Welcome

Sabtu, 11 Oktober 2014

Misicology of Love


      
Musicology of Love

 Prolog

              Dentingan indah ku mainkan di atas tuts hitam putih. Jemariku dengan lentiknya terus melangkah di antara nada-nada yang terdengar sangat merdu. Semua orang seakan terpaku ketika mendengar alunan melodi yang ku mainkan di atas panggung.
“Stop!” Suara Pak Jony menghentikan jemariku.
“Kenapa pak?” tanyaku kebingungan.
“Belajar lagi” ucapnya singkat.
Aku bingung mendengar perkataan Pak Jony. Aku telah bermain sebagaimana yang dia ajarkan. Namun berulang-ulang kali dia mengatakan bahwa permainanku buruk. Mungkin inilah kesulitan dalam bermain piano. Di telinga kita terdengar sangat indah, namun belum tentu di telinga orang lain terdengar merdu seperti yang kita rasakan. Dapat ku simpulkan bahwa musik merupakan sesuatu yang relatif di muka bumi ini. 
Sudah 4 tahun aku les piano di tempat ini. Dan perubahan terlihat sangat jelas di setiap permainanku. Aku selalu mendapat nilai baik ketika tes di hadapan Ibu Lastri. Anehnya, Pak Jony seakan tak pernah mengakui kehebatanku. Padahal satu-satunya murid di kelas piano yang bisa memainkan instrumen-intrumen Bethoven hanya aku saja. Teman-temanku selalu memuji permainanku. Apalagi ketika jariku yang letik ini memainkan intrumen Canon.

Satu
Faris Haikal, itulah nama lengkapku. Namun teman-temanku biasa menyapa dengan panggilan Faris. Aku kini berumur 19 tahun dan sedang menimba ilmu di Universitas Samratulangi jurusan Seni Musik.
Tinggiku yang 176 cm membuat aku bisa masuk ke dalam tim basket kampus. Namun aku sering di tegur oleh pelatih tim basketku. Pak Windo. Dia selalu menanyakan absensiku yang banyak bolongnya. Maklum saja, aku lebih mencintai musik ketimbang olahraga basket. Jam 4 sore di setiap hari selasa dan kamis menjadi jadwal latihan basket. Namun di setiap hari kamis aku selalu tidak hadir karena bertabrakannya jadwal latihan. Hari senin dan kamis adalah jadwal les piano. Jamnya sama dengan jadwal latihan basket. Otomatis hal itu membuat aku tidak dapat mengikuti latihan bola basket di hari kamisnya.
Sore ini ku ingat ada jadwal latihan basket. Karena berhubung ini hari selasa, aku bisa datang tanpa beban. Dan semoga saja aku tak dimarahi pelatih.
“Woy!!!” Bentakan itu sudah biasa di telingaku ketika aku sampai di lapangan basket kampus. Dan seperti biasa juga bentakan itu di ikuti dengan sebuah lemparan bola basket ke arahku.
“Lempar bolanya ke ring” perintah kapten tim basket yang bernama Marsel.
Aku pun menurutinya. Lemparan dengan jarak 25 meter itu rasanya mustahil bagiku. Namun aku berusaha dan melakukannya dengan penuh kejelihan. Aku cukup tegang ketika menyaksikan bola itu melambung di udara dan mencoba mencari sasarannya. Dan ternyata… Bolanya masuk. Di luar dugaanku. Marsel berjalan ke arahku dengan ekspresi kaget.
“Lho sadar nggak tim kita butuh lho?” tanyanya sambil menunjuk-nunjuk jidatku.
“Maaf, Sel. Gue kemarin les piano” jawabku sejujurnya.
“Lagi, lagi, dan lagi. Gue bosan tau nggak sama jawaban lho” ku lihat wajahnya mulai memerah.
Aku hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hal ini sudah biasa ku terima ketika aku sampai di tempat latihan. Sudah bisa ku tebak. Setelah Marsel yang memarahiku, sebentar lagi pasti pelatih yang akan menghujatku habis-habisan. Semuanya sudah seperti makanan bagiku ketika aku tak hadir di hari kamis.
Beberapa saat kemudian, orang yang ku tebak akan memarahiku datang dan berdiri di hadapanku.
“Sudah, sudah. Kita konsen latihan. Mumpung Faris sudah ada” ucap Pak Windo.
Aku terkejut karena aku tak di marahi. Di sisi lain aku sangat bersyukur. Jarang terjadi hal yang menguntungkanku seperti ini.
*******
Sehabis latihan basket, bajuku di penuhi keringat. Dan tentu saja ini tidak di sukai oleh Sabrina saat aku bertemu dengannya di koridor Fakultas Seni dan Budaya. Hari semakin malam, tapi dia selalu berdiri di depan mading itu. 
“Kamu kenapa ada disini?” tanyaku sembari mengelap-ngelap keringatku.
“Trus kamu ngapain nongol disini?” dia balik bertanya tanpa menjawab pertanyaanku. Dan sudah ku duga. Pasti dia akan terus menutup hidung sampai aku pergi. Sebau itu kah aku?.
“Ini udah malem, Brin. Nggak bagus malem-malem begini ada di kampus. Apalagi kamu anak cewek. Entar di gondol orang loh.” Aku menakut-nakutinya.
Dia hanya diam saja. Ku lihat matanya sedang liar membaca sebuah cerpen yang berjudul “Saat Senja Datang”. Seperti biasa, yang menulisnya adalah Prasetyo Firasyah. Dia adalah mahasiswa dari jurusan sastra Indonesia. Namun entah kenapa tulisan-tulisannya selalu muncul di mading seluruh Fakultas.
“Kamu kalo ngefans sama dia ajak kenalan dong, entar di duluin sama cewek lain loh.” Ejekku. Ku lihat wajahnya sebal mendengar sindiranku.
“Pergi sana!” Usirnya sembari memukul-mukulku. Aku hanya terkekeh-kekeh dan berlari menuju ruang ganti.
Sabrina Putri Siregar. Dia adalah satu-satunya sahabat dekatku. Aku dan dia sudah bersahabat sejak SMP. Wanita berambut panjang itu sangat suka membaca sejarah-sejarah perkembangan budaya di Indonesia. Oleh sebab itulah saat ini dia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Seni dan Budaya.
Dulu cita-citanya ingin menjadi seorang business women. Namun ayahnya tidak menstujuinya. Ayahnya menginginkannya menjadi seorang budayawan yang terkenal dan terus mengembangkan budaya-budaya di Indonesia yang mulai pudar dan perlahan menghilang karena perkembangan zaman. Dan dengan lambat tapi pasti, ayahnya mulai mengajarinya untuk mencintai budaya. Oleh sebab itulah Sabrina kini banyak mengusai banyak tarian khas Indonesia. Mulai dari tarian saman dari Nanggro Aceh Darussalam, tari piring dari Sumatera Barat, hingga tari maengket dari Sulawesi Utara. Dan mungkin masih banyak tarian lagi yang dia hafal. Karena hanya tarian-tarian itulah yang pernah dia peragakan di hadapanku.
Dia tak hanya pintar menari, dia juga pintar menyanyi. Tapi sayangnya aku tidak menyukai nyanyianya. Karena aku selalu merinding apabila mendengar lagu lengser wengi. Sabrina selalu menyanyikan lagu itu ketika aku jahil kepadanya. Namun aku selalu menarik kepalanya dan menjepitkannya di ketiakku untuk membungkam mulutnya. Aku tak akan berhenti melakukan itu sampai dia berhenti menyanyikan lagu itu. Di balik semua itu, aku selalu bangga punya sahabat sepertinya. Dia selalu mengerti keadaanku. Sungguh indah persahabatan ini.



Dua

Aku melenggang santai menuju rumah bercat putih dengan sedikit sentuhan krem di sebelah rumahku. Sore ini, seperti biasa, aku punya janji tak tertulis dengan salah satu penghuni di rumah tersebut.
“Sabrina!”
Aku berteriak dari luar pagar rumahnya.
“Yaaaa!” Sahut seseorang dari dalam rumah.
Ku lihat yang keluar adalah Sabrina. Dia langsung membukakan pagar dan mengajakku masuk ke rumahnya. Rumahnya mewah. Aku di persilahkan duduk di ruang tamu. Ruangan ini memancarkan suasana klasik yang begitu elegan. Lukisan-lukisan yang mengandung nilai budaya yang tinggi tergantung rapi di dinding ruangan itu. Aku sempat melirik ke luar pintu yang menuju ke kolam renang. Ku lihat ada Ibunya Sabrina yang sedang asik dengan laptonya di samping kolam renang. Ibunya bernama Fitri. Bu Fitri itu telah menganggap bahwa laptopnya itu adalah suami keduanya. Hampir setiap waktu aku melihat Bu Fitri selalu menatap laptop silvernya itu. Maklum saja. Dia adalah seorang penulis. Sudah banyak buku telah dia ciptakan dari jemarinya yang itu. Mulai dari buku tentang sejarah perkembangan budaya di Indonesia, buku sajak dan pantun, hingga Novel-novel dengan genre yang beragam. Sangat ku ingat ketika aku di suruh untuk membaca Novel yang bergenre Teenlit oleh Sabrina. Ku lihat penulisnya adalah mamanya. Aku sempat terbahak-bahak ketika membaca lembar demi lembar karya mamanya itu. Rasa aneh apabila ada orang tua yang masih menuliskan Novel yang bergenre teenlit. Tapi sialnya, aku di kejutkan dengan ending yang luar biasa. Sad Ending. Yang tadinya aku tertawa dengan keras, tiba-tiba terdiam dan larut dalam kesedihan ketika membaca beberapa lembar terakhir. Sungguh luar biasa!.
“Eh, Faris. Kok kamu udah jarang kemari?” tanya Bu Fitri ketika melihat aku sedang duduk sendiri karena Sabrina sedang mengambil minuman di dapur.
“Iya, tante.  Banyak tugas dari kampus. Belum lagi les piano sama latihan basket.” Jawabku.
“Oh, kemarin Sabrina cerita, katanya mama kamu lagi di Amerika ya?” tanya mamanya lagi.
Ketika dia menanyakan mamaku, ekspresi wajahku langsung berubah. Aku sangat tidak ingin apabila di tanya tentang kabar mamaku. Dia selalu saja sibuk oleh urusan bisnisnya. Sampai-sampai, dia jarang ada di Indonesia. Dan jarang mengurusi urusan rumah tangga ini.
“Mamaku pulang besok, tante” jawabku dengan ekspresi datar.
“Nitip oleh-oleh ya sama mama kamu” kata Bu Fitri.
“Entar deh aku bilangin” jawabku tersenyum sembari menggaruk-garuk kepala.
Tiba-tiba Sabrina muncul dari dapur dan segera menghentikan obrolan aku dengan mamanya. Ku lihat tangannya sudah di penuhi dengan snack dan minuman ringan.
“Ayo” ajaknya.
Seperti biasa, aku dan dia selalu muncul di bukit belakang rumahnya di setiap sore ketika matahari mulai turun.
Sore ini lumayan indah. Langit yang mulai memerah memberikan sentuhan sendiri di suasana sore ini. Aku dan Sabrina menerobos ilalang yang tingginya kira-kira 2 meter lebih. Jika ingin pergi ke bukit itu, memang harus menerobos ilalang yang menjulang tinggi ini. Aku sering mengerjai Sabrina ketika sudah berada di tengah-tengah ilalang itu. Aku pura-pura menghilang dan tak memberikan jejak sedikit pun. Ketika pertama kali aku melakukan hal yang jail itu, dia sampai menangis dan meneriaki namaku sekencang-kencangnya. Tidak lama setelah aku menghilang, aku muncul tiba-tiba tanpa membuat suara sekalipun lalu segera mengagetkannya. Ku lihat dia sangat khawatir dan segera memelukku. Ah, persahabatan ini sungguh sangat indah.
“Kupu-kupunya indah.” Ucapnya ketika sampai di atas bukit. Setiap sore, bukit ini di penuhi kupu-kupu. Mungkin dekat sini ada sarangnya. Namun sayangnya aku tak pernah tahu kupu-kupu punya sarang atau tidak. Yang pasti suasana yang indah ini selalu memberikan warna tersendiri karena kehadiran puluhan kupu-kupu ini.
Aku merebahkan badanku dan membuat kedua tanganku menjadi alas kepalaku “Memangnya kamu suka kupu-kupu?” tanyaku.
“Bukankah kita sudah lama temenan. Kenapa pertanyaan itu baru muncul sekarang?” tanyanya balik tanpa menjawab pertanyaanku.
“Kenapa sih harus kupu-kupu?” tanyaku lagi.
Dia memalingkan wajahnya dan menatapku dengan senyum kecil di bibirnya “Aku suka warnanya”. Jawabnya “Karena corak yang beragam menggambarkan keadaan di Indonesia” .
Aku bangkit dan terduduk di sampingnya “Maksud kamu?” tanyaku heran.
“Kan Indonesia banyak suku dan bahasa. Warna kulit pun beragam. Budayanya juga beragam. Itu yang aku maksud.” Jawabnya sembari mencoba menangkap kupu-kupu yang melintas di hadapannya.
Aku menggangguk dan membuang pandangan ke depan. Matahari mulai jatuh ke bawah dengan perlahan. Sembari menikmati makanan ringan yang dibawah dari rumah Sabrina, aku mulai menggeser badanku hingga tersandar di pohon yang sedari tadi meneduhkan aku dan Sabrina.
“Apa semua laki-laki yang pintar menulis ucapannya selalu jujur?” tanya Sabrina yang membuyarkan fokusku ketika sedang larut menatap matahari yang sinarnya mulai memerah.
“Kadang bisa ya, kadang juga hanya bualan semata” jawabku sederhana.
“Aku pengen deket dengannya” ucapnya membuat aku terkaget kebingungan. Ku lihat senyum kecil merekah di bibirnya.
“Siapa?” mataku terbuka lebar.
“Ah, sudahlah. Nggak usah di bahas” ujarya mencoba mengakhiri topik yang tak sengaja dia angkat.
“Oh, aku tahu. Pasti Prasetyo Firasyah. Si anak culun dari Fakultas Sastra Indonesia kan?” tanyaku sembari menyenggol bahunya.
“Enak aja, dia tuh nggak culun. Tapi orang yang suka menulis itu matanya memang sedikit min. Tapi dia nggak seculun yang kamu kira” jelasnya tentang pria itu.
“Emangnya kamu kenal dia?” tanyaku bermaksud menyindir.
Dia menatapku sinis lalu senyum kecil tergambar di bibir manisnya itu. “Nggak sih, tapi setidaknya memperhatikan gerak-geriknya sudah cukup membuat aku mengenalnya” jawabnya malu-malu.
Yang terlintas dalam benakku, aku akan mencoba mempertemukan Sabrina dengan Prasetyo. Aku sebenarnya sedikit kasian sama dia. Aku pernah mendapati buku diary-nya dan membacanya karena rasa penasaranku. Lembar demi lembar selalu saja ada nama pria itu. Banyak hal yang dia bahas di diary itu. Mulai dari awal dia bertemu dengan Prasetyo, hingga rasa sebal ketika senyumnya di respon secara dingin oleh pria yang dipujanya itu.
Sayangnya di diary-nya itu aku tak mendapati namaku. Mungkin aku adalah orang yang tidak penting baginya, atau apakah mungkin persabahatan yang sudah terjalin erat sejak dahulu ini tak berharga di matanya?. Ku harap dia punya diary lain yang di penuhi namaku dan kisah persahabatanku dengannya. Semoga saja….
Tiga
Pagi ini aku datang bersama Sabrina menaikki motor matic putihku. Ku lihat jalanan kampus lumayan sepi. Itu di sebabkan karena hari ini adalah hari Sabtu. Hari dimana rasa malas menghinggapi setiap mahasiswa. Kendaraan yang terparkir juga tak begitu banyak. Ya… sudah bisa ku tebak bahwa hari ini tak menarik dan juga tak berkesan.
Aku membuka helm dan segera menjepitkannya di antara jok motor agar aman dari pencurian. Ku lihat Sabrina sedang merapikan rambut panjangnya.
Sebelum melangkah menuju kelas, aku sempat menyisir rambut di hadapan kaca spion motorku. Saat fokus merapikan rambut, aku tak sengaja melihat bayangan seorang wanita berambut pendek yang sedari tadi menatapku dengan jelih. Aku tak mengenalnya. Dan ini adalah kali pertamaku melihatnya. Saat ku palingkan pandangan kebelakang, wujud wanita itu segera hilang dan berlari kencang lalu segera bersembunyi di sebuah mobil.
Ada apa dengan wanita itu?, atau jangan-jangan dia ingin mengincar motorku. Tapi tampaknya dia adalah wanita yang baik dan tak punya niatan jahat. Wajahnya terlihat sangat lugu. 
Sembari menghapus kejadian tadi dari ingatanku, aku mulai membuka langkah dan berjalan beriringan dengan Sabrina. Tampaknya pagi ini dia sangat ceria meskipun kampus tak begitu ramai. Ku lihat matanya mulai melongo ke kiri dan ke kanan ketika aku dan dia melewati Fakultas Sastra.
“Kamu ngeliatin apa sih?, dari tadi melongo nggak jelas gitu” tanyaku tanpa menghentikan langkah.
“nggak ngeliatin apa-apa kok” jawabnya. Namun matanya masih saja bertingkah seperti itu.
Kali ini sudah bisa ku tebak. Dia sedang mencari pria berkacamata itu. Hal ini biasa dia lakukan ketika langkahnya melintas Fakultas Sastra.
Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang sedari tadi dia cari. Ku lihat lelaki itu sedang menempelkan sesuatu di mading.
“Ada cerpen baru!” ucapnya lantang dan membuat aku kebingungan.
Dia langsung menarik tanganku dan menerobos orang-orang yang sedang lalu-lalang. Banyak buku yang berjatuhan karena tertabrak oleh aku dan Sabrina.
“Maaf, maaf!. Lagi buru-buru” teriaknya sembari terus berlari kencang tanpa melepas tanganku.
“Brin, stop, stop!.” Kataku kelelahan. “Kenapa harus ke Falkultas SenBud sih?, bukannya di Fakultas terdekat ada?” protesku sembari mengatur napas.
“Fakultas SenBud dan Fakultas Sastra adalah Fakultas pertama yang akan dia samperin. Jadi otomatis di Fakultas lain belom ada.” Jawabnya polos. Tampaknya dia sudah sangat hafal alur penempelan cerpen-cerpen itu. Sekali lagi, akhirnya aku mengalah dan menurutinya untuk berlari kencang lagi menerobos orang-orang menuju ke mading Fakultas SenBud.
Matanya mulai liar dan larut di kertas putih itu ketika sampai di depan mading Fakultas SenBud. Senyumnya tanpa henti terus merekah di bibirnya. Wanita ini tampaknya sudah terhipnotis oleh karisma lelaki itu.
Sebagai teman, aku harus mendukungnya.
*********
Siang ini aku berjalan melewati gedung utama untuk menemukan jalan menuju perpustakaan. Sembari melangkah, aku sempat menengok ke kanan untuk melihat ruangan itu. Ruang Kesenian. Siang ini terlihat sangat sepi. Tak seperti biasanya, mugkin karena hari ini hari sabtu.
Aku mulai membuka langkah ke dalam perpustakaan. Derap langkahku lumayan terdengar karena di perpustakaan tak ada suara sedikit pun. Setelah mengisi daftar pengunjung dan menunjukan kartu perpustakaan, aku mulai mencari buku yang ingin ku baca. Buku Lagu daerah yang akan ku cari. Letaknya 4 rak dari tempat aku berdiri.
Setelah mendapatkan buku yang ku cari, aku langsung mencari posisi duduk yang biasa ku sambangi. Itu tempat duduk favoritku. Tanpa menatap sekelilingku dan terus fokus memperhatikan sampul buku, aku pun berjalan ke arah tempat duduk itu.
“Grekkk!!!” suara kursi yang ku duduki.
Lembar demi lembar mulai ku baca.  Mataku mulai liar menghayati not demi not yang tertulis di buku itu. Tenggorokanku lumayan kering karena suhu di jalanan siang ini sangat menusuk kulit. Apalagi jarak dari gedung fakultasku dengan perpustakaan lumayan jauh. Dan aku harus berjalan kaki karena motorku biasa di parkir di dekat gedung utama.
Aku menghentikan bacaanku sejenak dan mengarahkan kedua tanganku ke tas hitam di sebelahku. Tanpa sengaja, mataku menemukan sosok yang sedang duduk di sampingku. Jaraknya sekitar setengah meter dari ku namun masih duduk dibangku yang sama denganku. Aku mendongakan kepalaku untuk melihat wajah orang itu. Entah sudah berapa lama dia duduk di situ. Yang ku ingat, aku sama sekali tak memperhatikan bangku yang ku duduki sekaligus siapa penghuni pertamanya. Apakah mungkin dia datang lebih dulu dari pada aku? Tapi bagaimana mungkin aku tak menyadari keberadaannya?.
Aku memperhatikan ciri-ciri orang yang berwujud wanita itu. Dengan perlahan dia mulai menutupi wajahnya dengan buku yang dia pegang ketika dia mulai menyadari aku sedang memperhatikannya. Aku terkejut ketika melihat buku yang dia pegang, sama dengan buku yang sedari tadi aku baca.
“Bukunya sama ya” aku berbasa-basi agar dia mau menunjukan wujudnya. Sungguh wanita yang misterius.
Dengan perlahan dia mulai menurunkan posisi buku itu yang sedari tadi terus menghalangi wajah putihnya itu. Aku semakin terkejut ketika melihat orang  itu adalah wanita yang tadi pagi memperhatikanku ketika aku sedang berada di tempat parkir.
Wajahnya putih. Rambutnya sebahu berwarna hitam sedikit kecoklatan. Bulu matanya lentik dan bibirnya tipis. Dagunya yang sedikit runcing membuat wajah wanita itu tak bosan untuk di pandang.
Sempat terpaku karena kecantikan wanita itu, tiba-tiba perhatianku pecah karena wanita itu buka suara. “Ya”.
Hanya mengeluarkan 1 kata, atau lebih tepatnya dua huruf. Namun suaranya sangat nyaman di telingaku. Kata Pak Jony, orang yang nada bicaranya terdengar merdu, mungkin orang itu pandai bernyanyi. Ah… sedari dulu aku punya angan-angan untuk memiliki pacar yang pandai bernyanyi.
Tiba-tiba khayalanku buyar ketika aku menyadari buku yang dia baca. Kalau bukunya tentang kesenian, mungkin saja dia mahasiswa Fakultas SenBud. Tapi kenapa aku tak pernah melihatnya?. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya. Namun ketika aku akan membuka suara, wanita itu mulai bangkit dan beranjak meninggalkanku di bangku itu sendirian. 
Aku pun terdiam. Dalam diamku, terdapat sebuah kekecewaan karena tak mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih di hadapan wanita itu. Langkah wanita itu menghilang ketika dia berbelok di rak buku paling ujung. 
Aku pun menarik napas berat dan melanjutkan niatku untuk mengambil air mineral dari dalam tasku.
Tanpa sengaja mataku langsung terarah kepada sehelai kertas di tempat wanita itu duduk tadi. Tanganku dengan cekatan langsung meraih kertas itu. Tanpa berlama-lama, aku langsung membaca kertas itu. Sungguh aneh, kertas itu hanya bertuliskan emoticon senyuman. Sangat misterius wanita itu. 
Jika aku di beri kesempatan untuk bertemu lagi, aku takkan malu-malu untuk mencari tahu wanita misterius itu.


Empat

Sore yang indah nan temaram. Waktu yang seperti inilah yang sangat ku tunggu-tunggu. Waktu dimana aku akan pergi ke tempat les musik. Tempatnya berjarak sekitar 7 km dari rumahku. Tempat les itu, bukanlah tempat les yang biasa. Karena murid-murid di dalamnya banyak yang berbakat. Ada yang sampai go international karena berhasil memuja mata dunia dengan gitar. Ada juga yang berhasil membuat tanah eropa terpukau karena kelentikan jemarinya menari dengan indah di atas piano. Orang yang ku maksud adalah Wilson. Lelaki keturunan Belanda itu sukses membawa nama Indonesia di benua eropa karena bakat pianonya. Aku tak heran apabila dia bisa sehebat itu, selain kemampuan yang mempuni, ayahnya adalah seorang dirigen terkenal di Prancis. Walaupun kami belajar bersama dan skil kami bisa di bilang setara, namun dia lebih beruntung. 
 Wilson pernah berkata bahwa dia mencintai sahabatku, Sabrina. Namun Sabrina hanya tertawa ketika aku menyampaikan ungkapan perasaan Wilson. Wanita itu tidak suka pria yang berdarah blasteran. Dia hanya berniat untuk hidup bersama lelaki pribumi asli dan sangat mencintai Indonesia. Karena penolakan itu, membuat Wilson semakin ikhlas untuk meninggalkan Indonesia. Aku tak tahu kapan dia kembali. Namun aku sangat rindu ketika aku berduet dengannya, memainkan intrusmen yang berjudul Alla Turca karya Mozart.
Sembari mengukir langkah menuju kelas piano yang 10 menit lagi akan di mulai, aku sempat melirik ke ruangan Pak Jony yang berada di samping Aula. Ku lihat lelaki tua itu sedang membersihkan kaca matanya. Itulah kebiasaanya. Bagiku itu adalah kebiasaan yang aneh. Pasalnya dalam waktu 2 jam waktu les, bisa 20 kali dia mengelap kacamatanya itu. Tapi semua murid sudah tidak kaget dengan hal itu.
“Sore anak-anak.” Sapa Pak Jony menandakan materi akan segera dimulai. 
“Soreee, Pak!” jawab seluruh murid di kelas itu dengan penuh semangat.
Materi pun mulai berjalan. Dengan fokusnya, seluruh murid memperhatikan kata demi kata yang di ucapkan Pak Jony. Akan tetapi, mungkin hanya aku saja yang tak fokus dengan pelajaran di kelas itu. Pikiranku terus melayang. Dan pikiranku semakin melambung ketika mengingat wajah wanita itu. Wanita misterius yang ku temui di perpustakaan beberapa hari lalu. Ah… Kenapa wajah wanita itu terlintas?, aku mencoba mengelak karena tidak mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku berusaha menepisnya dengan cara mengalihkan fokus ke papan putih di depan sana. Namun semakin ku mengelak, wajah wanita itu terus datang dan menggugat kosentrasiku. Akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan pikiranku larut dalam gambaran pertemuan beberapa hari yang lalu. Tanganku merogok tas untuk mengambil sesuatu. Kertas itu!. Senyuman di kertas itu sudah membuat aku terpukau kepada wanita itu. 
Tiba-tiba…. Plakkk!!!, spidol hitam melayang dan mendarat di kepalaku. Hal itu membuat khayalanku buyar seketika. Benda itu sudah cukup membuat jidatku merah.
“Kamu senyam-senyum kayak orang gila. Mikirin apa kamu?” tanya Pak Jony.
“Eh, nggak mikirin apa-apa kok, Pak.” Jawabku tersenyum malu-malu dan sedikit gugup karena puluhan mata telah tertuju kepadaku.
“Saya minta tolong kamu konsen ke depan sini. Atau kamu akan saya keluarkan” ancam Pak Jony yang membuat jantungku berdetak kencang. Aku tak mau nama baikku tercoreng di tempat les ini. Karena bagaimanapun, orang-orang sudah mengenalku karena kehebatanku. Bukan di kelas piano saja, tapi di kelas musik lainnya. Akhirnya mataku ku arahkan ke depan sana tanpa melihat ke kiri dan ke kanan lagi. Aku segera cepat-cepat membuang imajinasiku tadi agar hal serupa tak terulang lagi.
******
Seluruh badanku pegal karena 2 jam terduduk di dalam tanpa bangkit dari kursi. Hari ini lesnya berjalan dengan lancar. Walaupun ada sedikit masalah di dalam tadi. Tapi semuanya aman-aman saja karena Pak Jony menerima tanganku ketika aku bersalaman dengannya sehabis les tadi.
Aku berniat untuk cepat-cepat pulang dan istirahat karena mengingat tugas yang menumpuk.
Sore menjelang malam di tempat les masih sangat ramai. Karena kebetulan di tempat les ini banyak murid yang sudah duduk di bangku mahasiswa. Mereka lebih memilih waktu sore karena pagi dan siangnya sibuk di kampus untuk menjalani kewajiban sebagai mahasiswa. Aku sempat melirik ke kiri untuk menyaksikan Baron dan Rangga sedang duel bermain gitar. Kakak beradik itu selalu pamer di hadapan banyak perempuan. Aku dulu sempat memarahi mereka. Karena bagiku, musik bukanlah untuk pamer. Namun bentakanku di hadapan mereka di halau oleh Pak Jony. Katanya pamer itu adalah salah satu cara untuk menumbuhkan percaya diri. Aku sempat tak percaya. Namun aku baru sadar ketika Baron dan Rangga bermain dengan penuh percaya diri ketika tes satu bulan yang lalu.
Aku terus melangkah tanpa henti menuju pintu keluar. Namun langkahku harus tersendat ketika berpapasan dengan kerumunan orang di depan kelas drum. Tampaknya mereka sedang melihat hasil tes. Aku mencoba menerobos kerumunan orang itu.
Tanpa sengaja mataku tertuju kepada seorang wanita yang sedang berdiri di ujung sana. Cukup jauh dari posisku. Namun aku sangat tahu bahwa matanya sedang tertuju kepadaku. Aku mencoba menelaah ciri-ciri wanita itu. 
Astagaaa… sudah tidak salah lagi. Wanita itu adalah orang yang ku temui beberapa hari lalu di perpustakaan. Ku lihat dia sedang memegang tas yang berbentuk biola. Haa?!, apakah isinya biola?, atau yang lebih tepat apakah dia les di tempat ini juga?. Aku sempat terdiam dan membiarkan diriku terkepung di kerumunan orang itu. Saat melihat keningku mulai berkerut, wanita itu lari dan menghilang begitu saja. Ah..! sial!. Sudah di depan mata. Namun aku masih saja terpaku dan terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Padahal aku sudah berjanji untuk mencari tahu wanita berambut sebahu itu. Akan tetapi kenapa pikiran dan tubuhku seperti membeku?. Rasa sesal tak ada duanya melanda hingga malamnya sebelum aku tidur.
Aku sangat kesal karena keputusanku tadi. Aku ingin menyalahkan tindakan pengecutku tadi. Tapi apakah aku harus menyalahkan diriku sendiri?.
Saat aku larut dalam sesal, tiba-tiba handphone hitamku berdering, menandakan ada sebuah pesan. Dengan cekatan aku langsung meraih handphone-ku yang berada di bawah bantal. Setelah berhasil menggenggamnya, aku langsung menatap layar handphone-ku. Seperti biasa, hampir setiap malam selalu ada SMS dari tetanggaku yang sekaligus ku anggap sebagai sahabat terbaik.
“Hoy, lagi ngapain kamu, Faris?” tanyanya. 
“Lagi tiduran.” Jawabku singkat.
“Oh. yaudah. Kamu tidur aja, jangan lupa besok pagi jemput aku lagi” katanya.
“Oke, Bu Sabrina.” Jawabku.
“Thanks. Good night.” Balasnya mengakhiri obrolan.
Hari ini lumayan melelahkan. Tapi semuanya ku lewati dengan santai namun tetap fokus. Ibarat lenturnya jemariku yang bergerak dengan mulus di atas piano.

Lima

“Assalamualaikum” aku memasuki rumah.
Seperti biasa, tak ada yang menjawab salamku. Para pembantu di rumah sibuk dengan pekerjaan mereka. Sedangkan ayahku akan pulang malam hari karena sibuk di kantor. Ayahku saat ini bekerja di sebuah perusahaan yang lumayan besar, bergerak dalam bidang seni. Salah satu produk dari perusahaan ayahku yaitu Piano hitam yang di letakan di ruang keluarga.
“Faris” Sapa seorang wanita ketika aku sedang merilekskan badan di sofa.
Aku tahu suara itu. Dia adalah mamaku. Derap langkahnya semakin terdengar menandakan bahwa mamaku semakin dekat. Aku hanya mendongakan kepala dan menatap mamaku lalu segera kembali dalam posisiku tadi.
“Dateng jam brapa, ma?” tanyaku.
Mamaku duduk tepat di depanku “jam 2 tadi” jawab mamaku, “mana kunci motor kamu?” tanya mamaku.
Aku kebingungan. Ada angin apa tiba-tiba mama menanyakan hal itu?. Aku hanya memandangi mamaku tanpa menjawab pertanyaannya.
“Ayo mana?” tanyaku mamaku lagi. Kali ini sedikit memaksa.
“buat apa, ma?” tanyaku penasaran.
“Kamu nggak pake itu lagi.” Jawab mamaku, “mama udah beliin mobil. Tuh di luar” lanjut mamaku yang sontak membuatku terkejut.
Kejadian ini adalah surprise bagiku. Tapi jika menelaah tingkah mamaku, mungkin ini adalah tanda ucapan maafnya karena sudah lalai menjadi Ibu yang selalu hadir untuk.
Aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dengan pelan, aku melangkah keluar untuk melihat mobil baruku.
Astaga!!!. Aku sangat terkejut ketika melihat mobil merah dengan sentuhan hitam itu. Mobil yang seperti itu hanya bisa ku lihat lewat TV. Namun kali ini hadir di hadapanku. Mobil sport yang selama ini aku idam-idamkan itu dibeli di Amerika. Aku tak tahu harganya, namun tanpa berpikir panjang, aku segera menaikinya. Yang terpikir dalam benakku saat ini adalah mengajak Sabrina jalan-jalan keliling kompleks.
“Tiit tiit” suara klakson itu terdengar sangat kencang.
Wanita itu keluar dan memperhatikan mobil baruku. Aku sama sekali tidak menampakkan diri sekalipun dia sudah berada tepat di pagar dan mengambil ancang-ancang untuk keluar.
“Siapa ya?” tanya terdengar sayup-sayup.
Aku pun membuka kaca dengan perlahan dan menatapnya layaknya orang sombong. Ku lihat wajahnya terkejut dan seakan tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
“Ayo masuk” ajakku. Dia pun melangkah sembari terperangah.
“Ini mobil kamu?” tanyanya ketika sudah terduduk di dalam mobil.
“Iya. Hadiah dari mamaku” Aku melirik ke arahnya.
Aku dan dia akhirnya menikmat suasana sore yang temaram dengan berkeliling komplek. Mulai dari blok A, sampai dengan blok P ku jajaki dengan mobil baruku ini.
*********
BAYANGAN YANG INDAH…
Sebuah lagu yang ku tulis di sebuah kamar yang berwarna  putih dengan berbagai poster musisi dunia. Seperti Bon Jovi, Grup Band Cold Play, Westlife, dan pianis dunia yang bernama Ludwig Van Beethoven. Merekalah yang menginspirasiku untuk terus bermimpi menjadi musisi sekaligus penulis lagu. Malam ini, dengan seriusnya aku menggariskan pulpen di atas kertas. Menuliskan sebuah lagu tentang wanita itu.
“Menggerutu mencari wangi rambutmu, menelaah senyummu. Namun kilaumu hanya beredar sepintas.” Sekilas siratan imajinasiku yang ku tulis dalam sebuah lagu.
Dalam konsentrasiku menulis lagu, terlintas pikiran yang menentang niatku. Buat apa aku melakukan hal yang fana hanya karena wanita misterius itu?, bukankah wanita itu seperti angin saja?. Mending menonton atau memainkan jemari di atas piano hitam kepunyaanku. Karena ini bukanlah kehendak. Melainkan hanya egoku saja. Apakah aku bodoh?, tapi bagaimana bisa aku tidak melakukan pengorbanan demi membayar semua rasa penasaranku?.
Mungkin kamarku bukanlah tempat yang tepat. Meski waktu sudah menunjukan pukul Sembilan, aku masih saja berjalan keluar kamar dan meninggalkan rumah lalu berjalan ke arah bukit di belakang rumah. Ilalang yang tinggi tak dapat menghalangi pandanganku karena cahaya bulan begitu binar.
Dari kejauhan ku melihat sosok wanita yang rambutnya menari dengan indah di terpa angin malam. Aku tak tahu siapa itu. Namun jika melihat dari baju yang dia pakai, tampaknya itu Sabrina. Sedang apa malam-malam begini di tempat ini sendirian?, kalaupun ingin kemari di saat malam, pasti dia mengajakku terlebih dahulu.
“Sinar bulannya indah ya?” Suaraku terdengar pelan karena hempasan angin malam.
“Kok nggak ngasih tahu kalau mau kemari?” tanyanya ketika aku berdiri tepat di belakangnya yang sedang terduduk.
Aku melepaskan jaket hitamku dan memakaikannya ke kedua bahunya. “Emangnya harus lapor ya?, bukannya ini bukit ini berada di belakang rumahku?” tanyaku tanpa jeda.
“Kan di belakang rumahku juga” jawabnya menatap wajahku.
Aku pun mengambil posisi duduk disampingnya. Pandanganku mulai  fokus lagi di lagu yang belum selesai ku tulis. Imajinasiku sedikit lepas ketika terkena sinar bulan.
“Kamu lagi tulis apa?” tanyanya.
“Lagu” jawabku singkat tanpa memandanginya.
“Bayangan yang indah… aneh judulnya. Emangnya tentang apa?” tanyanya lagi keheranan.
Aku memalingkan pandangan ke arahnya sembari tersenyum kecil “Ada aja!” jawabku.
“Yeee, hari gini masih pake rahasia-rahasiaan. Udah kuno tahu” ucapnya sedikit sebal.
Aku melempar pandangan kedepan, “Ini tentang wanita itu.” jawabku.
Matanya terbelalak.“Wanita siapa?” tanyanya menatapku penasaran.
“Aku pun belum tahu dia itu siapa. Yang pasti, dimana pun aku berada, entah sengaja atau tidak, dia selalu ada ditempat yang sama.” Jawabku, senyum kecil masih saja awet di wajahku.
“Cielah. Mungkin itu penggemar rahasia kamu kali.” Sabrina mencoba menerkah.
Aku mengerling ke arahnya dan melempar senyuman kecil.
Ini adalah kali pertamaku mengangkat cerita tentang wanita misterius itu. Entah dia itu siapa. Namun aku selalu terpesona ketika melihat wanita itu. Andaikan wanita itu tidak lari-larian seperti kemarin, mungkin aku bisa mengenalnya dan menyimpan kata demi kata yang diucapkan wanita itu dalam memoriku.
Enam
Manado pagi hari. Matahari sudah muncul dengan sempurna. Langit di bagian timur seperti dibalut kapas yang berwarna putih dihiasi warna kemerah-merahan.
Suara suling dengan irama sunda mulai dimainkan tetangga. Sesekali, suara ayam terdengar sayup-sayup. Angin pagi mulai membawa tanda bahwa jantung hari pun kini berdetak.
Anak-anak yang memakai seragam SD mulai melangkah dengan penuh keceriaan. Melewati setiap blok dan suara mereka terdengar lumayan jelas. Mereka selalu berbaris dengan tertib seperti gerbong kereta dan menyapa setiap orang yang dijumpai.
“Pagi, Kak” sapaan mereka akhirnya sampai kepadaku yang sedang duduk diteras rumah.
Tak lupa, para penghuni perumahan mulai memanaskan motor dan mobil mereka. Ada pula yang sudah siap dan segera tancap gas untuk pergi beraktifitas.
Sungguh pemandangan pagi yang luar biasa.
Sabrina suka sekali menikmati pemandangan seperti ini setiap berangkat ke kampus. Itulah sebabnya Sabrina sering bangun pagi untuk memandangi suasana di pagi hari.
Aku sempat melirik ke arah rumahnya. Ku lihat dia baru saja akan mengambil ancang-ancang untuk santai dan menyaksikan keceriaan di pagi ini.
Jam mulai menunjukan pukul 5.45. Tidak lama lagi, aku akan segera beranjak dari tempat ini untuk segera pergi ke kampus. Hari ini mungkin akan luar biasa. Mengingat hari ini adalah hari pertama OSPEK di kampusku.
Aku dan Sabrina adalah pengurus Organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan. Atau biasa disingkat HIMAJU. Organisasi ini merupakan pengerat komunikasi antar jurusan. Jika di bangku SMA kita semua mengenal OSIS. Maka di Universitas Samratulangi Manado ada yang namanya HIMAJU.
********
Azki berdiri di sampingku sambil menyisir rambutnya yang berdiri seperti duri landak dengan jari-jarinya.
“Lho liat mereka nggak?” tanya Azki tepat di telingaku.
“Belom” responku singkat. Aku berdiri dengan tegak sambil memperhatikan gerbang utama kampus. “kalo anak-anak baru itu udah pada datang, lho mesti ngeluarin seluruh kemampuan lho buat bikin meresa semua ketakutan” ujarku bak perwira yang sedang memerintah anak buahnya. Padahal dia adalah ketuanya.
“Iya, gue tahu” jawabnya singkat.
Jam sudah menunjukan pukul 7 pagi. Namun para Mahasiswa baru itu belum saja muncul. Padahal seluruh pengurus HIMAJU sudah kumpul sejak 6.30 tadi dengan semangat 45.
“Tuh mereka” Ucap Sabrina sembari menunjuk ke arah gerbang.
Para Mahasiswa baru itu berjalan ke arah kampus dengan wajah murung. Mereka mungkin sudah tahu tentang suasana OSPEK. Begitu menguras keringat.
Beberapa pengurus HIMAJU langsung mengambil posisi di pos masing-masing. Ada yang berlari ke dalam ruangan materi, ada yang standby di tempat absen, ada yang sudah siap-siap di UKS. Ada juga yang bertahan di depan gerbang untuk memimpin para mahasiswa baru masuk ke dalam kampus.
“Semuanya jalan kodok dengan kedua tangan dikepala” teriak Sabrina. Para mahasiswa baru itu langsung menuruti perintahnya.
Aku hanya terdiam dan menyaksikan suasana dipagi itu. Sabrina hari ini cukup galak. Baru di depan gerbang, sudah 5 orang yang dibentaknya. Astaga!, entah kenapa pagi ini dia begitu galak. Atau mungkin dia sedang datang bulan?.
“Hey, kamu jalannya kayak siput. Lebih cepat lagi!” bentakan Sabrina terdengar hingga ke telingaku.
Aku pun melirik ke asal suara itu. Aku memperhatikan orang yang dia bentak.
Apa?, mungkin ada yang salah dengan mataku.  Wanita yang selama ini ku anggap orang yang misterius ada di sekitarku. Dan aku seakan tak percaya ketika melihat wanita berambut sebahu itu menggunakan pakaian yang sama dengan para Mahasiswa baru. Apakah dia mahasiswa baru?. Pertanyaan itu tak bisa ku jawab. Lagi-lagi aku hanya terpaku ketika melihat wanita itu. Sekitar 1 menit, baru aku membuka langkah menuju wanita itu.
“Brin. Dialah wanita yang ku ceritakan kemarin.” Jawabku tanpa berbasa-basi lagi. Perkataanku sudah cukup membuat segala bentakan Sabrina kepada wanita itu meredah.
“Astaga! Faris, aku minta maaf. Aku nggak tahu sama sekali” jawabnya.
“Iya, nggak apa-apa. Aku tahu kamu hanya ingin professional demi kesuksesan OSPEK kita. Aku tahu kamu orangnya nggak segalak ini.” Ucapku.
Pandanganku langsung tertujuh kepada wanita itu. “Siapa nama kamu?” tanyaku.
Wanita itu terus saja menunduk. “Inka Arestya” jawabnya dengan nada pelan tanpa memandangiku
Sungguh indah ciptaan Tuhan. Wajah wanita ini langsung masuk ke dalam otakku. Aku sempat terperanga ketika menatap wajah Inka.
“Kenapa kamu ada di kampus beberapa hari yang lalu?” tanyaku bak detektif.
Dia masih saja menundukan kepala.”Aku lagi urus administrasi, kak” jawabnya, sungguh lugu wanita ini.
“Jika kamu mahasiswa baru, kenapa beberapa hari yang lalu kamu ada di perpustakaan, sedangkan masuk ke perpustakaan harus ada Kartu Perpustakaan” jawabku. Kali ini dengan nada yang sedikit naik. Karena bagaimana pun, ini adalah OSPEK. Tidak pernah mengenal siapa, seluruh Mahasiswa baru harus di perlakuka secara merata tanpa ada yang di beda-bedakan.
“Papaku Dosen, kak. Aku pergi bareng papa aku. Jadi aku bisa masuk” jawabnya dengan nada pelan.
“Oh, ya?, Papa kamu siapa?” tanyaku penasaran.
“Pak Darmawan.” Jawabnya singkat.
Mataku terbelalak ketika mendengar jawabannya tadi. Pak Darmawan adalah guru pembimbingku. Apakah mungkin ini akan menjadi penghalangku untuk bisa dekat dengan Inka?. Ahh!, kenapa harus serumit ini?
“Oh” jawabanku seolah-olah cuek dan tidak memperhatikan jawabannya tadi. “kalau gitu, cepat masuk ke kampus. 
Akhirnya dia berjalan sedikit cepat melintasi gerbang. Dan sosok Inka akhirnya menghilang dibelokan dekat pos absen. 
Ku lihat Sabrina hanya terdiam “Kamu jangan terlalu galak. Entar kamu bakalan di cap senior tergalak” ucapku menatapnya serius. Sabrina hanya menatapku tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu berjalan ke dalam kampus.
*******
Auditorium di siang ini begitu riuh. Sungguh sangat ribut. Bentakan demi bentakan silih berganti keluar dari mulut para senior. Mataku langsung terbuka lebar ketika menyadari bahwa seluruh mahasiswa baru tidak akan luput dari bentakan-bentakan itu. Aku pun langsung mencari keberadaan Inka. Ratusan atau bahkan ribuan kepala yang ku jumpai belum bisa memberikan isyarat dimana keberadaan wanita itu. 
“Kenapa kamu diam saja?! haaa!?” suara itu terdengar sangat keras akan tetapi asal suara itu tak dapat ku lihat.
Aku terus mencari hingga langkahku terhenti menyaksikan Azki sedang memarahi Inka. Dia hanya bisa tertunduk lesu dan memakan semua bentakan itu. Aku sungguh tak tega melihat adegan itu. Meskipun Azki adalah Ketua Panitia OSPEK, aku memberanikan diri untuk menghentikan semua bentakan yang menghujam wanita lugu itu. Aku melirik ke arah kiriku. Yang ku dapat hanyalah seorang Mahasiswa baru yang tingginya hampir sama denganku. Aku pun menariknya dan mengajaknya dengan paksa menuju Azki.
“Bro, dia susah di bilangin. Tolong lho urus” ucapku seolah-olah pria yang ku bawa melakukan kesalahan. Padahal sebenarnya tidak. Aku hanya ingin menjadikannya sebagai pengalih perhatian agar Azki melupakan Inka.
“Lho urus dia” pinta Azki.
Aku pun menarik tangan Inka dan mengajaknya di salah satu sudut auditorium.
“Kamu nggak apa-apakan?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“Iya, kak, nggak apa-apa” jawabnya sedikit mendongakan kepalanya
Aku memegang kedua bahunya “Ya sudah, kamu balik lagi ke tempat duduk kamu. Aku bakalan ngawasin kamu” ucapku.
Dia hanya mengangguk sembari melempar senyum kecil ke arahku dan segera berlalu kembali ke tempatnya. Setelah ia menghilang dari hadapanku, aku mendapati Sabrina yang sedang memperhatikanku dari kejauhan. Ekspresi sebal tergambar jelas dari raut wajahnya. Mungkin dia tidak suka kalau aku menganak emaskan Inka. Walaupun ini Ospek, Semua lelaki di tempat ini pasti akan melakukan hal yang sama apabila mendapati orang yang mereka kagumi sedang di bully.
********
Agak bergeser dari pagi, kini sore hari pun tiba. Namun kemerahan langit tak kentara karena langit yang mendung serta rintik-rintik hujan jatuh ke bumi. Hari OSPEK akhirnya selesai. Sembari melangkah, aku merapikan seragam Almamaterku. Tak lupa aku berpamitan kepada seluruh panita. Sejurus kemudian, aku langsung berjalan ke mobil tanpa memikirkan apapun.
Baru beberapa saat mobilku berjalan, aku bertemu dengan Inka. Ku lihat sangat kedinginan. Jaket yang ia gunakan semakin dirapatkan karena hembusan angin yang dingin menerpanya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyambanginya.
Aku menurunkan kaca mobilku “Kok kamu masih disini?” tanyaku.
“Aku lagi nungguin Papa aku” jawabnya sambil menggesek-gesekan kedua tangannya.
Ku lihat bibirnya mulai pucat. Itu tanda ia tak bisa lebih lama lagi menunggu di tempat ini.
“Sekarang kamu naik. Bilang sama papa kamu, kamu udah pulang duluan sama teman-teman kamu.” Ajakku.
Wanita itu hanya diam saja tanpa merespon ucapanku. Mungkin dia malu. Tapi sudah pasti aku tak akan menghiraukan rasa malunya itu. Aku keluar dari dalam mobil dan berjalan ke arahnya.
“Kamu bakalan sakit kalau lebih lama duduk disini” ucapku ketika menjajari posisinya. 
“Tapi, kak….”
“Udah, cepat masuk.” Aku memaksanya.
Dia hanya diam saja sambil terus menundukan kepalanya. 
Mau berapa lama lagi berdebat seperti ini. Aku memang tidak suka memaksa, tapi jika melihat kondisnya yang sangat pucat, mau tidak mau aku menuntunnya masuk ke dalam mobil. Benar saja, dia bukannya tidak mau, akan tetapi hanya malu. 
Dalam perjalanan aku sempat mengobrol banyak dengannya. Menanyakan umurnya, dan SMA-nya dulu. Ternyata dia pernah bersekolah di sekolah kejuruan jurusan keperawatan. Namun wajahnya sama sekali tidak menampakan kalau dia seorang perawat. Benar saja, dia memang tidak pernah bercita-cita menjadi perawat. Dia hanya mengikuti kemauan mamanya untuk bersekolah di SMK jurusan keperawatan. Ketika mengobrol tentang cita-cita, aku baru ingat pertanyaan yang ingin ku tanyakan kepadanya. Tanpa malu-malu lagi, aku langsung menanyakan hal tersebut.
“Kamu ngapain ada di tempat les musik minggu lalu?” tanyaku sesekali melirik ke arahnya.
“Aku les disitu” jawabanya yang sontak membuatku terkejut. Sudah tidak salah lagi tebakanku.
“Kok hanya kali itu kita ketemuan?, apa kamu murid baru?” tanyaku tanpa jeda sembari fokus ke jalanan.
“Nggak kok. Minggu depan sudah genap 5 bulan. Eh, nggak, udah 6 bulan. Jadi udah lumayan lama sih.” Jawabnya sambil menghitung lewat jarinya. “Aku sebenarnya udah sering ketemu kakak. Tapi kakak aja yang nggak pernah liat aku kali” lanjutnya tertawa kecil. Sungguh polos wanita ini. Dan sungguh sangat manis. Suaranya pun sangat nyaman di telingaku.

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLLOWERS