Welcome

Sabtu, 11 Oktober 2014

Misicology of Love


      
Musicology of Love

 Prolog

              Dentingan indah ku mainkan di atas tuts hitam putih. Jemariku dengan lentiknya terus melangkah di antara nada-nada yang terdengar sangat merdu. Semua orang seakan terpaku ketika mendengar alunan melodi yang ku mainkan di atas panggung.
“Stop!” Suara Pak Jony menghentikan jemariku.
“Kenapa pak?” tanyaku kebingungan.
“Belajar lagi” ucapnya singkat.
Aku bingung mendengar perkataan Pak Jony. Aku telah bermain sebagaimana yang dia ajarkan. Namun berulang-ulang kali dia mengatakan bahwa permainanku buruk. Mungkin inilah kesulitan dalam bermain piano. Di telinga kita terdengar sangat indah, namun belum tentu di telinga orang lain terdengar merdu seperti yang kita rasakan. Dapat ku simpulkan bahwa musik merupakan sesuatu yang relatif di muka bumi ini. 
Sudah 4 tahun aku les piano di tempat ini. Dan perubahan terlihat sangat jelas di setiap permainanku. Aku selalu mendapat nilai baik ketika tes di hadapan Ibu Lastri. Anehnya, Pak Jony seakan tak pernah mengakui kehebatanku. Padahal satu-satunya murid di kelas piano yang bisa memainkan instrumen-intrumen Bethoven hanya aku saja. Teman-temanku selalu memuji permainanku. Apalagi ketika jariku yang letik ini memainkan intrumen Canon.

Satu
Faris Haikal, itulah nama lengkapku. Namun teman-temanku biasa menyapa dengan panggilan Faris. Aku kini berumur 19 tahun dan sedang menimba ilmu di Universitas Samratulangi jurusan Seni Musik.
Tinggiku yang 176 cm membuat aku bisa masuk ke dalam tim basket kampus. Namun aku sering di tegur oleh pelatih tim basketku. Pak Windo. Dia selalu menanyakan absensiku yang banyak bolongnya. Maklum saja, aku lebih mencintai musik ketimbang olahraga basket. Jam 4 sore di setiap hari selasa dan kamis menjadi jadwal latihan basket. Namun di setiap hari kamis aku selalu tidak hadir karena bertabrakannya jadwal latihan. Hari senin dan kamis adalah jadwal les piano. Jamnya sama dengan jadwal latihan basket. Otomatis hal itu membuat aku tidak dapat mengikuti latihan bola basket di hari kamisnya.
Sore ini ku ingat ada jadwal latihan basket. Karena berhubung ini hari selasa, aku bisa datang tanpa beban. Dan semoga saja aku tak dimarahi pelatih.
“Woy!!!” Bentakan itu sudah biasa di telingaku ketika aku sampai di lapangan basket kampus. Dan seperti biasa juga bentakan itu di ikuti dengan sebuah lemparan bola basket ke arahku.
“Lempar bolanya ke ring” perintah kapten tim basket yang bernama Marsel.
Aku pun menurutinya. Lemparan dengan jarak 25 meter itu rasanya mustahil bagiku. Namun aku berusaha dan melakukannya dengan penuh kejelihan. Aku cukup tegang ketika menyaksikan bola itu melambung di udara dan mencoba mencari sasarannya. Dan ternyata… Bolanya masuk. Di luar dugaanku. Marsel berjalan ke arahku dengan ekspresi kaget.
“Lho sadar nggak tim kita butuh lho?” tanyanya sambil menunjuk-nunjuk jidatku.
“Maaf, Sel. Gue kemarin les piano” jawabku sejujurnya.
“Lagi, lagi, dan lagi. Gue bosan tau nggak sama jawaban lho” ku lihat wajahnya mulai memerah.
Aku hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hal ini sudah biasa ku terima ketika aku sampai di tempat latihan. Sudah bisa ku tebak. Setelah Marsel yang memarahiku, sebentar lagi pasti pelatih yang akan menghujatku habis-habisan. Semuanya sudah seperti makanan bagiku ketika aku tak hadir di hari kamis.
Beberapa saat kemudian, orang yang ku tebak akan memarahiku datang dan berdiri di hadapanku.
“Sudah, sudah. Kita konsen latihan. Mumpung Faris sudah ada” ucap Pak Windo.
Aku terkejut karena aku tak di marahi. Di sisi lain aku sangat bersyukur. Jarang terjadi hal yang menguntungkanku seperti ini.
*******
Sehabis latihan basket, bajuku di penuhi keringat. Dan tentu saja ini tidak di sukai oleh Sabrina saat aku bertemu dengannya di koridor Fakultas Seni dan Budaya. Hari semakin malam, tapi dia selalu berdiri di depan mading itu. 
“Kamu kenapa ada disini?” tanyaku sembari mengelap-ngelap keringatku.
“Trus kamu ngapain nongol disini?” dia balik bertanya tanpa menjawab pertanyaanku. Dan sudah ku duga. Pasti dia akan terus menutup hidung sampai aku pergi. Sebau itu kah aku?.
“Ini udah malem, Brin. Nggak bagus malem-malem begini ada di kampus. Apalagi kamu anak cewek. Entar di gondol orang loh.” Aku menakut-nakutinya.
Dia hanya diam saja. Ku lihat matanya sedang liar membaca sebuah cerpen yang berjudul “Saat Senja Datang”. Seperti biasa, yang menulisnya adalah Prasetyo Firasyah. Dia adalah mahasiswa dari jurusan sastra Indonesia. Namun entah kenapa tulisan-tulisannya selalu muncul di mading seluruh Fakultas.
“Kamu kalo ngefans sama dia ajak kenalan dong, entar di duluin sama cewek lain loh.” Ejekku. Ku lihat wajahnya sebal mendengar sindiranku.
“Pergi sana!” Usirnya sembari memukul-mukulku. Aku hanya terkekeh-kekeh dan berlari menuju ruang ganti.
Sabrina Putri Siregar. Dia adalah satu-satunya sahabat dekatku. Aku dan dia sudah bersahabat sejak SMP. Wanita berambut panjang itu sangat suka membaca sejarah-sejarah perkembangan budaya di Indonesia. Oleh sebab itulah saat ini dia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Seni dan Budaya.
Dulu cita-citanya ingin menjadi seorang business women. Namun ayahnya tidak menstujuinya. Ayahnya menginginkannya menjadi seorang budayawan yang terkenal dan terus mengembangkan budaya-budaya di Indonesia yang mulai pudar dan perlahan menghilang karena perkembangan zaman. Dan dengan lambat tapi pasti, ayahnya mulai mengajarinya untuk mencintai budaya. Oleh sebab itulah Sabrina kini banyak mengusai banyak tarian khas Indonesia. Mulai dari tarian saman dari Nanggro Aceh Darussalam, tari piring dari Sumatera Barat, hingga tari maengket dari Sulawesi Utara. Dan mungkin masih banyak tarian lagi yang dia hafal. Karena hanya tarian-tarian itulah yang pernah dia peragakan di hadapanku.
Dia tak hanya pintar menari, dia juga pintar menyanyi. Tapi sayangnya aku tidak menyukai nyanyianya. Karena aku selalu merinding apabila mendengar lagu lengser wengi. Sabrina selalu menyanyikan lagu itu ketika aku jahil kepadanya. Namun aku selalu menarik kepalanya dan menjepitkannya di ketiakku untuk membungkam mulutnya. Aku tak akan berhenti melakukan itu sampai dia berhenti menyanyikan lagu itu. Di balik semua itu, aku selalu bangga punya sahabat sepertinya. Dia selalu mengerti keadaanku. Sungguh indah persahabatan ini.



Dua

Aku melenggang santai menuju rumah bercat putih dengan sedikit sentuhan krem di sebelah rumahku. Sore ini, seperti biasa, aku punya janji tak tertulis dengan salah satu penghuni di rumah tersebut.
“Sabrina!”
Aku berteriak dari luar pagar rumahnya.
“Yaaaa!” Sahut seseorang dari dalam rumah.
Ku lihat yang keluar adalah Sabrina. Dia langsung membukakan pagar dan mengajakku masuk ke rumahnya. Rumahnya mewah. Aku di persilahkan duduk di ruang tamu. Ruangan ini memancarkan suasana klasik yang begitu elegan. Lukisan-lukisan yang mengandung nilai budaya yang tinggi tergantung rapi di dinding ruangan itu. Aku sempat melirik ke luar pintu yang menuju ke kolam renang. Ku lihat ada Ibunya Sabrina yang sedang asik dengan laptonya di samping kolam renang. Ibunya bernama Fitri. Bu Fitri itu telah menganggap bahwa laptopnya itu adalah suami keduanya. Hampir setiap waktu aku melihat Bu Fitri selalu menatap laptop silvernya itu. Maklum saja. Dia adalah seorang penulis. Sudah banyak buku telah dia ciptakan dari jemarinya yang itu. Mulai dari buku tentang sejarah perkembangan budaya di Indonesia, buku sajak dan pantun, hingga Novel-novel dengan genre yang beragam. Sangat ku ingat ketika aku di suruh untuk membaca Novel yang bergenre Teenlit oleh Sabrina. Ku lihat penulisnya adalah mamanya. Aku sempat terbahak-bahak ketika membaca lembar demi lembar karya mamanya itu. Rasa aneh apabila ada orang tua yang masih menuliskan Novel yang bergenre teenlit. Tapi sialnya, aku di kejutkan dengan ending yang luar biasa. Sad Ending. Yang tadinya aku tertawa dengan keras, tiba-tiba terdiam dan larut dalam kesedihan ketika membaca beberapa lembar terakhir. Sungguh luar biasa!.
“Eh, Faris. Kok kamu udah jarang kemari?” tanya Bu Fitri ketika melihat aku sedang duduk sendiri karena Sabrina sedang mengambil minuman di dapur.
“Iya, tante.  Banyak tugas dari kampus. Belum lagi les piano sama latihan basket.” Jawabku.
“Oh, kemarin Sabrina cerita, katanya mama kamu lagi di Amerika ya?” tanya mamanya lagi.
Ketika dia menanyakan mamaku, ekspresi wajahku langsung berubah. Aku sangat tidak ingin apabila di tanya tentang kabar mamaku. Dia selalu saja sibuk oleh urusan bisnisnya. Sampai-sampai, dia jarang ada di Indonesia. Dan jarang mengurusi urusan rumah tangga ini.
“Mamaku pulang besok, tante” jawabku dengan ekspresi datar.
“Nitip oleh-oleh ya sama mama kamu” kata Bu Fitri.
“Entar deh aku bilangin” jawabku tersenyum sembari menggaruk-garuk kepala.
Tiba-tiba Sabrina muncul dari dapur dan segera menghentikan obrolan aku dengan mamanya. Ku lihat tangannya sudah di penuhi dengan snack dan minuman ringan.
“Ayo” ajaknya.
Seperti biasa, aku dan dia selalu muncul di bukit belakang rumahnya di setiap sore ketika matahari mulai turun.
Sore ini lumayan indah. Langit yang mulai memerah memberikan sentuhan sendiri di suasana sore ini. Aku dan Sabrina menerobos ilalang yang tingginya kira-kira 2 meter lebih. Jika ingin pergi ke bukit itu, memang harus menerobos ilalang yang menjulang tinggi ini. Aku sering mengerjai Sabrina ketika sudah berada di tengah-tengah ilalang itu. Aku pura-pura menghilang dan tak memberikan jejak sedikit pun. Ketika pertama kali aku melakukan hal yang jail itu, dia sampai menangis dan meneriaki namaku sekencang-kencangnya. Tidak lama setelah aku menghilang, aku muncul tiba-tiba tanpa membuat suara sekalipun lalu segera mengagetkannya. Ku lihat dia sangat khawatir dan segera memelukku. Ah, persahabatan ini sungguh sangat indah.
“Kupu-kupunya indah.” Ucapnya ketika sampai di atas bukit. Setiap sore, bukit ini di penuhi kupu-kupu. Mungkin dekat sini ada sarangnya. Namun sayangnya aku tak pernah tahu kupu-kupu punya sarang atau tidak. Yang pasti suasana yang indah ini selalu memberikan warna tersendiri karena kehadiran puluhan kupu-kupu ini.
Aku merebahkan badanku dan membuat kedua tanganku menjadi alas kepalaku “Memangnya kamu suka kupu-kupu?” tanyaku.
“Bukankah kita sudah lama temenan. Kenapa pertanyaan itu baru muncul sekarang?” tanyanya balik tanpa menjawab pertanyaanku.
“Kenapa sih harus kupu-kupu?” tanyaku lagi.
Dia memalingkan wajahnya dan menatapku dengan senyum kecil di bibirnya “Aku suka warnanya”. Jawabnya “Karena corak yang beragam menggambarkan keadaan di Indonesia” .
Aku bangkit dan terduduk di sampingnya “Maksud kamu?” tanyaku heran.
“Kan Indonesia banyak suku dan bahasa. Warna kulit pun beragam. Budayanya juga beragam. Itu yang aku maksud.” Jawabnya sembari mencoba menangkap kupu-kupu yang melintas di hadapannya.
Aku menggangguk dan membuang pandangan ke depan. Matahari mulai jatuh ke bawah dengan perlahan. Sembari menikmati makanan ringan yang dibawah dari rumah Sabrina, aku mulai menggeser badanku hingga tersandar di pohon yang sedari tadi meneduhkan aku dan Sabrina.
“Apa semua laki-laki yang pintar menulis ucapannya selalu jujur?” tanya Sabrina yang membuyarkan fokusku ketika sedang larut menatap matahari yang sinarnya mulai memerah.
“Kadang bisa ya, kadang juga hanya bualan semata” jawabku sederhana.
“Aku pengen deket dengannya” ucapnya membuat aku terkaget kebingungan. Ku lihat senyum kecil merekah di bibirnya.
“Siapa?” mataku terbuka lebar.
“Ah, sudahlah. Nggak usah di bahas” ujarya mencoba mengakhiri topik yang tak sengaja dia angkat.
“Oh, aku tahu. Pasti Prasetyo Firasyah. Si anak culun dari Fakultas Sastra Indonesia kan?” tanyaku sembari menyenggol bahunya.
“Enak aja, dia tuh nggak culun. Tapi orang yang suka menulis itu matanya memang sedikit min. Tapi dia nggak seculun yang kamu kira” jelasnya tentang pria itu.
“Emangnya kamu kenal dia?” tanyaku bermaksud menyindir.
Dia menatapku sinis lalu senyum kecil tergambar di bibir manisnya itu. “Nggak sih, tapi setidaknya memperhatikan gerak-geriknya sudah cukup membuat aku mengenalnya” jawabnya malu-malu.
Yang terlintas dalam benakku, aku akan mencoba mempertemukan Sabrina dengan Prasetyo. Aku sebenarnya sedikit kasian sama dia. Aku pernah mendapati buku diary-nya dan membacanya karena rasa penasaranku. Lembar demi lembar selalu saja ada nama pria itu. Banyak hal yang dia bahas di diary itu. Mulai dari awal dia bertemu dengan Prasetyo, hingga rasa sebal ketika senyumnya di respon secara dingin oleh pria yang dipujanya itu.
Sayangnya di diary-nya itu aku tak mendapati namaku. Mungkin aku adalah orang yang tidak penting baginya, atau apakah mungkin persabahatan yang sudah terjalin erat sejak dahulu ini tak berharga di matanya?. Ku harap dia punya diary lain yang di penuhi namaku dan kisah persahabatanku dengannya. Semoga saja….
Tiga
Pagi ini aku datang bersama Sabrina menaikki motor matic putihku. Ku lihat jalanan kampus lumayan sepi. Itu di sebabkan karena hari ini adalah hari Sabtu. Hari dimana rasa malas menghinggapi setiap mahasiswa. Kendaraan yang terparkir juga tak begitu banyak. Ya… sudah bisa ku tebak bahwa hari ini tak menarik dan juga tak berkesan.
Aku membuka helm dan segera menjepitkannya di antara jok motor agar aman dari pencurian. Ku lihat Sabrina sedang merapikan rambut panjangnya.
Sebelum melangkah menuju kelas, aku sempat menyisir rambut di hadapan kaca spion motorku. Saat fokus merapikan rambut, aku tak sengaja melihat bayangan seorang wanita berambut pendek yang sedari tadi menatapku dengan jelih. Aku tak mengenalnya. Dan ini adalah kali pertamaku melihatnya. Saat ku palingkan pandangan kebelakang, wujud wanita itu segera hilang dan berlari kencang lalu segera bersembunyi di sebuah mobil.
Ada apa dengan wanita itu?, atau jangan-jangan dia ingin mengincar motorku. Tapi tampaknya dia adalah wanita yang baik dan tak punya niatan jahat. Wajahnya terlihat sangat lugu. 
Sembari menghapus kejadian tadi dari ingatanku, aku mulai membuka langkah dan berjalan beriringan dengan Sabrina. Tampaknya pagi ini dia sangat ceria meskipun kampus tak begitu ramai. Ku lihat matanya mulai melongo ke kiri dan ke kanan ketika aku dan dia melewati Fakultas Sastra.
“Kamu ngeliatin apa sih?, dari tadi melongo nggak jelas gitu” tanyaku tanpa menghentikan langkah.
“nggak ngeliatin apa-apa kok” jawabnya. Namun matanya masih saja bertingkah seperti itu.
Kali ini sudah bisa ku tebak. Dia sedang mencari pria berkacamata itu. Hal ini biasa dia lakukan ketika langkahnya melintas Fakultas Sastra.
Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang sedari tadi dia cari. Ku lihat lelaki itu sedang menempelkan sesuatu di mading.
“Ada cerpen baru!” ucapnya lantang dan membuat aku kebingungan.
Dia langsung menarik tanganku dan menerobos orang-orang yang sedang lalu-lalang. Banyak buku yang berjatuhan karena tertabrak oleh aku dan Sabrina.
“Maaf, maaf!. Lagi buru-buru” teriaknya sembari terus berlari kencang tanpa melepas tanganku.
“Brin, stop, stop!.” Kataku kelelahan. “Kenapa harus ke Falkultas SenBud sih?, bukannya di Fakultas terdekat ada?” protesku sembari mengatur napas.
“Fakultas SenBud dan Fakultas Sastra adalah Fakultas pertama yang akan dia samperin. Jadi otomatis di Fakultas lain belom ada.” Jawabnya polos. Tampaknya dia sudah sangat hafal alur penempelan cerpen-cerpen itu. Sekali lagi, akhirnya aku mengalah dan menurutinya untuk berlari kencang lagi menerobos orang-orang menuju ke mading Fakultas SenBud.
Matanya mulai liar dan larut di kertas putih itu ketika sampai di depan mading Fakultas SenBud. Senyumnya tanpa henti terus merekah di bibirnya. Wanita ini tampaknya sudah terhipnotis oleh karisma lelaki itu.
Sebagai teman, aku harus mendukungnya.
*********
Siang ini aku berjalan melewati gedung utama untuk menemukan jalan menuju perpustakaan. Sembari melangkah, aku sempat menengok ke kanan untuk melihat ruangan itu. Ruang Kesenian. Siang ini terlihat sangat sepi. Tak seperti biasanya, mugkin karena hari ini hari sabtu.
Aku mulai membuka langkah ke dalam perpustakaan. Derap langkahku lumayan terdengar karena di perpustakaan tak ada suara sedikit pun. Setelah mengisi daftar pengunjung dan menunjukan kartu perpustakaan, aku mulai mencari buku yang ingin ku baca. Buku Lagu daerah yang akan ku cari. Letaknya 4 rak dari tempat aku berdiri.
Setelah mendapatkan buku yang ku cari, aku langsung mencari posisi duduk yang biasa ku sambangi. Itu tempat duduk favoritku. Tanpa menatap sekelilingku dan terus fokus memperhatikan sampul buku, aku pun berjalan ke arah tempat duduk itu.
“Grekkk!!!” suara kursi yang ku duduki.
Lembar demi lembar mulai ku baca.  Mataku mulai liar menghayati not demi not yang tertulis di buku itu. Tenggorokanku lumayan kering karena suhu di jalanan siang ini sangat menusuk kulit. Apalagi jarak dari gedung fakultasku dengan perpustakaan lumayan jauh. Dan aku harus berjalan kaki karena motorku biasa di parkir di dekat gedung utama.
Aku menghentikan bacaanku sejenak dan mengarahkan kedua tanganku ke tas hitam di sebelahku. Tanpa sengaja, mataku menemukan sosok yang sedang duduk di sampingku. Jaraknya sekitar setengah meter dari ku namun masih duduk dibangku yang sama denganku. Aku mendongakan kepalaku untuk melihat wajah orang itu. Entah sudah berapa lama dia duduk di situ. Yang ku ingat, aku sama sekali tak memperhatikan bangku yang ku duduki sekaligus siapa penghuni pertamanya. Apakah mungkin dia datang lebih dulu dari pada aku? Tapi bagaimana mungkin aku tak menyadari keberadaannya?.
Aku memperhatikan ciri-ciri orang yang berwujud wanita itu. Dengan perlahan dia mulai menutupi wajahnya dengan buku yang dia pegang ketika dia mulai menyadari aku sedang memperhatikannya. Aku terkejut ketika melihat buku yang dia pegang, sama dengan buku yang sedari tadi aku baca.
“Bukunya sama ya” aku berbasa-basi agar dia mau menunjukan wujudnya. Sungguh wanita yang misterius.
Dengan perlahan dia mulai menurunkan posisi buku itu yang sedari tadi terus menghalangi wajah putihnya itu. Aku semakin terkejut ketika melihat orang  itu adalah wanita yang tadi pagi memperhatikanku ketika aku sedang berada di tempat parkir.
Wajahnya putih. Rambutnya sebahu berwarna hitam sedikit kecoklatan. Bulu matanya lentik dan bibirnya tipis. Dagunya yang sedikit runcing membuat wajah wanita itu tak bosan untuk di pandang.
Sempat terpaku karena kecantikan wanita itu, tiba-tiba perhatianku pecah karena wanita itu buka suara. “Ya”.
Hanya mengeluarkan 1 kata, atau lebih tepatnya dua huruf. Namun suaranya sangat nyaman di telingaku. Kata Pak Jony, orang yang nada bicaranya terdengar merdu, mungkin orang itu pandai bernyanyi. Ah… sedari dulu aku punya angan-angan untuk memiliki pacar yang pandai bernyanyi.
Tiba-tiba khayalanku buyar ketika aku menyadari buku yang dia baca. Kalau bukunya tentang kesenian, mungkin saja dia mahasiswa Fakultas SenBud. Tapi kenapa aku tak pernah melihatnya?. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya. Namun ketika aku akan membuka suara, wanita itu mulai bangkit dan beranjak meninggalkanku di bangku itu sendirian. 
Aku pun terdiam. Dalam diamku, terdapat sebuah kekecewaan karena tak mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih di hadapan wanita itu. Langkah wanita itu menghilang ketika dia berbelok di rak buku paling ujung. 
Aku pun menarik napas berat dan melanjutkan niatku untuk mengambil air mineral dari dalam tasku.
Tanpa sengaja mataku langsung terarah kepada sehelai kertas di tempat wanita itu duduk tadi. Tanganku dengan cekatan langsung meraih kertas itu. Tanpa berlama-lama, aku langsung membaca kertas itu. Sungguh aneh, kertas itu hanya bertuliskan emoticon senyuman. Sangat misterius wanita itu. 
Jika aku di beri kesempatan untuk bertemu lagi, aku takkan malu-malu untuk mencari tahu wanita misterius itu.


Empat

Sore yang indah nan temaram. Waktu yang seperti inilah yang sangat ku tunggu-tunggu. Waktu dimana aku akan pergi ke tempat les musik. Tempatnya berjarak sekitar 7 km dari rumahku. Tempat les itu, bukanlah tempat les yang biasa. Karena murid-murid di dalamnya banyak yang berbakat. Ada yang sampai go international karena berhasil memuja mata dunia dengan gitar. Ada juga yang berhasil membuat tanah eropa terpukau karena kelentikan jemarinya menari dengan indah di atas piano. Orang yang ku maksud adalah Wilson. Lelaki keturunan Belanda itu sukses membawa nama Indonesia di benua eropa karena bakat pianonya. Aku tak heran apabila dia bisa sehebat itu, selain kemampuan yang mempuni, ayahnya adalah seorang dirigen terkenal di Prancis. Walaupun kami belajar bersama dan skil kami bisa di bilang setara, namun dia lebih beruntung. 
 Wilson pernah berkata bahwa dia mencintai sahabatku, Sabrina. Namun Sabrina hanya tertawa ketika aku menyampaikan ungkapan perasaan Wilson. Wanita itu tidak suka pria yang berdarah blasteran. Dia hanya berniat untuk hidup bersama lelaki pribumi asli dan sangat mencintai Indonesia. Karena penolakan itu, membuat Wilson semakin ikhlas untuk meninggalkan Indonesia. Aku tak tahu kapan dia kembali. Namun aku sangat rindu ketika aku berduet dengannya, memainkan intrusmen yang berjudul Alla Turca karya Mozart.
Sembari mengukir langkah menuju kelas piano yang 10 menit lagi akan di mulai, aku sempat melirik ke ruangan Pak Jony yang berada di samping Aula. Ku lihat lelaki tua itu sedang membersihkan kaca matanya. Itulah kebiasaanya. Bagiku itu adalah kebiasaan yang aneh. Pasalnya dalam waktu 2 jam waktu les, bisa 20 kali dia mengelap kacamatanya itu. Tapi semua murid sudah tidak kaget dengan hal itu.
“Sore anak-anak.” Sapa Pak Jony menandakan materi akan segera dimulai. 
“Soreee, Pak!” jawab seluruh murid di kelas itu dengan penuh semangat.
Materi pun mulai berjalan. Dengan fokusnya, seluruh murid memperhatikan kata demi kata yang di ucapkan Pak Jony. Akan tetapi, mungkin hanya aku saja yang tak fokus dengan pelajaran di kelas itu. Pikiranku terus melayang. Dan pikiranku semakin melambung ketika mengingat wajah wanita itu. Wanita misterius yang ku temui di perpustakaan beberapa hari lalu. Ah… Kenapa wajah wanita itu terlintas?, aku mencoba mengelak karena tidak mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku berusaha menepisnya dengan cara mengalihkan fokus ke papan putih di depan sana. Namun semakin ku mengelak, wajah wanita itu terus datang dan menggugat kosentrasiku. Akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan pikiranku larut dalam gambaran pertemuan beberapa hari yang lalu. Tanganku merogok tas untuk mengambil sesuatu. Kertas itu!. Senyuman di kertas itu sudah membuat aku terpukau kepada wanita itu. 
Tiba-tiba…. Plakkk!!!, spidol hitam melayang dan mendarat di kepalaku. Hal itu membuat khayalanku buyar seketika. Benda itu sudah cukup membuat jidatku merah.
“Kamu senyam-senyum kayak orang gila. Mikirin apa kamu?” tanya Pak Jony.
“Eh, nggak mikirin apa-apa kok, Pak.” Jawabku tersenyum malu-malu dan sedikit gugup karena puluhan mata telah tertuju kepadaku.
“Saya minta tolong kamu konsen ke depan sini. Atau kamu akan saya keluarkan” ancam Pak Jony yang membuat jantungku berdetak kencang. Aku tak mau nama baikku tercoreng di tempat les ini. Karena bagaimanapun, orang-orang sudah mengenalku karena kehebatanku. Bukan di kelas piano saja, tapi di kelas musik lainnya. Akhirnya mataku ku arahkan ke depan sana tanpa melihat ke kiri dan ke kanan lagi. Aku segera cepat-cepat membuang imajinasiku tadi agar hal serupa tak terulang lagi.
******
Seluruh badanku pegal karena 2 jam terduduk di dalam tanpa bangkit dari kursi. Hari ini lesnya berjalan dengan lancar. Walaupun ada sedikit masalah di dalam tadi. Tapi semuanya aman-aman saja karena Pak Jony menerima tanganku ketika aku bersalaman dengannya sehabis les tadi.
Aku berniat untuk cepat-cepat pulang dan istirahat karena mengingat tugas yang menumpuk.
Sore menjelang malam di tempat les masih sangat ramai. Karena kebetulan di tempat les ini banyak murid yang sudah duduk di bangku mahasiswa. Mereka lebih memilih waktu sore karena pagi dan siangnya sibuk di kampus untuk menjalani kewajiban sebagai mahasiswa. Aku sempat melirik ke kiri untuk menyaksikan Baron dan Rangga sedang duel bermain gitar. Kakak beradik itu selalu pamer di hadapan banyak perempuan. Aku dulu sempat memarahi mereka. Karena bagiku, musik bukanlah untuk pamer. Namun bentakanku di hadapan mereka di halau oleh Pak Jony. Katanya pamer itu adalah salah satu cara untuk menumbuhkan percaya diri. Aku sempat tak percaya. Namun aku baru sadar ketika Baron dan Rangga bermain dengan penuh percaya diri ketika tes satu bulan yang lalu.
Aku terus melangkah tanpa henti menuju pintu keluar. Namun langkahku harus tersendat ketika berpapasan dengan kerumunan orang di depan kelas drum. Tampaknya mereka sedang melihat hasil tes. Aku mencoba menerobos kerumunan orang itu.
Tanpa sengaja mataku tertuju kepada seorang wanita yang sedang berdiri di ujung sana. Cukup jauh dari posisku. Namun aku sangat tahu bahwa matanya sedang tertuju kepadaku. Aku mencoba menelaah ciri-ciri wanita itu. 
Astagaaa… sudah tidak salah lagi. Wanita itu adalah orang yang ku temui beberapa hari lalu di perpustakaan. Ku lihat dia sedang memegang tas yang berbentuk biola. Haa?!, apakah isinya biola?, atau yang lebih tepat apakah dia les di tempat ini juga?. Aku sempat terdiam dan membiarkan diriku terkepung di kerumunan orang itu. Saat melihat keningku mulai berkerut, wanita itu lari dan menghilang begitu saja. Ah..! sial!. Sudah di depan mata. Namun aku masih saja terpaku dan terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Padahal aku sudah berjanji untuk mencari tahu wanita berambut sebahu itu. Akan tetapi kenapa pikiran dan tubuhku seperti membeku?. Rasa sesal tak ada duanya melanda hingga malamnya sebelum aku tidur.
Aku sangat kesal karena keputusanku tadi. Aku ingin menyalahkan tindakan pengecutku tadi. Tapi apakah aku harus menyalahkan diriku sendiri?.
Saat aku larut dalam sesal, tiba-tiba handphone hitamku berdering, menandakan ada sebuah pesan. Dengan cekatan aku langsung meraih handphone-ku yang berada di bawah bantal. Setelah berhasil menggenggamnya, aku langsung menatap layar handphone-ku. Seperti biasa, hampir setiap malam selalu ada SMS dari tetanggaku yang sekaligus ku anggap sebagai sahabat terbaik.
“Hoy, lagi ngapain kamu, Faris?” tanyanya. 
“Lagi tiduran.” Jawabku singkat.
“Oh. yaudah. Kamu tidur aja, jangan lupa besok pagi jemput aku lagi” katanya.
“Oke, Bu Sabrina.” Jawabku.
“Thanks. Good night.” Balasnya mengakhiri obrolan.
Hari ini lumayan melelahkan. Tapi semuanya ku lewati dengan santai namun tetap fokus. Ibarat lenturnya jemariku yang bergerak dengan mulus di atas piano.

Lima

“Assalamualaikum” aku memasuki rumah.
Seperti biasa, tak ada yang menjawab salamku. Para pembantu di rumah sibuk dengan pekerjaan mereka. Sedangkan ayahku akan pulang malam hari karena sibuk di kantor. Ayahku saat ini bekerja di sebuah perusahaan yang lumayan besar, bergerak dalam bidang seni. Salah satu produk dari perusahaan ayahku yaitu Piano hitam yang di letakan di ruang keluarga.
“Faris” Sapa seorang wanita ketika aku sedang merilekskan badan di sofa.
Aku tahu suara itu. Dia adalah mamaku. Derap langkahnya semakin terdengar menandakan bahwa mamaku semakin dekat. Aku hanya mendongakan kepala dan menatap mamaku lalu segera kembali dalam posisiku tadi.
“Dateng jam brapa, ma?” tanyaku.
Mamaku duduk tepat di depanku “jam 2 tadi” jawab mamaku, “mana kunci motor kamu?” tanya mamaku.
Aku kebingungan. Ada angin apa tiba-tiba mama menanyakan hal itu?. Aku hanya memandangi mamaku tanpa menjawab pertanyaannya.
“Ayo mana?” tanyaku mamaku lagi. Kali ini sedikit memaksa.
“buat apa, ma?” tanyaku penasaran.
“Kamu nggak pake itu lagi.” Jawab mamaku, “mama udah beliin mobil. Tuh di luar” lanjut mamaku yang sontak membuatku terkejut.
Kejadian ini adalah surprise bagiku. Tapi jika menelaah tingkah mamaku, mungkin ini adalah tanda ucapan maafnya karena sudah lalai menjadi Ibu yang selalu hadir untuk.
Aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dengan pelan, aku melangkah keluar untuk melihat mobil baruku.
Astaga!!!. Aku sangat terkejut ketika melihat mobil merah dengan sentuhan hitam itu. Mobil yang seperti itu hanya bisa ku lihat lewat TV. Namun kali ini hadir di hadapanku. Mobil sport yang selama ini aku idam-idamkan itu dibeli di Amerika. Aku tak tahu harganya, namun tanpa berpikir panjang, aku segera menaikinya. Yang terpikir dalam benakku saat ini adalah mengajak Sabrina jalan-jalan keliling kompleks.
“Tiit tiit” suara klakson itu terdengar sangat kencang.
Wanita itu keluar dan memperhatikan mobil baruku. Aku sama sekali tidak menampakkan diri sekalipun dia sudah berada tepat di pagar dan mengambil ancang-ancang untuk keluar.
“Siapa ya?” tanya terdengar sayup-sayup.
Aku pun membuka kaca dengan perlahan dan menatapnya layaknya orang sombong. Ku lihat wajahnya terkejut dan seakan tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
“Ayo masuk” ajakku. Dia pun melangkah sembari terperangah.
“Ini mobil kamu?” tanyanya ketika sudah terduduk di dalam mobil.
“Iya. Hadiah dari mamaku” Aku melirik ke arahnya.
Aku dan dia akhirnya menikmat suasana sore yang temaram dengan berkeliling komplek. Mulai dari blok A, sampai dengan blok P ku jajaki dengan mobil baruku ini.
*********
BAYANGAN YANG INDAH…
Sebuah lagu yang ku tulis di sebuah kamar yang berwarna  putih dengan berbagai poster musisi dunia. Seperti Bon Jovi, Grup Band Cold Play, Westlife, dan pianis dunia yang bernama Ludwig Van Beethoven. Merekalah yang menginspirasiku untuk terus bermimpi menjadi musisi sekaligus penulis lagu. Malam ini, dengan seriusnya aku menggariskan pulpen di atas kertas. Menuliskan sebuah lagu tentang wanita itu.
“Menggerutu mencari wangi rambutmu, menelaah senyummu. Namun kilaumu hanya beredar sepintas.” Sekilas siratan imajinasiku yang ku tulis dalam sebuah lagu.
Dalam konsentrasiku menulis lagu, terlintas pikiran yang menentang niatku. Buat apa aku melakukan hal yang fana hanya karena wanita misterius itu?, bukankah wanita itu seperti angin saja?. Mending menonton atau memainkan jemari di atas piano hitam kepunyaanku. Karena ini bukanlah kehendak. Melainkan hanya egoku saja. Apakah aku bodoh?, tapi bagaimana bisa aku tidak melakukan pengorbanan demi membayar semua rasa penasaranku?.
Mungkin kamarku bukanlah tempat yang tepat. Meski waktu sudah menunjukan pukul Sembilan, aku masih saja berjalan keluar kamar dan meninggalkan rumah lalu berjalan ke arah bukit di belakang rumah. Ilalang yang tinggi tak dapat menghalangi pandanganku karena cahaya bulan begitu binar.
Dari kejauhan ku melihat sosok wanita yang rambutnya menari dengan indah di terpa angin malam. Aku tak tahu siapa itu. Namun jika melihat dari baju yang dia pakai, tampaknya itu Sabrina. Sedang apa malam-malam begini di tempat ini sendirian?, kalaupun ingin kemari di saat malam, pasti dia mengajakku terlebih dahulu.
“Sinar bulannya indah ya?” Suaraku terdengar pelan karena hempasan angin malam.
“Kok nggak ngasih tahu kalau mau kemari?” tanyanya ketika aku berdiri tepat di belakangnya yang sedang terduduk.
Aku melepaskan jaket hitamku dan memakaikannya ke kedua bahunya. “Emangnya harus lapor ya?, bukannya ini bukit ini berada di belakang rumahku?” tanyaku tanpa jeda.
“Kan di belakang rumahku juga” jawabnya menatap wajahku.
Aku pun mengambil posisi duduk disampingnya. Pandanganku mulai  fokus lagi di lagu yang belum selesai ku tulis. Imajinasiku sedikit lepas ketika terkena sinar bulan.
“Kamu lagi tulis apa?” tanyanya.
“Lagu” jawabku singkat tanpa memandanginya.
“Bayangan yang indah… aneh judulnya. Emangnya tentang apa?” tanyanya lagi keheranan.
Aku memalingkan pandangan ke arahnya sembari tersenyum kecil “Ada aja!” jawabku.
“Yeee, hari gini masih pake rahasia-rahasiaan. Udah kuno tahu” ucapnya sedikit sebal.
Aku melempar pandangan kedepan, “Ini tentang wanita itu.” jawabku.
Matanya terbelalak.“Wanita siapa?” tanyanya menatapku penasaran.
“Aku pun belum tahu dia itu siapa. Yang pasti, dimana pun aku berada, entah sengaja atau tidak, dia selalu ada ditempat yang sama.” Jawabku, senyum kecil masih saja awet di wajahku.
“Cielah. Mungkin itu penggemar rahasia kamu kali.” Sabrina mencoba menerkah.
Aku mengerling ke arahnya dan melempar senyuman kecil.
Ini adalah kali pertamaku mengangkat cerita tentang wanita misterius itu. Entah dia itu siapa. Namun aku selalu terpesona ketika melihat wanita itu. Andaikan wanita itu tidak lari-larian seperti kemarin, mungkin aku bisa mengenalnya dan menyimpan kata demi kata yang diucapkan wanita itu dalam memoriku.
Enam
Manado pagi hari. Matahari sudah muncul dengan sempurna. Langit di bagian timur seperti dibalut kapas yang berwarna putih dihiasi warna kemerah-merahan.
Suara suling dengan irama sunda mulai dimainkan tetangga. Sesekali, suara ayam terdengar sayup-sayup. Angin pagi mulai membawa tanda bahwa jantung hari pun kini berdetak.
Anak-anak yang memakai seragam SD mulai melangkah dengan penuh keceriaan. Melewati setiap blok dan suara mereka terdengar lumayan jelas. Mereka selalu berbaris dengan tertib seperti gerbong kereta dan menyapa setiap orang yang dijumpai.
“Pagi, Kak” sapaan mereka akhirnya sampai kepadaku yang sedang duduk diteras rumah.
Tak lupa, para penghuni perumahan mulai memanaskan motor dan mobil mereka. Ada pula yang sudah siap dan segera tancap gas untuk pergi beraktifitas.
Sungguh pemandangan pagi yang luar biasa.
Sabrina suka sekali menikmati pemandangan seperti ini setiap berangkat ke kampus. Itulah sebabnya Sabrina sering bangun pagi untuk memandangi suasana di pagi hari.
Aku sempat melirik ke arah rumahnya. Ku lihat dia baru saja akan mengambil ancang-ancang untuk santai dan menyaksikan keceriaan di pagi ini.
Jam mulai menunjukan pukul 5.45. Tidak lama lagi, aku akan segera beranjak dari tempat ini untuk segera pergi ke kampus. Hari ini mungkin akan luar biasa. Mengingat hari ini adalah hari pertama OSPEK di kampusku.
Aku dan Sabrina adalah pengurus Organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan. Atau biasa disingkat HIMAJU. Organisasi ini merupakan pengerat komunikasi antar jurusan. Jika di bangku SMA kita semua mengenal OSIS. Maka di Universitas Samratulangi Manado ada yang namanya HIMAJU.
********
Azki berdiri di sampingku sambil menyisir rambutnya yang berdiri seperti duri landak dengan jari-jarinya.
“Lho liat mereka nggak?” tanya Azki tepat di telingaku.
“Belom” responku singkat. Aku berdiri dengan tegak sambil memperhatikan gerbang utama kampus. “kalo anak-anak baru itu udah pada datang, lho mesti ngeluarin seluruh kemampuan lho buat bikin meresa semua ketakutan” ujarku bak perwira yang sedang memerintah anak buahnya. Padahal dia adalah ketuanya.
“Iya, gue tahu” jawabnya singkat.
Jam sudah menunjukan pukul 7 pagi. Namun para Mahasiswa baru itu belum saja muncul. Padahal seluruh pengurus HIMAJU sudah kumpul sejak 6.30 tadi dengan semangat 45.
“Tuh mereka” Ucap Sabrina sembari menunjuk ke arah gerbang.
Para Mahasiswa baru itu berjalan ke arah kampus dengan wajah murung. Mereka mungkin sudah tahu tentang suasana OSPEK. Begitu menguras keringat.
Beberapa pengurus HIMAJU langsung mengambil posisi di pos masing-masing. Ada yang berlari ke dalam ruangan materi, ada yang standby di tempat absen, ada yang sudah siap-siap di UKS. Ada juga yang bertahan di depan gerbang untuk memimpin para mahasiswa baru masuk ke dalam kampus.
“Semuanya jalan kodok dengan kedua tangan dikepala” teriak Sabrina. Para mahasiswa baru itu langsung menuruti perintahnya.
Aku hanya terdiam dan menyaksikan suasana dipagi itu. Sabrina hari ini cukup galak. Baru di depan gerbang, sudah 5 orang yang dibentaknya. Astaga!, entah kenapa pagi ini dia begitu galak. Atau mungkin dia sedang datang bulan?.
“Hey, kamu jalannya kayak siput. Lebih cepat lagi!” bentakan Sabrina terdengar hingga ke telingaku.
Aku pun melirik ke asal suara itu. Aku memperhatikan orang yang dia bentak.
Apa?, mungkin ada yang salah dengan mataku.  Wanita yang selama ini ku anggap orang yang misterius ada di sekitarku. Dan aku seakan tak percaya ketika melihat wanita berambut sebahu itu menggunakan pakaian yang sama dengan para Mahasiswa baru. Apakah dia mahasiswa baru?. Pertanyaan itu tak bisa ku jawab. Lagi-lagi aku hanya terpaku ketika melihat wanita itu. Sekitar 1 menit, baru aku membuka langkah menuju wanita itu.
“Brin. Dialah wanita yang ku ceritakan kemarin.” Jawabku tanpa berbasa-basi lagi. Perkataanku sudah cukup membuat segala bentakan Sabrina kepada wanita itu meredah.
“Astaga! Faris, aku minta maaf. Aku nggak tahu sama sekali” jawabnya.
“Iya, nggak apa-apa. Aku tahu kamu hanya ingin professional demi kesuksesan OSPEK kita. Aku tahu kamu orangnya nggak segalak ini.” Ucapku.
Pandanganku langsung tertujuh kepada wanita itu. “Siapa nama kamu?” tanyaku.
Wanita itu terus saja menunduk. “Inka Arestya” jawabnya dengan nada pelan tanpa memandangiku
Sungguh indah ciptaan Tuhan. Wajah wanita ini langsung masuk ke dalam otakku. Aku sempat terperanga ketika menatap wajah Inka.
“Kenapa kamu ada di kampus beberapa hari yang lalu?” tanyaku bak detektif.
Dia masih saja menundukan kepala.”Aku lagi urus administrasi, kak” jawabnya, sungguh lugu wanita ini.
“Jika kamu mahasiswa baru, kenapa beberapa hari yang lalu kamu ada di perpustakaan, sedangkan masuk ke perpustakaan harus ada Kartu Perpustakaan” jawabku. Kali ini dengan nada yang sedikit naik. Karena bagaimana pun, ini adalah OSPEK. Tidak pernah mengenal siapa, seluruh Mahasiswa baru harus di perlakuka secara merata tanpa ada yang di beda-bedakan.
“Papaku Dosen, kak. Aku pergi bareng papa aku. Jadi aku bisa masuk” jawabnya dengan nada pelan.
“Oh, ya?, Papa kamu siapa?” tanyaku penasaran.
“Pak Darmawan.” Jawabnya singkat.
Mataku terbelalak ketika mendengar jawabannya tadi. Pak Darmawan adalah guru pembimbingku. Apakah mungkin ini akan menjadi penghalangku untuk bisa dekat dengan Inka?. Ahh!, kenapa harus serumit ini?
“Oh” jawabanku seolah-olah cuek dan tidak memperhatikan jawabannya tadi. “kalau gitu, cepat masuk ke kampus. 
Akhirnya dia berjalan sedikit cepat melintasi gerbang. Dan sosok Inka akhirnya menghilang dibelokan dekat pos absen. 
Ku lihat Sabrina hanya terdiam “Kamu jangan terlalu galak. Entar kamu bakalan di cap senior tergalak” ucapku menatapnya serius. Sabrina hanya menatapku tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu berjalan ke dalam kampus.
*******
Auditorium di siang ini begitu riuh. Sungguh sangat ribut. Bentakan demi bentakan silih berganti keluar dari mulut para senior. Mataku langsung terbuka lebar ketika menyadari bahwa seluruh mahasiswa baru tidak akan luput dari bentakan-bentakan itu. Aku pun langsung mencari keberadaan Inka. Ratusan atau bahkan ribuan kepala yang ku jumpai belum bisa memberikan isyarat dimana keberadaan wanita itu. 
“Kenapa kamu diam saja?! haaa!?” suara itu terdengar sangat keras akan tetapi asal suara itu tak dapat ku lihat.
Aku terus mencari hingga langkahku terhenti menyaksikan Azki sedang memarahi Inka. Dia hanya bisa tertunduk lesu dan memakan semua bentakan itu. Aku sungguh tak tega melihat adegan itu. Meskipun Azki adalah Ketua Panitia OSPEK, aku memberanikan diri untuk menghentikan semua bentakan yang menghujam wanita lugu itu. Aku melirik ke arah kiriku. Yang ku dapat hanyalah seorang Mahasiswa baru yang tingginya hampir sama denganku. Aku pun menariknya dan mengajaknya dengan paksa menuju Azki.
“Bro, dia susah di bilangin. Tolong lho urus” ucapku seolah-olah pria yang ku bawa melakukan kesalahan. Padahal sebenarnya tidak. Aku hanya ingin menjadikannya sebagai pengalih perhatian agar Azki melupakan Inka.
“Lho urus dia” pinta Azki.
Aku pun menarik tangan Inka dan mengajaknya di salah satu sudut auditorium.
“Kamu nggak apa-apakan?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“Iya, kak, nggak apa-apa” jawabnya sedikit mendongakan kepalanya
Aku memegang kedua bahunya “Ya sudah, kamu balik lagi ke tempat duduk kamu. Aku bakalan ngawasin kamu” ucapku.
Dia hanya mengangguk sembari melempar senyum kecil ke arahku dan segera berlalu kembali ke tempatnya. Setelah ia menghilang dari hadapanku, aku mendapati Sabrina yang sedang memperhatikanku dari kejauhan. Ekspresi sebal tergambar jelas dari raut wajahnya. Mungkin dia tidak suka kalau aku menganak emaskan Inka. Walaupun ini Ospek, Semua lelaki di tempat ini pasti akan melakukan hal yang sama apabila mendapati orang yang mereka kagumi sedang di bully.
********
Agak bergeser dari pagi, kini sore hari pun tiba. Namun kemerahan langit tak kentara karena langit yang mendung serta rintik-rintik hujan jatuh ke bumi. Hari OSPEK akhirnya selesai. Sembari melangkah, aku merapikan seragam Almamaterku. Tak lupa aku berpamitan kepada seluruh panita. Sejurus kemudian, aku langsung berjalan ke mobil tanpa memikirkan apapun.
Baru beberapa saat mobilku berjalan, aku bertemu dengan Inka. Ku lihat sangat kedinginan. Jaket yang ia gunakan semakin dirapatkan karena hembusan angin yang dingin menerpanya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyambanginya.
Aku menurunkan kaca mobilku “Kok kamu masih disini?” tanyaku.
“Aku lagi nungguin Papa aku” jawabnya sambil menggesek-gesekan kedua tangannya.
Ku lihat bibirnya mulai pucat. Itu tanda ia tak bisa lebih lama lagi menunggu di tempat ini.
“Sekarang kamu naik. Bilang sama papa kamu, kamu udah pulang duluan sama teman-teman kamu.” Ajakku.
Wanita itu hanya diam saja tanpa merespon ucapanku. Mungkin dia malu. Tapi sudah pasti aku tak akan menghiraukan rasa malunya itu. Aku keluar dari dalam mobil dan berjalan ke arahnya.
“Kamu bakalan sakit kalau lebih lama duduk disini” ucapku ketika menjajari posisinya. 
“Tapi, kak….”
“Udah, cepat masuk.” Aku memaksanya.
Dia hanya diam saja sambil terus menundukan kepalanya. 
Mau berapa lama lagi berdebat seperti ini. Aku memang tidak suka memaksa, tapi jika melihat kondisnya yang sangat pucat, mau tidak mau aku menuntunnya masuk ke dalam mobil. Benar saja, dia bukannya tidak mau, akan tetapi hanya malu. 
Dalam perjalanan aku sempat mengobrol banyak dengannya. Menanyakan umurnya, dan SMA-nya dulu. Ternyata dia pernah bersekolah di sekolah kejuruan jurusan keperawatan. Namun wajahnya sama sekali tidak menampakan kalau dia seorang perawat. Benar saja, dia memang tidak pernah bercita-cita menjadi perawat. Dia hanya mengikuti kemauan mamanya untuk bersekolah di SMK jurusan keperawatan. Ketika mengobrol tentang cita-cita, aku baru ingat pertanyaan yang ingin ku tanyakan kepadanya. Tanpa malu-malu lagi, aku langsung menanyakan hal tersebut.
“Kamu ngapain ada di tempat les musik minggu lalu?” tanyaku sesekali melirik ke arahnya.
“Aku les disitu” jawabanya yang sontak membuatku terkejut. Sudah tidak salah lagi tebakanku.
“Kok hanya kali itu kita ketemuan?, apa kamu murid baru?” tanyaku tanpa jeda sembari fokus ke jalanan.
“Nggak kok. Minggu depan sudah genap 5 bulan. Eh, nggak, udah 6 bulan. Jadi udah lumayan lama sih.” Jawabnya sambil menghitung lewat jarinya. “Aku sebenarnya udah sering ketemu kakak. Tapi kakak aja yang nggak pernah liat aku kali” lanjutnya tertawa kecil. Sungguh polos wanita ini. Dan sungguh sangat manis. Suaranya pun sangat nyaman di telingaku.

Bersambung....

Kiss The Rain Part 1



Kiss The Rain Part 1


BAB 1
                  Nadia adalah anak kedua dari dua bersaudara, lebih tepatnya Nadia punya kembaran yang bernama Nadira. Namun Nadia dan Kakaknya terpisah bertahun-tahun yang lalu. Ia dan Ibunya mungkin adalah orang yang beruntung karena bisa bertahan hidup tanpa seorang Ayah. Penyebab Nadia dan Ibunya bertahan hidup sendiri tanpa seorang Ayah karena kejadian yang terjadi 12 tahun yang lalu saat Nadia masih berumur 6 tahun, Ibu dan Ayahnya memutuskan berpisah karena keharmonisan keluarga mulai goyah ketika ekonomi menjadi penyebab utama. Pada saat itu terjadi pertengkaran hebat, perabot-perabot di rumah banyak yang pecah karena pertengkaran itu. Nadia dan Kakaknya hanya bisa terdiam dan mengurung diri didalam kamar sambil berpelukkan meneteskan airmata berharap semuanya cepat berlalu.
“Mas, aku udah nggak tahan dengan kemiskinan ini!!!, aku nggak mau hidup susah!!!” Suara ibu yang terdengar dari ruang tamu.
“Emangnya kamu kira aku juga mau hidup kaya gini!!!, siang dan malam aku bekerja biar bisa hidupin keluarga ini, aku udah berusaha sekuat tenaga, tapi dasar kamu wanita yang tidak punya etikad sabar” ujar Ayahnya dengan suara yang keras.
“Apa mas?!, bertahun-tahun aku sabar hadepin kemiskinan kita. Sudah cukup kesabaran aku. Dulu kamu janjiin kekayaan sama aku, tapi apa?!, setiap hari keluarga kita makan tidak pernah kenyang” balas Ibu saudara kembar itu.
“Terus sekarang, mau kamu apa?!, kita pisah?, okey, kita bawa masing-masing satu anak kita”
Mendengar perkataan Ayahnya, Nadia dan Nadira menangis sekencang-kencangnya berharap bahwa Ibu dan Ayah mereka sadar bahwa yang akan menjadi korban adalah mereka.
“Okey, jika itu jalan yang paling terbaik dan tidak menyusahkanku, Nadia akan bersamaku dirumah ini, dan kamu harus angkat kaki dari rumah ini karena rumah ini adalah warisan dari Ibuku.” ujar Ibu.
“Okey kalau begitu, aku akan membawa Nadira dan aku akan pergi dari rumah busuk ini” Jawab Ayahnya sembari menghentakan meja dan berjalan ke arah kamar.
Tidak lama kemudian Ayah mereka masuk ke kamar dan menarik Nadira keluar. Namun Nadia tidak tinggal diam. Ia mencoba menahan niat Ayahnya dengan cara menarik bajunya. Namun apalah daya, pada saat itu Nadia hanyalah seorang anak perempuan yang masih berumur 6 tahun. Dengan penuh isak tangis, itulah terakhir kali Nadia melihat saudara kembarnya itu. Nadira meninggalkan boneka kesayangannya yang sampai hari ini selalu Nadia rawat dengan penuh rasa cinta. Wajah Nadia yang sangat mirip dengan Nadira, selalu membuat Nadia teringat pada dirinya ketika Ia menghadap kaca. Bertahun-tahun Ia mencoba mencari informasi tentang keberadaan saudara kembarnya itu. Ia tak pernah peduli berapa biaya yang harus dipertaruhkan, Ia juga tidak peduli seberapa besar energi yang harus ia keluarkan. Yang terlintas dalam pikiranya saat ini hanya menemukan saudara kembarnya dan bisa bertemu serta hidup bersama lagi.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Waktu sudah menunjukan 06.30, langit belum begitu terang. Nadia yang sedari tadi terlihat sedang menunggu angkot tampak gelisah, karena sudah setengah jam menunggu belum menemukan angkot yang kosong. Kini Nadia tumbuh menjadi wanita yang cantik, rambutnya panjang dan kulitnya putih. Ia juga tumbuh sebagai wanita yang pekerja keras dan tidak pernah mengenal kata malas. Saat ini Nadia kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di manado dengan pilihan jurusan seni musik. Sambil kuliah Ia juga bekerja sebagai guru private biola setiap hari minggu dan Ia juga bekerja di sebuah restoran demi meringankan beban Ibunya. Pekerjaannya di restoran itu cukup mudah, yaitu memasukan uang kedalam mesin uang. Tapi jangan salah, itu sebenarnya adalah pekerjaan yang sangat memerlukan kejujuran. Di restoran itu, Nadia mempunyai seorang teman yang bernama Lusy. Dialah teman terbaik Nadia yang selalu menemaninya ketika mencari saudara kembarnya. Setiap harinya juga Nadia selalu memperhatikan setiap pengunjung yang masuk. Banyak sumber yang berkata bahwa mungkin saja saudara kembarnya telah keluar kota dan hidup di kota lain. Namun tidak ada bukti yang kuat untuk menjelaskan semua itu. Yang Ia tahu hanya dunia ini sempit, dan jika Tuhan sudah mengijinkan, pasti Ia bisa bertemu dengan saudara kembarnya, Nadira.
“Pagi Nad, kamu pagi ini kayaknya semangat banget” ujar bosnya yang bernama Erwin.
“Pagi juga pak, kan kerja harus semangat pak” sahut Nadia.
“hm, ya sudah, Saya ke ruangan dulu, jangan lupa bilang sama karyawan yang lain 30 menit lagi saya akan briefing. Setelah briefing, baru restoran di buka.”
“oh siap pak”
Sekilas tentang Erwin, ia dulu se-angkatan dengan Nadia pada saat masih di bangku SMA. Namun ia lebih memilih tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dan melanjutkan usaha ayahnya yang baru meninggal 2 bulan lalu. Bosnya ini berperawakan tampan, putih, tinggi dan tubuhnya sangat proposional. Walaupun hanya tamatan SMA, dia sudah memiliki wawasan yang luas serta berkepribadian yang tegas. Di dalam usahanya, ia melarang setiap pekerja untuk saling jatuh cinta. Kalau berani ketahuan, ia akan memecatnya. Erwin memiliki sifat yang sangat aneh, sifatnya bisa berubah kapan saja. Pagi ini bisa saja ramah, siangnya bisa jadi dia jadi sangat sensitif terhadap pekerjanya.
Tidak lama kemudian, seluruh pekerja sudah datang dan siap-siap menunggu perintah dari Erwin untuk briefing. Mereka semua menuju ke depan ruangannya untuk mendengar instruksinya.
“Pagi semua, tujuan saya mengumpulkan kalian disini karena ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan. Bulan ini terjadi pelonjakan pengunjung, dan tentu saja menghasilkan keuntungan yang besar. Namun ada beberapa yang melakukan komplein kepada beberapa pekerja. Salah satunya Nadia” ujar Erwin.
Pada saat mendegar namanya, Nadia langsung terkejut padahal ia sama sekali tidak merasa berbuat salah.
“Nadia, banyak pengunjung yang bilang, kamu sering tidak berada di pos kamu, karena sudah keasikan bermain biola. Benarkah begitu?:” Tanya Erwin.
“I iy iya Pak, maafin aku Pak” jawab Nadia terbatah-batah.
“tidak masalah, jika permainan biola kamu bagus, besok malam restoran ini akan mengadakan pertunjukan biola. Dan yang menjadi bintangnya adalah Nadia” ujar Erwin.
“Siap Pak, saya tidak akan ngecewain Bapak” jawab Nadia penuh semangat.
Nadia sangat terkejut dengan apa yang diucapkan bosnya. Nadia sangat senang karena ini adalah pertama kalinya Ia turun di pertunjukan dan sebagai bintang utama walaupun hanya di restoran tempat ia bekerja. Namun itu tak menjadi masalah, yang penting Ia akan menunjukan pertunjukan terbaik dan tidak akan mengecewakan bosnya.
Sesampainya dirumah, Nadia langsung memulai latihan. Sedangkan teman-temannya sedang menyusun konsep di restoran untuk pertunjukan besok nanti. Not demi not mulai Ia tulis, Ia berharap, inilah aransemen terbaik yang pernah ia buat. Agar nantinya pertunjukan perdana dalam hidupnya ini penuh kesan.
“Nad, kamu keluar dong. Masa baru pulang kerja langsung tidur, kan belum mandi sama belum makan” ujar ibu dari balik pintu kamar Nadia.
“Ia Ma, aku segera mandi terus ke meja makan”.
Setelah Nadia di meja makan,  terjadilah perbincangan antara Nadia dan ibunya.
“Nad, hubungan kamu sama Bimo gimana?” taya ibunya.
“hubungan apa Ma?, kita temenan doang kok. Lagi pula, mana mungkin Aku suka sama dia” Jawab Nadia dengan ekspresi datar.
Sambil menarik nafas panjang Ibunya melanjutkan percakapan.
“Nad, Bimo itu orangnya baik loh, tiap hari dia jemput kamu anter di tempat kerja sama rumah murid les kamu. Sebenarnya kamu harus menunjukan sikap yang ramah dan positif. Atau jangan-jangan kamu udah punya pacar lagi?” Tanya Ibunya.
“Aduh, untuk saat ini Aku belum mau pikirin soal cinta Ma, Aku mau benar-benar fokus di kuliahku” jawab Nadia dengan nada keki.
“Yah sudah, kalau itu maunya kamu Mama setuju-setuju aja”
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Pagi itu terdengar suara mobil dari luar rumah. Saat itu Nadia dan mamanya sedang berada di meja makan.
“Yaelah, pasti si Bimo, tuh anak kurang kerjaan banget sih” gumam Nadia dalam hati.
“Bentar yah, mama bukain. Cepat habisin sarapan kamu, lalu kamu ke depan” ucap Ibunya.
Dengan jas hitam berdasi biru, Bimo datang menjemput Nadia dengan penuh percaya diri. Dalam hati Nadia, ia tidak ingin dijemput Bimo. Namun karena pinta Ibunya, apa boleh buat, Nadia hanya bisa menurutinya.
“Udah siap berangkat Nad?” Tanya Bimo sembari merekahkan senyum.
“Udah” jawab Nadia dengan singkat sambil menampakkan ekspresi cemberut.
“Okey kalau begitu, tante, kami berangkat dulu yah” pamit Bimo.
“Iya,Hati-hati yang nak”
Dalam perjalanan tak ada yang memulai pembicaraan. Bimo ingin sekali untuk mengatakan sesuatu, namun ia terlihat nampak canggung dengan situasi tersebut. Akhirnya dengan terbatah-batah, ia pun mencoba berbasa-basi memulai pembicaraan.
“Eh, kamu apa kabar Nad?” Tanya Bimo.
“Baik” jawab Nadia dengan singkat.
“Ehm, kamu dari SMA nggak pernah berubah yah, selalu dingin sama aku. Padahal niatku baik loh” ujar Bimo
Nadia tidak merespon ucapan Bimo, ia lebih memilih untuk tetap fokus terhadap partitur aransemen yang dipegangnya.
“Kamu kelihatannya sibuk banget, apa sebentar ada ujian di kampus?” tanya Bimo.
“nggak” jawab Nadia masih dengan nada yang sama.
“Em kalau gitu apa dong?” Tanya bimo
“Bukan urusan kamu!” jawab Nadia, ketus.
Tanpa Nadia sadari, tangan kiri Bimo memegang stir mobil, dan tangan kanannya mengirimkan SMS ke Stefani, teman kerjanya Nadia. Stefani pun memberitahukan tentang acara pertunjukan sebentar malam.
“Ehm, yaudah kalau kamu nggak mau kasih tahu. Kamu udah sarapan?” Tanya Bimo
“Udah tadi” jawab Nadia.
“Kalau begitu jaga kondisi kamu hari ini yah” ujar Bimo
Nadia menatap Bimo dengan tatapan sinis,
“Apa maksud kamu?” Tanya Nadia.
“Eh, enggak. Aku hanya bilang jaga diri kamu, belakangan ini banya terjadi aksi kejahatan di mana-mana” jawab Bimo dengan kaku.
“Hadeh, cerewet kamu dari SMA nggak pernah ilang” ujar Nadia.
“Kamu tuh yang juteknya nggak abis-abis” jawab Bimo.
Mereka pun tersenyum dan saling bertatapan. Bimo semenjak SMA ia sudah sangat tergila-gila kepada Nadia. Tapi karena sifatnya yang agresif itulah yang membuat Nadia tidak menanggapi perhatian yang selama ini sudah dicurahkan Bimo. Keluarga Bimo sudah sangat dekat dengan keluarga Nadia. Apalagi keluarga Bimo sudah memperkerjakan ibu Nadia di perusahaan tekstil yang dimiliki oleh ayah Bimo. Itulah sebab ibunya sangat ingin Nadia membuka hati kepada Bimo agar nantinya segala budi dan kebaikan dari keluarga Bimo bisa terbalaskan.
Akhirnya Nadia sampai ditempat kerjanya. Terlihat dari luar, restoran itu di dekorasi dengan tema romantis. Warna merah mudah mendominasi seisi restoran. Entah apa yang dipikirkan oleh Erwin, namun yang pasti semua ini ia lakukan untuk Nadia dan demi kemajuan Restorannya.
“Pagi pak” salam Nadia ketika tiba di restoran.
“loh, kok kamu datang sih?” Tanya Erwin kebingungan.
“Kan saya harus kerja pak” jawab Nadia.
“Aduh, kita bukanya nanti jam dinner, sebenarnya sekarang kamu fokus latihan buat pertunjukan semalam” ujar Erwin.
“Oh gitu yah pak, eh gini aja pak, saya Latihan disini aja ya pak, biar saya bisa menyatu dengan suasana. Supaya entar malam saya nggak terlalu gugup” jelas Nadia.
“Ya sudah kalau begitu”
Nadia akhirnya memulai latihannya. Para pekerja lainnya yang sedang fokus mendekorasi tampak menikmati alunan melodi yang dimainkan Nadia. Bimo dari luar restoran tampak mengamati Nadia. Ia sudah mendapatkan info dari Stefani dan malam ini ia akan hadir.
Waktu yang di tunggu Nadia akhirnya tiba. Malam itu para pengunjung mulai memenuhi seisi restoran. Sembari menikmati makanan, mereka nampak memperhatikan dekorasi yang begitu menyilaukan mata. Pada malam itu, Bimo juga datang didampingi adiknya yang bernama Celine atau biasa di sapa Elin.
"wah kak, ini kan restorannya Erwin, kebetulan banget nih kak. Eh tapi, Kak, kita kesini mau ngapain yah?, kayaknya ada acara spesial." Tanya Elin.
"Aku mau ajak kamu lihat pertunjukan biola" jawab Bimo.
"Ya ampun kak, sejak kapan kakak suka musik?" Tanya Elin lagi.
"Sejak kakak kenal Nadia. Entah mengapa, tiap malam kakak selalu mikirin dia, dan sifatnya yang jutek kepada kakak, membuat kakak semakin penasaran sama dia. Lagi pula dia cantik kok. Jadi kamu sebagai adik harus dukung apa yang kakak idam-idamkan." jawab Bimo.
"Astaga, kak, kapan kakak bisa jauhin wanita kampungan itu?!, toh dia nggak pernah peduli sama kakak, kakak aja yang ke ge'eran" ujar Elin, ketus.
"Apa kamu bilang?!, kamu kalau jadi adik tolong hormati keputusan kakak, dan jangan rendahin Nadia di depan kakak, karena apa yang kamu bilang, nggak akan pernah merubah perasaan kakak ke Nadia" jawab bimo, marah.
"Ahh!, yaudah. Nggak usah di bahas"
Tidak lama kemudian. Erwin dan anak buahnya sudah siap untuk memulai pertunjukkan. Semua mata tertuju kepada Nadia yang pada malam itu memakai gaun merah. Malam itu ia terlihat sangat cantik. Ini semua berkat Erwin yang sudah menyewa penata rias untuk mendandani Nadia.
“Okey guys, malam ini kita akan buat pertunjukan yang luar biasa. Dan saya harap, semua sudah siap dengan tugasnya masing-masing termasuk lighting. Lighting akan sangat mendukug pertunjukan Nadia pada malam ini. Dan untuk Nadia, berikan yang terbaik. Buat mereka terkagum-kagum akan pertunjukanmu” ucap Erwin mengarahkan para pekerjanya.
“Siap pak, saya berusaha semaksimal mungkin” jawab Nadia.
Akhirnya pertunjukan akan segera dimulai. Nadia yang sebagai bintang utama sedang melakukan pemanasan dibelakang panggung. Tidak lama kemudian nama Nadia dipanggil naik ke atas panggung untuk menunjukan aksinya.
Ratusan mata tertuju kepada Nadia. Ia mencoba menghilangkan segala kegugupannya dan memulai pertunjukannya. Alunan melodi yang dimainkan Nadia sungguh menyentuh para pengunjung. Nada-nada yang berbunyi, seakan sampai ke hati para pendengar pada malam itu. Instrumen yang indah menghantarkan kesejukan ke telinga orang-orang di tempat itu. Kali ini Nadia benar-benar menunjukan sesuatu yang terbaik dari apa yang ia pelajari dari fakultas seni. Ia berdiri ibarat seorang maestro yang memukai semua orang. Tidak lama kemudian, Nadia selesai dengan pertunjukannya diikuti dengan tepuk tangan dan sorak-soray penonton di tempat itu. Semua orang sangat menikmati apa yang disajikan oleh Nadia. Pada saat Nadia turun dari panggung, ada seorang pria datang menghampiri Nadia.
“Pertunjukan kamu sungguh luar biasa, eh kalau boleh saya tahu kamu bekerja dimana?” Tanya pria itu.
“Saya bekerja di restoran ini, ada apa yah pak?” Nadia balik bertanya.
“Sayang sekali, saya ingin mengajak kamu untuk menjadi guru seni musik di yayasan Citra Dunia” ajak Pria itu.
“eh, tapi kalau boleh saya tahu bapak siapa yah?” Tanya Nadia.
“Perkenalkan, nama saya Ridwan. Saya adalah kepala sekolah di yayasan Citra Dunia. Eh soal ajakan tadi, silahkan kamu pikir-pikir dulu. Saya dan pemilik yayasan sangat membutuhkan seorang guru seni musik. Karena belakangan ini, sangat sulit untuk mencari seorang guru seni musik yang ahli di bidangnya. Saya sangat yakin, dengan permainanmu tadi berarti kamu tidak hanya pandai dalam praktek, akan tetapi pintar juga dalam hal teori. Saya tunggu jawaban kamu secepatnya” ujar bapak  itu sembari memberikan kartu namanya.
“Baik pak, saya bakalan pertimbangkan dulu” jawab Nadia.
Nadia cukup kaget dengan tawaran tadi. Sejak dahulu ia sangat mencintai musik. Namun melalui pekerjaan di restoran itulah yang meringankan beban keluarganya sejak ia selesai mengenyam bangku SMA. Ia juga merasa berat untuk berpisah dengan rekan-rekan kerjanya di restoran itu, tanpa terkecuali Erwin, bosnya yang selalu membantunya di saat kesusahan.
Beberapa hari berlalu. Akhirnya Nadia berani angkat bicara soal tawaran itu kepada bosnya. Ia pun mengetuk pintu ruangan Erwin. Dan Erwin mempersilahkan Ia masuk.
“silahkan duduk. Ada perlu Apa Nadia?” Tanya Erwin.
“Saya ingin bilang sesuatu pak” jawab Nadia dengan ekspresi gugup.
“Boleh, silahkan saja.”
“Kemarin, seusai  pertunjukan, ada seseorang yang mengatasnamakan sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, menawarkan saya untuk menjadi guru seni musik di yayasan itu. Bagaimana menurut pendapat bapak?” terang Nadia.
“Terus kuliah kamu gimana?” Tanya Erwin.
“Saya kan masuk sore pak” jawab Nadia.
“Hm, gitu yah. Gini yah Nad, Kamu adalah salah satu karyawan yang sangat ulet dan begitu luar biasa. Sebenarnya, restoran ini sangat membutuhkan orang seperti kamu. Namun, saya mengenal kamu sedari SMA, dan kamu itu sangat mencintai musik. Kamu selalu bermimpi menjadi seorang musisi yang hebat. Tapi ini adalah pilihan yang berat untuk saya. Nad, jika itu bisa membesarkan nama kamu, saya akan setujui itu. Atau gini aja, jika kamu memang butuh uang untuk biayain kuliah kamu. Jika memang kamu mau meninggalkan restoran ini, saya akan perbolehkan” ujar Erwin.
“Terima kasih banyak pak, saya nggak akan lupain kebaikan bapak”. Jawab Nadia.
“Eh, tapi kamu berhenti kerja di sini pada bulan berikutnya yah. Jadi katakan sama orang yang memberi tawaran ke kamu bahwa kamu akan mengajar pada bulan berikutnya” lanjut Erwin.
“Iya pak, nanti saya katakan, kalau gitu, saya permisi dulu pak”
“Eh, Nad, ada yang pengen saya omongin sama kamu. Tapi nggak disini, kebetulan besok libur. Jadi malamnya saya jemput ke rumah kamu untuk pergi ke suatu tempat untuk membicarakan sesuatu. Boleh nggak?” ajak Erwin.
“Oh iya pak”
Nadia bingung dengan maksud dan tujuan dari Erwin. Tapi bagi dirinya, mungkin ajakan tadi hanya sebatas bisnis di restoran.
Sesampainya dirumah, Nadia langsung mengerjakan tugas kuliahnya. Di tengah-tengah kegiatannya itu, ia kembali teringat saudara kembarnya itu. Bayang-bayang 12 tahun lalu masih saja terngiang di pikirannya. Terlintas dipikirannya apabila perpisahan keluarganya tidak terjadi, mungkin Ia dan Nadira bisa hidup bersama dan bahagia dalam satu keluarga yang utuh. Nadia pun selalu membayangkan wajah Nadira, apakah wajahnya masih mirip dengannya setelah sekian lama terpisah, atau sudah berubah karena pengaruh lingkungan dan pergaulan yang berbeda. Ia hanya bisa mencari, berharap, dan berdoa agar Ia bisa menemukan saudara kembarnya itu. Di tengah-tengah khayalnya, ibunya menghampirinya.
“Nad, ada yang ingin Mama omongin sama kamu” ucap Ibunya.
“Apa ma?” Tanya Nadia sembari bangkit dari kursinya.
“Mama tadi lagi ke supermarket buat beli bahan dapur, pas lagi lihat-lihat sayuran, mama melihat seorang wanita yang mirip banget sama kamu. Mama sangat kaget, mama berharap itu adalah Nadira. Dan mama mencoba mengejarnya. Tapi wanita itu sudah lebih dulu masuk ke mobil yang berwarna putih” ujar Ibunya.
“Sudah nggak salah lagi, itu pasti Nadira. Berarti dia masih tinggal di kota ini. Ma, aku akan cari dia sampai ketemu. Ini bukan soal hubungan mama sama papa, tapi ini mengenai sepasang anak kembar yang terpisah secara paksa dan ingin bersatu kembali. Jika Tuhan mengijinkan, Nadia akan buat keluarga kita kembali seperti 12 tahun lalu” ujar Nadia sambil berkaca-kaca.
Semangat Nadia untuk mencari saudara kembarnya itu tidak pernah lepas dari doa seorang ibu dan teman-temannya. Setiap sudut kota sudah ia lewati untuk mencari tanda-tanda kehadiran Nadira. Akan tetapi usahanya yang sudah bertahun-tahun tidak membuahkan hasil. Nadia sudah berusaha untuk mencari saudara kembarnya melalui berbagai media sosial. Akan tetapi masih saja nihil.
Pada malam harinya Nadia bersiap-siap untuk pergi dengan Erwin. Kata Erwin, Ia harus terlihat cantik karena ada acara spesial yang dibuat Erwin karena keberhasilan pertujukan direstoran beberapa hari yang lalu. Nadia pun menuruti permintaan Erwin. Pada malam itu Nadia menggunakan pakaian yang serba ungu. Tidak lama kemudian, Suara ketukan pintu terdengar. Ibunya langsung cepat-cepat membukanya karena Nadia sudah memberitahukan bahwa bosnya akan datang malam ini.
“Eh, mas Erwin. Silahkan masuk mas” ajak ibu Nadia dengan ramah.
“Iya, makasih tante, Nadianya sudah siap tante?” Tanya Erwin.
“Eh bentar yah, Nadiaaa!” teriak Ibunya dari ruang tamu.
Akhirnya Nadia muncul menampakkan dirinya. Ia begitu cantik dan terlihat sangat anggun. Erwin pun berdiri dan dibuat terperanga oleh kecantikan Nadia. Erwin tidak pernah membayangkan bahwa ada karyawannya yang begitu cantik. Padahal, Pada saat masih SMA, Erwin sama sekali tidak pernah dekat dengan Nadia, akan tetapi hari ini, Erwin sadar bahwa Nadia memang cantik dan baik.
“Kalian hati-hati ya nak”
“Iya tante, saya akan jagain Nadia” jawab Erwin.
Mereka berdua akhirnya pergi ke suatu tempat. Dan ternyata, Erwin sudah menyiapkan sebuah tempat di pinggir pantai yang terletak di salah satu tempat rekreasi. Entah apa yang dipikirkan Erwin, kali ini ingin membuat sebuah kejutan kepada Nadia.
Akhirnya mereka sampai di tempat itu. Angin bertiup perlahan menerpa wajah Nadia dan Erwin. Erwin sudah menyiapkan sebuah meja dilengkapi dekorasi yang begitu romantis. Tentu saja semua ini membuat Nadia terkejut dan sungguh tak menyangkah. Karena Ia tidak pernah mendapatkan hal ini dan Ia hanya menganggap Erwin itu sebagai bosnya yang sangat ia hormati, namun kali ini, Erwin benar-benar membuatnya terpukau.
“Nad, saya nyiapin semua ini karena ada sesuatu yang ingin saya omongin. Tapi tolong jangan marah yah. Eh, Semenjak SMA, saya selalu memperhatikan kamu. Kamu adalah wanita yang selalu menghabiskan waktu untuk dunia musik. Waktu SMA, aku pengen banget buat dekat sama kamu. Tapi kamu terlalu sibuk dengan hobimu itu. Begitu pun ditempat kerja, saya sebagai bosmu harus selalu berwibawa di depan karyawan. Jadi, saya nggak bisa untuk dekat dengan kamu. Tapi malam ini, saya berusaha untuk mengajak kamu ke suasana yang paling damai. Untuk mengungkapkan bahwa saya punya rasa kepada kamu, dan rasa itu adalah cinta” ujar Erwin.
Ucapan Erwin membuat Nadia tidak bisa berkata-kata lagi, ia hanya bisa terdiam akan ucapan tersebut. Karena yang Ia tahu Erwin adalah bosnya yang tentu saja tidak menginginkan wanita dari orang biasa. Tapi apa mau dikata, inilah faktanya. Erwin mengungkapkan perasaannya kepada Nadia.
“Nad, hey, kok kamu diem aja sih” ujar Erwin sembari mengayunkan tangan di depan wajah Nadia.
“Eh, iya pak” 
“maaf kalau saya sudah membuat kamu kaget, tapi semua orang pasti akan melakukan hal ini apabila rasa dihatinya sudah tidak tertahan lagi” ucap Erwin.
“pak, apakah bapak serius dan membutuhkan jawaban dan ucapan bapak tadi?” Tanya Nadia.
“Iya Nad” jawab Erwin dengan lembut.
Nadia menundukkan kepala dan terdiam. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kedepannya. Ada perasaan yang sangat mendesak dan berhubungan denga pekerjaanya di restoran itu. Ia merasa tidak enak apabila harus menolak cinta Erwin, karena bagaimana pun, Erwin adalah pemilik restoran, dan apabila Ia menolak, mungkin ini semua akan berimbas pada pekerjaannya nanti. Walaupun Ia sudah tidak lama lagi akan berhenti bekerja di restoran itu. Ia mencoba mencari bisikan dari hatinya. Tapi hati dan pikirannya malah memberi gambaran tentang perpisahan antara ayah dan ibunya yang terjadi 12 tahun yang lalu. Ada sedikit rasa takut yang terlintas di pikiran Nadia. Ia merasa takut karena bagaimana pun, status sosial antara Ia dan Erwin itu berbeda, dan mungkin saja Erwin akan menyepelekannya karena perbedaan status sosialnya tersebut. Lagi pula, Nadia sama sekali tidak ada perasaan cinta kepada Erwin, dan Nadia juga sama sekali belum ada niat untuk pacaran. Baginya, mengejar mimpi merupakan tujuan utama karena wanita yang berderajat tinggi akan dihormati setiap pria. Sambil membulatkan tekad, Nadia menatap wajah Erwin dan berkata dengan sopan.
“Pak, saya mau minta maaf, tapi saya belum bisa kasih jawabannya sekarang” jawab Nadia dengan penuh rasa gugup.
Erwin pun terdiam dan menampakkan ekspresi kekecewaan. Karena Ia tak menyangkah, pria tampan seperti dirinya di tolak oleh wanita.
“Em, iya Nad, nggak apa-apa kok. Kalo kamu memang belum bisa jawab sekarang, nggak masalah. Saya siap tunggu jawaban kamu. Tapi boleh nggak saya minta sesuatu sama kamu?”
“Apa pak?” Tanya Nadia.
“Seandainya jika kita ketemu dan ngobrol di luar jam kerja, kamu nggak usah panggil saya bos, kamu panggil saya Erwin aja. Dan sebutan bos itu ketika jam kerja saja atau saat kita berdua berada ditengah-tengah karyawan lain” pinta Erwin.
“Iy iya pak, eh, Erwin” jawab Nadia.
Nadia dan Erwin akhirnya menikmati malam dan hembusan angin yang sangat menenangkan batin. Untuk saat ini Nadia belum bisa memberikan jawaban kepada Erwin karena hatinya masih bimbang dan takut apabila langkah yang ia ambil salah. Erwin pun sedikit kecewa, karena ini adalah kali pertama Ia menembak karyawannya sendiri,  dan ia ditolak atau bisa dibilang digantung. Kejadian malam itu pun berakhir dengan damai dan tanpa ada rasa dendam atau apapun yang sejenisnya.
BAB 2
Sore itu Nadia pergi ke kampus bersama Lusy. Di kampus itu memperbolehkan setiap mahasiswanya untuk mengambil waktu kuliah pada sore hari. Namun itu hanya berlaku untuk beberapa fakultas saja. Sesampainya di kampus, Nadia dan Lusy menelusuri koridor dan berpisah di depan gedung utama dan menuju ke kelasnya masing-masing. Setelah menaiki beberapa anak tangga, Nadia bertemu dengan Bimo.
“Hay Nad, mau ke kelas yah, yuk bareng sama aku” ajak Bimo.
“Tunggu, bukannya kamu kuliah pagi?” Tanya Nadia.
“Eh, iya, tapi karena permintaan dari bokap jadi aku ambil kuliah sore” jawab Bimo.
“Aduh, udah deh, kamu jangan banyak alasan, bilang aja kalau kamu lakuin ini karena pengen dekat sama aku” curiga Nadia.
“Eh, eh, eng, enggak….. Em,,, iya deh aku ngaku. Eh tapi , Nad, harus dengan cara apa agar aku bisa dekat sama kamu, segala cara yang ada di otak aku udah aku lakuin. Segala usaha dan perjuangan udah aku tunjukin sama kamu. Tapi apa, kamu masih keras dan nggak mau ramah sama aku. Tolong Nad, aku hanya ingin dekat sama kamu. Beri aku kesempatan” ujar Bimo.
“Aku ada kelas” singkat Nadia sambil berlalu meninggalkan Bimo.
Bimo pun hanya bisa terpaku dengan keadaan yang terjadi saat ini. Ia tak tahu dengan cara apa lagi agar hati Nadia bisa luluh. Ingin sekali ia mengakhiri perjuangannya, akan tetapi cinta di hatinya memaksa untuk tidak mudah menyerah.
Sesampainya di kelas, Nadia menemukan seikat bunga mawar  di bawah kursinya. Tapi tak ada nama pengirim bunga itu.
“Ini pasti kerjaannya Bimo” gumamnya dalam hati.
Ia pun membuang bunga itu di tempat sampah. Semua teman-temannya dikelas memperhatikannya. Teman-temannya bingung, karena bunga itu sangatlah indah dan terlihat mahal, serta yang mengantarkannya adalah pria tampan. Namun tak ada satupun dari mereka untuk memberitahukan ke Nadia. 
Ketika senja hari mulai gelap, Nadia pulang ke rumahnya. Ketika di depan gerbang kampus, Nadia bertemu dengan Erwin.
“Erwin, kok kamu lagi nunggu siapa?” taya Nadia, sedikit bingung.
“Eh, ini, saya nungguin kamu” jawab Erwin.
Erwin memperhatikan tangan Nadia, ia ingin memastikan apakah bunga yang ia letakkan di bawah kursi Nadia berhasil ditemukan dan di simpan olehnya. Dan ternyata Erwin harus kecewa, karena ia tak melihat bunga itu di tangan Nadia.
“Nungguin aku?” Tanya Nadia.
“Iy, iya Nad, yuk saya anterin pulang” ajak Erwin.
“hm, oke deh, Win” jawab Nadia.
Mereka berdua akhirnya pulang bersama. Sudah tidak terlihat tembok pembatas antara bos dan anak buah ketika sedang berada di luar jam kerja. Nadia pun kini mulai nyaman bersama Erwin.
BAB 3
Malam itu Nadia baru saja selesai mengerjakan tugas kuliahnya. Setelah itu, Nadia melangkahkan kaki menuju ruang makan. Ia mencari ibunya namun tadi pagi, ibunya meninggalkan pesan bahwa ibunya akan lembur karena banyak orderan dari tokoh-tokoh. Ketika akan kembali ke kamar, terdengar suara pintu dan motor. Nadia yakin bahwa itu adalah ibunya. Ia pun melangkahkan kaki menuju ke pintu depan. tapi sungguh tak disangkah, ada dua orang yang memakai penutup wajah, menutup mulut Nadia dengan sebuah sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Nadia akhirnya tidak sadarkan diri. Ia dibawah ke suatu tempat yang sangat jauh dari rumahnya. Ketika tersadar, tangannya sudah terikat dan ia disekap dalam ruangan yang begitu pengap da hampir tidak ada penerangan sedikit pun. Nadia tidak tahu dirinya berada dimana. Nadia mencoba berteriak minta tolong, tapi upaya yang Ia lakukan tidak di dengar oleh seorang pun. Setengah jam kemudian, ada seorang wanita dan di temani oleh dua orang pria masuk ke dalam ruangan itu. Wanita itu adalah Elin, adiknya Bimo.
“Elin, kenapa kamu lakuin ini ke aku, salah aku apa?” Tanya Nadia sambil menangis.
“Ha?!, kamu nggak tahu salah kamu apa?, kamu udah ngambil orang yang selama ini gue cinta” jawab Elin sambil menarik rambut Nadia.
“Aku nggak ngerti maksud kamu!”
“Apa?!, kamu nggak ngerti?, betapa bodohnya kamu, kamu jangan pura-pura nggak tahu. Kamu kenal Erwin?, dia adalah pria yang sangat aku cintai,  dan kemarin malam, gue nemuin foto kamu di dalam mobilnya. Gue emang belum jadi pacarnya dia, tapi karena kehadiran kamu, ia udah mulai jauhin gue dan kesempatan gue buat dapetin dia jadi terhalang” ujar Elin. 
“Aku sama Erwin nggak ada hubungan apa-apa, aku sama dia hanya sebatas bos dan karyawan” jelas Nadia dengan penuh isak tangis.
“He!, kamu kira gue percaya gitu aja sama kamu?!, aku bukan orang bodoh yang dengan gampangnya kamu tipu. Sekap dia, dan jangan biarkan dia lolos” ujar Elin.
Akhirnya Elin meninggalkan Nadia diruangan yang begitu tak nyaman tersebut. Ternyata yang menjadi dalang atas kejadian ini adalah Elin. Ia cemburu atas kedekatan Nadia dan Erwin. Awalnya Ia tidak percaya dengan omongan dari beberapa pekerja di restoran itu tentang kedekatan mereka berdua. Tetapi pada saat Ia menaiki mobilnya Erwin, akhirnya ia menjadi yakin dan melakukan hal yang tak terpuji ini.
Ibunya Nadia begitu panik ketika menyadari bahwa anaknya tidak berada dirumah. Akhirnya , ibunya menelfon Bimo. Tanpa berpikir panjang, Bimo langsung mencari Nadia. Bimo tak tahu harus mencari kemana, tapi ia berniat mencari disetiap sudut kota.
Di tempat lain, tepatnya di tempat Nadia di sekap. Nadia berusaha untuk melepaskan diri. Tapi ikatan yang melingkar di tangan dan kakinya sangatlah kencang. Akhirnya ia melihat sebuah pecahan kaca di lantai. Dengan cara menjatuhkan diri, ia mencoba meraih serpihan kaca tersebut. Setelah mendapatkan serpihan kaca itu, ia mulai mengiris tali itu. Dan akhirnya ia bisa melepaskan diri. Pintu di rungan itu dikunci, tak ada cara untuk keluar kecuali memberanikan diri melewati jendela. Nadia meloloskan diri, akan tetapi tangan dan kakinya berlumuran darah karena ikatan tali yang begitu kencang tersebut.
Dengan tubuh yang lemah, Nadia berjalan ke sebuah jalanan yang sepi. Langit sangat gelap di tambah dengan hembusan angin yang bertiup kencang, membuat situasi semakin menyulitkan Nadia. Ia merapatkan tangannya didepan dadanya untuk mengurangi rasa dingin yang menerpanya. Namun tubuhnya tetap saja menggigil. Seluruh tubuhnya mulai melemah dan seakan-akan semakin tidak beradaya. Butuh tenaga yang sangat besar untuk menyeret langkahnya menelusuri jalanan yang sama sekali ia tidak pernah ia lewati. Tangan kanannya merapatkan ke dada untuk menahan dingin dan tangan yang satunya mencengkram sebuah jembatan. 
Tatapannya kosong menerobos ke bawah. Permukaan air sungai yang tenang mempantulkan wajahnya. Air sungai itu begitu dingin, dan ia pasti akan mati beku apabila terjatuh kedalamnya. Pandangannya mulai kabur, pendengarannya mulai tak berfungsi, dan tubuhnya mulai tak merasakan apa-apa, akhirnya ia pingsan di jembatan itu tanpa ada satu orang pun yang menolong.
Mata hari mulai berani menampakkan diri. Kicauan burung mulai menghidupkan suasana pagi. Bimo kembali ke rumah Nadia dengan tangan hampa. Ia sudah pergi ke kantor polisi, akan tetapi mereka menolak untuk menerima pengaduan karena Nadia menghilang belum 1x24 jam. Akhirnya Bimo hanya bisa menelpon anak buahnya untuk mencari keberadaan Nadia yang sejak malam entah dimana. 
Pada pagi itu para pejalan kaki yang lewat di jembatan itu memperhatikan seorang wanita yang sedang terbujur kaki. Tangan dan kakinya berlumuran darah. Ya, wanita itu adalah Nadia yang sudah pingsan sejak subuh tadi. Akan tetapi tak ada seorang pun yang tergerak hatinya untuk menolok wanita malang itu. Hingga ada seorang ibu yang datang menghampirinya dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, tim medis segera memberika pertolongan pertama. Detak jantung Nadia mulai stabil diikuti dengan tersadarnya dirinya.
“Dimana aku?” Tanya Nadia ketika siuman dengan nada yang pelan.
“Kamu dirumah sakit, nak” jawab ibu itu.
“ibu yang bawa saya kemari?”
“iya, tadi kamu saya temuin di jembatan dekat sungai. Kalau boleh tahu , nama kamu siapa?” Tanya ibu itu.
“saya Nadia, kalau ibu siapa?”
“saya ibu Nita. Kamu kenapa bisa sampai pingsan disitu dan kenapa bisa penuh luka kayak gini?” Tanya ibu Nita.
“semalam saya diculik dan disekap oleh seseorang, beruntung saya bisa kabur” jawab Nadia.
“terus kamu tahu orang itu siapa?, kalau kamu tahu ayo kita lapor ke polisi” ajak ibu Nita.
Nadia tidak mugkin memberitahukan tentang apa yang terjadi semalam, karena ini berhubungan dengan keluarganya dan keluarga Bimo. Bagaimana pun Elin adalah Adiknya Bimo, dan ibunya bekerja di perusahaan yang dimiliki oleh ayah Bimo. Jadi otomatis jika ia memberitahukannya kepada semua orang, maka pekerjaan ibunya bisa terancam.
“saya nggak tahu bu, sebaiknya jangan. Karena saya nggak tahu siapa yang tega lakuin ini semua kepada  saya” ujar Nadia.
 “yah sudah, kalau gitu sekarang kamu hubungi keluarga kamu” ucap ibu Nita.
Ibu Nadia dan Bimo dengan cekatan segera menuju ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Nadia. Akan tetapi, Nadia sama sekali tidak memberitahukan hal yang sebenarnya terjadi. Di tempat lain Erwin tiba di restoran dengan tepat waktu. Ia memastikan seluruh pekerjannya tepat berada diposnya masing-masing. Akan tetapi, ketika menuju kasir, ia tak menemukan satupun karyawannya disitu.
“Stefani, Nadia mana?” Tanya Erwin.
“dia lagi masuk rumah sakit pak, saya dapat info dari Lusy, teman sekampusnya. Dia masuk ke RS belum lama pak” jawab Stefani.
Tanpa berbasa-basi Erwin langsung pergi ke rumah sakit untuk segera memastikan keadaan Nadia. Ia menelusuri koridor rumah sakit dengan berlari. Sesekali ia bertabrakan dengan orang yang berada di koridor itu. Tidak lama kemudian, akhirnya ia sampai di sebuah kamar dimana Nadia dirawat. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung menerobos masuk. Di dalam sudah ada Nadia, Ibunya Nadia, Bimo, Lusy, dan dia sangat kaget karena ia melihat ibunya juga berada di ruangan itu.
“Ma, kok mama ada disini?” Tanya Erwin kebingungan.
“kok kamu juga datang kemari?” Ibu Nita malah balik bertanya.
“Lah iya, dia kan karyawan saya” jawab Erwin.
“Oh, mama yang nolongin dia, tadi mama nemuin dia di sebuah jembatan. Dia pingsan di situ jadi mama bawa dia kemarin habisnya nggak ada yang nolongin” ujar Ibu Nita.
“Syukurlah, makasih yah ma.”
Mata Erwin mulai beralih ke Nadia. Tampak wajah yang begitu khawatir tergambar jelas di wajah Erwin. Bimo terlihat begitu jengkel ketika Erwin menghampiri Nadia, dan Nadia lebih memperdulikan perhatian Erwin ketimbang perhatian Bimo.
BAB 3
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Akan tetapi Nadira masih memandangi foto Adiknya ketika masih berumur tahun. Kehidupan Nadira lebih beruntung ketimbang Nadia. Nadira menjadi seorang wanita yang sukses dalam bidang pendidikan dan pertanian. Ia memiliki sebuah yayasan pendidikan dan sebuah perkebunan kelapa sawit. Bisa dibilang Nadira lebih beruntung dibanding Nadia. Nadia setiap harinya selalu mencari Nadira. Begitu pun Nadira, ia selalu mencari saudara kembarnya. Melalui sosmed dan teman-teman sekitar. Namun mereka berdua belum dipertemukan oleh Tuhan.
“Dir” suara ayah mendekati Nadira.
“Aduh papa, ketok dulu kalau mau masuk, aku kaget jadinya” ucap Nadira.
“Oh maaf, papa dengar dari luar ada suara orang nangis. Papa kira kamu lagi ngigo sampe nangis” ujar Ayah Nadira.
“nggak pa. Aku lagi liatin foto Nadia, sudah bertahun aku muter-muter cari dia. Tapi belum ada kabar”
“Dir, papa juga kangen sama Nadia. Papa selalu berharap agar waktu bisa diputar agar papa bisa memperbaiki kehidupan kita yang dulu. Tapi kamu tenang aja, kamu sama Nadia ibarat sebuah sepatu, apabila hilang sebelah, maka yang sebelahya lagi takkan ada guna. Dan ingat, setengah nyawa kamu bisa dibilang ada pada diri Nadia. Papa akan usahain buat cari Nadia sampai dapat. Udah, jangan nangis yah. Papa akan lakuin yang terbaik”
“Makasih yah pa” sembari memeluk ayahnya dan meneteskan airmata kebahagiaan.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Hari itu adalah hari pertama Nadia kembali bekerja direstoran setelah selama beberapa hari terbujur kaku di rumah sakit, dan seminggu lagi, ia akan berhenti sebagai karyawan restoran dan akan menjadi guru seni musik disebuah yayasan. Dalam hati Nadia, ada rasa yang mengganggu dan memberatkan niatnya untuk meninggalkan pekerjaannya itu. Karena ada rasa yang mengganjal ketika harus meninggalkan Erwin. Seiring berjalannya waktu, hati Nadia mulai terbuka dan menelaah ungkapan cinta yang dikatakan Erwin. Walaupun Erwin adalah bosnya, tapi yang namanya cinta semestinya tidak pernah mengenal jarak maupun keistimewaan, dan seharusnya yang namanya cinta tidak perlu ada alasan. Kata-kata itulah yang tiba-tiba hadir di benar Nadia.
Waktu menunjukan 07.55, itu berarti 5 menit lagi restoran akan segera dibuka. Dengan penuh semangat, Nadia masuk lewat pintu depan. Seragam kerja tidak membuat kecantikan alaminya hilang. Pagi itu Nadia langsung menuju ke ruangan Erwin untuk melapor bekerja kembali. Tanpa sengaja, pintu ruangan itu terbuka. Tidak disangkah, pagi itu ia mendapati Erwin sedang berpose mesra dengan wanita yang menculik dirinya, Elin. Tanpa berbasa-basi, Nadia langsung berlari keluar melalui pintu belakang. Erwin terlihat sedang mengejarnya.
“Nad, Nad, tunggu, yang kamu lihat tidak seperti yang kamu bayangkan. Wanita gila datang dan memaksa saya untuk memakan makanan yang dibuatnya. Saya sudah berusaha menolak, tapi dia memaksa sampai saya terdorong. Nad, tolong percaya, saya nggak ada hubungan apa-apa sama dia” ujar Erwin.
“Ia, nggak apa-apa, lagi pula aku nggak berhak untuk marah sama kamu. Aku hanya seorang penjaga kasir, dan kamu adalah bosnya, jadi aku nggak punya hak untuk marah” jawab Nadia sembari meghapus air matanya.
“Nad, sekali lagi saya minta maaf, saya nggak ada niat untuk melakukan semua itu.  Tapi tolong, cinta tidak pernah mengenal status sosial. Saya sayang sama kamu dengan tulus, dan saya cinta kamu apa adanya”
“Win, kamu tahu nggak rasanya ketika mulai tumbuh dan segera layu, mungkin itulah yang akan terjadi.
Tiba-tiba Bimo datang dengan membawa seikat bunga untuk Nadia.
“Eh, ternyata kamu disini. Eh, kok kamu nangis?, kamu kenapa Nad?” Tanya Bimo.
“hanya kelilipan Bim” jawab Nadia.
“Eh Erwin, selamat yah” ucap Bimo sembari menyodorkan tangan kanannya.
“selamat buat apa?” Erwin balik bertanya.
“Kata adikku kalian berdua udah jadian” jawab Bimo.
“Oh, jadi dia adik kamu, bilang sama adik kamu, saya nggak sudi punya pacar kayak dia” ujar Erwin dan segera berlalu pergi.
Erwin kali ini seperti babak belur, nama baiknya sudah tercoreng didepan Nadia. Padahal tinggal sejengkal lagi ia bisa mendapatkan cintanya Nadia. Namun kali ini ia harus memupuk kembali kepercayaan yang telah hilang dengan sekejap mata. Nadia juga merasa sangat kecewa dengan apa yang ia lihat tadi. Ini sebenarnya hanya sebuah kesalahapahaman, akan tetapi Nadia menganggap bahwa semuanya terjadi sesuai dengan apa yang ia lihat.
Beberapa jam berlalu, sejak kejadian tadi, Erwin terlihat sangat gelisah. Sedangkan Nadia, yang awalnya sangat ceria, kini ia terlihat murung. Bahkan sesekali ia meneteskan uraian airmata. Ini adalah kali pertamanya ia kecewa kepada seorang lelaki yang sedikit lagi menghadirkan rasa cinta di hatinya. Sebagai sahabatnya yang setia, Lusy selalu berada di dekat Nadia saat ia senang maupun duka, dan hari ini ia melihat Nadia yang biasanya penuh semangat seakan tak berdaya seperti ada suatu hal yang mengganggu diri Nadia.
“Nad, kamu kenapa?, kamu dari tadi nangis, meja yang kamu lapin nggak akan pernah kering kalau terus basah kena airmata kamu” Tanya Lusy.
“Eh, nggak ada apa-apa kok, mataku tadi kelilipan” jawab Nadia sembari menghapus airmatanya dan berusaha tegar.
“Nad, kamu kalau ada apa-apa cerita dong. Kita kan udah lama temenan, masa kamu nyembunyiin sesuatu sih sama aku” 
“yaudah, aku cerita tapi jangan kamu bilang siapa-siapa”
Akhirnya Nadia menceritakan apa yang ia alami kepada Lusy. Kata demi kata ia keluarkan di depan sahabat baiknya itu, dan setiap kata semakin membuat hati Nadia diselimuti duka dan lara. Bagi Nadia, cinta adalah hal yang tidak penting, dan ia sama sekali tidak mau serius terhadap hal itu sampai waktunya tiba. Akan tetapi semenjak Erwin menyatakan perasaannya, Nadia kini punya anggapan lain tentang cinta. Ia berpendapat bahwa cinta masih saja tidak penting bagi kehidupannya, akan tetapi bagaimana bisa kehidupan berakhir bahagia tanpa ada cinta. Saat ini pun ia ingin sekali mengokohkan anggapan yang baru ia dapat itu, akan tetapi karena kejadian hari ini, ia semakin ragu dengan anggapan dan pola pikirnya. Untuk saat ini, Nadia belum bisa menentukan langkah yang harus ia ambil, dan ia mengambil jalan tengah dengan cara kembali ke dirinya yang dulu, tidak memikirkan cinta.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Hari ini adalah hari terakhir Nadia bekerja direstoran itu. Ia datang sangat pagi dan langsung menyibukan dirinya meskipun ada beberapa pekerjaan yang tidak seharusnya ia lakukan, akan tetapi ia malah melakukannya. Para pekerja yang datang pun terheran-heran melihat keuletan Nadia yang begitu semangat dan enerjik. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, Erwin setiap hari mendatangi Nadia di kasir hanya untuk sekedar menanyakan kabar, namun sesekali ia mengucap permohonan maaf atas kejadian itu. Jawaban Nadia pun masih saja tetap sama, ‘nggak usah dipikirin pak, lagi pula saya udah melupakkannya’. Itulah jawaban Nadia untuk menutupi rasa sedihnya agar kekecewaan lamanya tidak terkuak kembali.
“Pagi Nad” sapa Erwin.
“Pagi juga pak” jawab Nadia sembari menundukkan kepalanya.
“Kamu hari ini kelihatan sibuk banget. Seharusnya hari ini kamu jangan sampai kecapean, entar kenangan hari terakhir bekerja direstoran ini malah kesibukan dan kecapean lagi” ujar Erwin.
“nggak apa-apa pak, lagi pula aku harus meninggalkan kenangan yang baik direstoran ini” jawab Nadia.
Erwin merasakan dadanya teramat sesak dan merasakan tenggorokannya terasa tersendat karena kata-kata yang sejak semalam sudah ia rangkai dengan manis kini sulit untuk ia ungkapkan. Erwin merasa damai ketika melihat senyum Nadia. ia berusaha menyakinkan dirinya bahwa ia bisa meminta maaf.
“Nad, kamu hari ini ambil berapa sip?” Tanya Erwin.
“sudah saya tulis di absen seharian penuh pak” jawab Nadia.
“loh, emangnya hari ini kamu nggak masuk kuliah?” Tanya Erwin.
“nggak pak, aku hari ini bakalan absen dulu” jawab Nadia sembari menundukkan kepalanya.
“okelah kalau begitu, kalau restoran udah tutup saya mau bicara sama kamu” ucap Erwin sambil merapikan dasinya.
“iya pak”
Mata hari semakin tinggi, menggeser pagi yang sedari tadi singgah menghiasi bumi. Panas menusuk kulit dirasakan setiap orang yang berlalu-lalang. Siang itu restoran semakin ramai karena sudah waktunya jam makan siang. Kesibukan direstoran semakin menjadi ketika banyak pesanan diminta. Begitu pun Nadia, ia juga tak luput dari kesibukan untuk menjaga kasir. Ia harus mengeluarkan dan memasukkan uang ke dalam mesin kasir. Sesekali keringat mengucur melintasi wajahnya.
“Stefani, suhu ACnya bisa dibuat lebih adem lagi nggak?, gila, panas bener hari ini” ucap Nadia.
“iya Nad. Tumben banget hari ini panas, atau jangan-jangan karena kamu udah mau berhenti lagi” ejek Stefani.
“Apaan sih, nggak ada hubungannya kali” jawab Nadia tersenyum.
Tiba-tiba Elin datang menghampiri Nadia. Seperti biasa, wajahnya begitu garang dan membuat orang jengkel ketika melihat wajahnya dengan ekspresi seperti itu. Ia berdiri tepat dihadapan Nadia tanpa menghiraukan kesibukan Nadia. Begitu pun Nadia sama sekali tidak menatap Elin dan terus fokus di pekerjaannya. Tiba-tiba meja kantin itu dihentaknya dengan kuat hingga membuat orang-orang terkejut dan mengalihkan pandangan kepadanya.
“Ada perlu apa kamu kemari?” Tanya Nadia, mulai jengkel.
“Loh beruntung masih boleh hidup, gue bakalan bikin hidup loh sensara kalau loh masih genit sama Erwin” bisik Elin.
“silahkan saja. Tapi aku nggak pernah ada niat buat deketin Erwin” ucap Nadia.
Mendengar kegaduhan dari luar, Erwin merasa ada yang tak beres diluar. Akhirnya ia keluar dan mendatangi asal kegaduhan itu. Ia mendapati Elin dan Nadia sedang beraduh mulut dihadapan banyak pengunjung.
“Apa-apaan kalian!!!” bentak Erwin.
“Eh sayang, kamu udah makan belom, ayo makan siang” rayu Elin.
“hey, dengar yah, saya nggak pernah sudi dipanggil sayang sama kamu, saya nggak akan pernah mau jadi pacar kamu” jawab Erwin, wajahnya mulai memerah bila marah.
Lalu mata Erwin berpaling kepada Nadia, seakan-akan rasa marahnya hilang dengan seketika, ketika memandang wajah Nadia.
“sekarang kamu pergi dari sini dan jangan pernah balik lagi” usir Erwin kepada Nadia.
“semuanya kembali bekerja” lanjut Erwin sembari berlalu menuju ke ruangannya.
Nadia hanya bisa menundukkan kepalanya dan mencoba berpikir, bagaimana cara ia bisa melindungi dirinya sendiri dari wanita jahat yang bernama Elin. Kepribadian Bimo dan Elin sangatlah berbeda, padahal mereka adalah kakak-beradik. Namun bagi Nadia, mereka punya kesamaan, yaitu sama-sama sering memaksakan kehendak yang mestinya tak harus terjadi.
Mentari mulai menyembunyikan diri seakan malu terhadap bulan. Malam mulai memberanikan diri menghiasi langit pada waktu itu. Bintang-bintang semakin terang dan menyilaukan mata. Nadia akhirnya menyelesaikan tugas pada hari itu dengan baik. Sekaligus mengakhiri pekerjaannya direstoran itu. Lusa nanti ia sudah akan mengubah status pekerjaannya, dari karyawan restoran, menjadi guru honorer di sebuah yayasan. Senada dengan semua itu, Nadia menuju ke ruangan Erwin untuk melapor bahwa masa baktinya direstoran itu telah berakhir.
“Akhirnya kamu datang juga” ucap Erwin. “saya tahu banyak kenangan yang kamu ukir dan kamu dapati dari pekerjaan kamu ini. Dan sebagai atasan bangga atas kinerja kamu” lanjut Erwin.
“tadi bapak ajak saya kemari, hanya untuk ngomongin itu?” Tanya Nadia karena masih menyimpan rasa kesal dihatinya.
“Oh tidak tidak. Kita nggak akan bicara disini, kita ngobrolnya di atas yuk” ajak Erwin.
Menatap langit malam yang terang dan temaram, Nadia dan Erwin menikmati hembusan angin yang datang menyambar. Erwin kelihatan cukup canggung ketika duduk bersama Nadia. Mata Nadia sama sekali tidak menatap Erwin melainkan berpura-pura menatap persimpangan jalan dari atap restoran. Dengan sedikit kepercayaan diri,  Erwin pun memulai pembicaraan.
“Nad, saya minta maaf apabila selama menjadi bos kamu, saya bertingkah kurang baik” ujar Erwin.
“Aku juga mau minta maaf sama kamu, karena kadang-kadang aku kurang disiplin dalam bekerja” ucap Nadia.
Mereka berdua saling bertatapan mata, dan mulai tercipta kemistri diantara mereka. Akhirnya Erwin mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sungguh mengesankan, yang ia keluarkan adalah sebuah kalung.
“Nad, selain gaji kamu bulan ini, kamu juga akan saya berikan kalung ini” ujar Erwin sambil menunjukan kalung dihadapan Nadia.
Senyum merekah dengan lebar di bibir Nadia. Nadia membalikkan badan sebagai isyarat bahwa Erwin harus memasangkannya diheler Nadia.
“Kamu pantes dapetin semua ini. Saya sangat cinta sama kamu Nad” ucap Erwin dengan penuh keberanian.
Airmata kebahagiaan jatuh membasahi pipih Nadia. Ia langsung memeluk Erwin dengan seerat-eratnya, lalu berkata “Ya, Aku juga”. Dengan sedikit membuka hati, hari ini Nadia mengukirkan sebuah nama dihatinya, dan nama itu adalah bosnya sendiri yang hari ini resmi sebagai mantan bos serta sebagai pacar. Malam berakhir dengan manis dan penuh kenangan di benak Nadia. Erwinlah yang berani mengetuk pintu hatinya dan mengukuhkan rasa dengan penuh keyakinan.
BAB 4
Kicauan burung mulai terdengar dari jendela. Suara ayam tetangga juga ikut menghiasi. Pagi yang sangat indah datang menyapa. Nadia mulai terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 05.30, dengan sedikit meregangkan tubuh, ia pun bangkit dan segera membersihkan seisi rumah. Namun ada hal yang mengganjal di pagi itu. Seisi rumah sudah terlanjur bersih. Ternyata Ibunya sudah lebih dulu membersihkan rumah. Terlihat juga meja makan sudah dipenuhi makanan yang tidak seperti biasanya. Suara langkah kaki terdengar dari belakang Nadia,  dan itu ada ibunya.
“Mama siapin semua ini karena hari ini adalah hari pertama kamu masuk kerja, sekarang buruan mandi dan makan bareng mama” ujar Ibunya.
Nadia bergegas melaksanakan apa yang di minta ibunya. Setelah bersiap-siap, Nadia segera menuju ke meja makan dan terjadilah sebuah percakapan antara ibu dan anak.
“Ma,  kemarin aku resmi pacaran sama Erwin” jujur Nadia kepada Ibunya.
“Ha?!, yang bener kamu? Emangnya dia mau?” Tanya mama terkejut.
“Iya, dia yang nembak aku kok” jawab Nadia.
“Hm yasudah, tapi kamu harus janji untuk tetap konsen sama kuliah dan pekerjaan kamu”
“Nadia janji ma” jawab Nadia.
Dengan dandanan rapih dan sangat formal, Nadia akhirnya menuju ke alamat yang diberikan oleh pak Ridwan, kepala sekolah yayasan Citra Dunia. Sesampainya disana, ia terkejut karena ternyata yayasan itu sangatlah luar. Benar saja, itu memang yayasan kelas atas yang dihuni oleh banyak siswa-siwa yang kaya. Setelah melihat-lihat, Nadia langsung menuju ke ruangan kepala sekolah untuk melapor bekerja.
“Nadia Hermawati, nama yang indah. Kamu hari ini datang sesuai dengan perjanjian. Akan tetapi hari ini kamu belum bisa bertemu dengan ketua yayasan karena beliau sedang pergi ke luar negeri dan angkat kembali beberapa minggu lagi. Beliau sudah berangkat setelah persetujuan kita direstoran yang waktu itu, sekarang kamu saya antar ke meja kamu dan saya akan menjelaskan sedikit tentang yayasan ini” ujar Pak Ridwan.
Nadia dan Pak Ridwan berjalan menyusuri ruangan-ruangan penting di yayasan itu. Dan mereka terhenti disebuah ruangan yang terletak bersebelahan dengan perpustakaan.
“oke, silahkan masuk ke ruangan kamu dan tunggu guru pengurus kurikulum untuk mengantarkan jadwal mengajar kamu” ujar pak Ridwan.
Nadia kali ini benar-benar berhasil. Dengan umur 18 tahun ia sudah menjadi guru walaupun hanya sebagai guru honorer. Bagi dirinya ini adalah sebuah kebanggaan dalam hidupnya. Dan dia tidak akan mengecewakan saudara kembarnya jika kelak bertemu nanti.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

FOLLOWERS