Judul: Forgive, But Never Forget
Writer : Arif Akmal Palowa
Genre: Metropop
Setting:
1. Venice, Italia
2. Milan, Italia
3. Tokyo, Jepang
Tokoh utama: Lawrence Bianchi
(laki-laki, peneliti) & Dayana De Luca (perempuan, juga peneliti)
Nuansa: Romantis, elegan, penuh
intrik dan luka masa lalu
Pertemuan
Senja jatuh
perlahan di atas kanal-kanal Venice, membiaskan warna oranye keemasan di
permukaan air yang tenang. Di kejauhan, dentang lonceng dari Basilika San Marco
bergema, melintas di antara labirin jalanan sempit dan jembatan batu tua.
Lawrence
mendekap jaket tipisnya erat-erat, berusaha mengusir hawa dingin yang masih
menggantung di udara. Di tangan kirinya, sebuah map cokelat bertuliskan
Venetian Scientific Advancement Institute menandai awal babak baru dalam
hidupnya — babak yang ia kira akan penuh kebanggaan, ambisi, dan lembaran
bersih.
Ia salah.
Begitu
memasuki aula utama institut, pandangannya tertumbuk pada sosok itu — Dayana De
Luca.
Ia berdiri di
bawah lampu gantung kristal raksasa, membolak-balik lembaran presentasi
seolah-olah dunia di sekelilingnya tak berarti apa-apa. Rambut cokelatnya
dikuncir asal, blazer hitam membalut tubuh rampingnya, dan mata itu — mata yang
sama — dingin sekaligus rapuh.
Sejenak, dunia
Lawrence runtuh tanpa suara.
Waktu memang
bisa menghapus banyak hal. Tapi tidak dengan luka yang terlalu dalam untuk
dikhianati oleh waktu. Mereka berpura-pura tak saling mengenal di ruangan penuh
canda, jabatan tangan formal, dan ambisi muda. Tetapi saat Dayana akhirnya
mendongak dan mata mereka bertemu, hanya butuh satu detik — Semua kenangan itu,
semua kata-kata yang tak pernah sempat diucapkan, tumpah ruah tanpa ampun. Dan
Lawrence tahu, sejak detik itu, jalan hidupnya di Venice tidak akan pernah
semudah yang ia bayangkan.
Bab 1
Reuni yang Tak
Direncanakan
Langkah kaki
bergema di aula marmer yang luas. Di bawah lampu gantung megah, beberapa orang
mulai berkumpul, mengenakan jas resmi atau gaun kerja sederhana. Lawrence
menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam dentuman aneh di dadanya.
“Lawrence
Bianchi, kan?” Sebuah suara ceria menyapanya. Seorang pria berambut pirang
bergelombang mengulurkan tangan, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Marco
Bellini. Kepala Tim Bioteknologi. Selamat datang di Venetian Scientific
Advancement Institute.”
Lawrence
membalas jabatan tangan itu dengan kaku. “Terima kasih, Pak.”
“Marco saja.”
Ia tertawa ringan. “Kita semua di sini seperti keluarga. Nah, biar kukenalkan
yang lain.”
Lawrence
mengikuti Marco melintasi aula.
Di meja
registrasi, seorang perempuan dengan kacamata bulat besar sedang sibuk mencatat
sesuatu sambil sesekali merapikan kertas-kertas berantakan di sekitarnya.
“Ini Alessia
Romano,” kata Marco. “Koordinator data kita. Dia ingat semua hal, termasuk
siapa yang telat submit laporan,” tambahnya setengah bercanda.
Alessia hanya
melirik cepat dan tersenyum tipis, lalu kembali fokus pada berkas-berkasnya.
Di sisi lain
aula, Lawrence melihat seorang pria jangkung dengan raut serius tengah
berbicara dengan beberapa kolega. Wajahnya kaku, postur tegap seperti militer.
“Itu Leonardo
Santori. Penanggung jawab keamanan riset. Kelihatannya keras, tapi aslinya...
ya, tetap keras,” gumam Marco dengan nada geli.
Lawrence
mengangguk samar, pikirannya setengah memperhatikan, setengah masih tertarik
kembali ke sosok Dayana.
Sementara
Marco terus mengoceh tentang prosedur orientasi, Lawrence mencuri pandang ke
arah Dayana. Ia kini berdiri bersama seorang wanita paruh baya berambut perak
yang tampak berwibawa.
“Dan itu,”
kata Marco lirih, “Profesor Beatrice Conti. Ketua program kita. Orang yang
membawa Dayana ke sini. Salah-satu peneliti handal.”
Hati Lawrence
mencelos.
Tidak hanya
mereka berada di tempat yang sama lagi, tapi Dayana bahkan lebih dekat dengan
pusat kekuasaan institut ini daripada yang ia duga.
Seketika,
udara terasa lebih berat.
*************
Acara
penyambutan dimulai.
Profesor
Beatrice naik ke podium kecil di ujung aula. Suaranya tegas dan jernih,
membelah keramaian. "Selamat datang, para peneliti muda dan para inovator.
Venice bukan hanya kota bersejarah, tapi juga akan menjadi saksi lahirnya
sejarah baru berkat kalian," ucapnya, diiringi tepuk tangan sopan.
Di sela pidato
itu, Lawrence merasakan tatapan. Saat ia menoleh, Dayana sedang menatapnya. Bukan
tatapan nostalgia. Bukan juga tatapan benci. Tatapan itu... kosong. Seperti dua
orang asing yang tidak pernah punya masa lalu bersama. Seperti dua bayangan
yang pernah saling berusaha menyentuh, tapi akhirnya saling melupakan.
Lawrence
mengepalkan tangannya. ‘Forgive, but never forget’. Kalimat itu bergaung di
pikirannya, lebih kuat daripada pidato apa pun yang disampaikan malam itu.
Dan saat acara
berakhir, dan para tamu mulai membaur, Lawrence sadar satu hal. Ia harus
berbicara dengan Dayana. Entah bagaimana pun sakitnya.
Bab 2
Percakapan yang
Tak Pernah Selesai
Langit malam
Venice menggantung rendah, diselimuti awan tipis yang memantulkan cahaya lampu
jalanan ke kanal-kanal tenang. Aroma asin laut dan bunga basah dari taman kecil
institut bercampur samar di udara.
Lawrence
Bianchi berdiri di sudut aula, menatap gelas prosecco yang hampir tak tersentuh
di tangannya. Sementara kolega-koleganya tertawa ringan, membahas proyek baru,
pikirannya melayang jauh — ke masa lalu yang bahkan ia benci untuk dikenang. Dayana
De Luca.
Nama itu,
wajah itu, seharusnya sudah lama terkubur di arsip ingatannya. Tapi di sini, di
tempat yang seharusnya menjadi babak baru hidupnya, masa lalu justru menunggu
dalam wujud paling nyata.
Ia melihat
Dayana melangkah perlahan keluar aula, menyusuri lorong kecil menuju taman.
Tanpa berpikir panjang, Lawrence meletakkan gelas di meja dan mengikuti langkah
itu.
Setiap gerakan
Dayana — ayunan rambut, cara ia memeluk tubuh sendiri dari dingin malam —
terasa terlalu familiar. Terlalu menyakitkan.
********
Di taman kecil
itu, hanya ada mereka berdua, dikelilingi semak lavender dan deru pelan kanal
yang mengalir tak jauh.
Lawrence
menghentikan langkah beberapa meter dari Dayana.
Punggung perempuan itu tampak mungil dalam balutan blazer hitam, seolah mencoba
melawan dunia sendirian.
"Aku
tidak tahu kau akan di sini," ucap Dayana tanpa menoleh, suaranya seperti
kabut — ringan, tapi penuh rahasia.
Lawrence
menyelipkan tangannya ke dalam saku jaketnya, mencoba terlihat lebih tenang
daripada perasaannya yang sebenarnya. "Kalau tahu, kau tidak akan
datang?" Ia melemparkan kalimat itu lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Dayana menarik
napas panjang sebelum berbalik. Tatapan mereka bertemu dalam kegelapan taman,
hanya diterangi lampu taman yang remang. Wajah itu... tidak banyak berubah.
Masih Dayana yang ia kenal — kuat, berani, sekaligus rapuh di sudut-sudut yang
jarang orang lihat.
"Bukan
begitu," jawab Dayana, suaranya nyaris berbisik.
"Kalau
begitu apa?" desak Lawrence, nadanya lebih dingin dari suhu udara malam.
Dayana
menggenggam ujung lengan blazernya, seolah mencari pegangan. "Aku datang
untuk pekerjaanku. Kita di sini karena kita dibutuhkan. Bukan karena masa
lalu."
Lawrence
terkekeh pendek, getir. "Mudah untuk berkata begitu, ya?"
Mereka
terdiam. Hanya suara air kanal yang mengalir, seolah dunia luar sengaja menjaga
jarak dari percakapan mereka.
"Apa kau
tahu berapa lama aku bertanya-tanya kenapa kau pergi begitu saja?"
Lawrence akhirnya bersuara lagi.
"Tiga
tahun, Dayana. Tiga tahun tanpa jawaban."
Dayana
memalingkan wajahnya, menatap bunga lavender yang bergoyang pelan di tiupan
angin. "Aku memilih keluargaku, Lawrence," katanya perlahan.
"Mereka butuh aku. Aku... harus pergi."
Lawrence
mengepalkan tangannya di dalam saku. "Dan aku? Apa aku tidak pantas
mendapat satu pun kata penjelasan?"
Tatapan Dayana
kembali padanya, lebih basah kali ini. Ada kilatan luka di sana, sama dalamnya
dengan luka di dada Lawrence.
"Kau
tidak akan mengerti," ucapnya lirih.
"Coba
aku," balas Lawrence cepat.
Sunyi.
Dayana
memejamkan mata sejenak, mengumpulkan keberanian.
"Ayahku terlibat dalam skandal finansial besar di Roma. Kami diancam,
Lawrence. Aku harus memilih, tetap tinggal dan membiarkan keluargaku hancur,
atau pergi... dan membiarkan kau membenciku."
Lawrence
terpaku. Kata-kata itu menghantam seperti badai. Di otaknya, potongan-potongan
kenangan berkelebat: Dayana yang selalu
tersenyum kecil saat mempelajari jurnal bersama. Dayana yang berjanji akan
menemaninya hingga kelulusan. Hari itu, Dayana menghilang tanpa sepatah kata
pun.
"Aku...
tidak ingin menyeretmu dalam kekacauan itu," lanjut Dayana, suaranya
patah. "Aku mencintaimu terlalu banyak untuk itu."
Untuk sesaat,
dunia terasa beku. Bahkan gemericik kanal pun seolah menahan napas.
Lawrence
melangkah lebih dekat, hanya tersisa jarak satu langkah di antara mereka.
"Aku bisa bertahan, Dayana," bisiknya. "Kalau saja kau memberiku
kesempatan."
Air mata
menggantung di sudut mata Dayana, tapi tidak jatuh.
"Aku
takut, Law." Suara itu pecah. "Dan aku pengecut."
Lawrence
memandangnya lama, sebelum akhirnya menarik napas panjang.
Matanya menatap jauh melewati Dayana, ke kanal gelap yang mengalir entah ke
mana.
"Aku di
sini untuk proyek ini," katanya akhirnya, nada suaranya datar, lelah.
"Aku akan profesional."
Dayana
mengangguk pelan. "Begitu juga aku."
Mereka saling menatap sekali lagi
— bukan sebagai sepasang kekasih, bukan pula sebagai musuh. tapi sebagai dua
jiwa yang pernah saling memiliki, dan kini, terpaksa saling menjaga jarak.
"Forgive
me," bisik Dayana, hampir tak terdengar
Lawrence menundukkan kepala, menyembunyikan
segala rasa yang terlalu rumit untuk diucapkan dan malam Venice terus berputar,
menghapus jejak langkah mereka perlahan-lahan. Tapi tidak pernah benar-benar
menghapus rasa.

