu dan ngeliat mereka berdua.
“Cukup tahu”. Jawab gue menandakan bahwa gue serius tuk mengakhiri hubungan.
            Gue begitu keki pada saat dia sadar kesalahan dia setelah beberapa hari berlalu.
“Rafa, maaf, aku baru tahu”. Isi SMS Fika dengan emoticon sedih.
            Gue mencoba bersabar dan memaafkannya walau hati gue terasa terbakar.
“ia, nggak apa-apa”. Jawab gue.
“aku kali ini hanya bisa bilang maaf”. Ujar Fika lagi-lagi dengan emoticon sedih.
“Nggak perlu, Fika nggak salah kok”. Jawab gue dengan penuh rasa memaafkan.
“nggak salah gimana sampai-sampai kamu marah”. Jawab Fika.
            Disitulah keahlian merangkai kata-kata mulai gue praktekan.
“beberapa hari yang lalu marah itu ada. Tapi aku berfikir, semua nggak perlu dipermasalahkan, karena ini sudah ditakdirkan. Kita hanya menjalani, dimana ada akhir, disitulah kita berhenti, dan apapun akhirnya, harus aku terima. Aku akan selalu berdoa yang terbaik untuk kamu, Fika.”
            Mata gue berkaca-kaca pada saat ngirim SMS itu.
“Rafa, kata-kata kamu :­”(.,.,.,,., makasih Rafa”. Ucap Fika mengakhiri pembicaraan.
            Itulah akhir dari perjalanan cinta gue sama Fika. Terasa sungguh manis apabila mengingat semua kejadian yang sudah gue lewatin bersama Fika. Tapi semua tiba-tiba menjadi pahit ketika kejadian itu terlintas dipikiran gue. Gue sungguh nggak nyangkah, setega itu Fika mengkhianatin cinta gue. Perjuangan yang gue lewatin demi Fika sungguh dramatis. Hujan dan panas nggak pernah gue perduliin. Yang gue perduli hanya mendapatkan cinta Fika. Dan dari semua kebaikan gue ke Fika, Fika malah membalas dengan sebilah pisau yang sangat tajam menusuk hati. Hati gue sungguh terbakar ketika melihat dia bermesraan dengan orang lain. Orang yang gue cintai, mencintai orang lain.
            Namun kini gue sadar, bahwa gue harus ikhlas sama apa yang gue lakuin selama ini. Gue harus bisa bahagia melihat Fika tersenyum bersama kekasihnya. Walaupun kini sayap yang patah akan ragu jika sembuh dan bisa terbang lagi. Dan gue sudah nyia-nyiain Widya yang selama ini suka sama gue, dan gue malah lebih menyerahkan cinta ke Fika.
Satu pelajaran yang gue dapat. Bahwa apa yang pahit, jangan dulu cepat-cepat dibuang. Dan apa yang manis, jangan cepat-cepat di telan. Gue juga sadar, bahwa semua cewek yang baik, bisa melakukan niat untuk mendua. Dan bertingkah-laku ibarat  Satu Nafas Dua Hembusan.

End





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLLOWERS